Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa dalam kitab-kitab
sastra, sejarah, manakib dan thabaqat banyak dijelaskan betapa
para ulama lebih biasa bergelut dengan kemiskinan, penderitaan
dan kesulitan hidup yang mencekik. Namun mereka
meresapinya dengan penuh kesa-baran. Dalam penderitaan
yang mencekik itulah mereka mengais ilmu dan hikmah.
Dalam kesulitan hidup itulah mereka menulis karya-karya
besar yang monumental. Bagaimana mungkin, ia yang jebolan
jurusan sejarah dan peradaban Islam Al Azhar University , dan
sebentar lagi meraih gelar master di jurusan yang sama dari
Cairo University bisa melupakan sunah para ulama itu.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa kisah mengharukan
yang diriwayatkan oleh Imam Bakar bin Hamdan Al Maruzi
yang mengatakan, bahwa Imam Ibnu Kharrasy pernah bercerita,
"Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku
sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjalan
melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadis aku merasa
kehausan luar biasa tanpa ada yang bisa aku minum. Maka
dengan terpaksa aku rninum air kencingku sendiri."
Ulama besar sekaliber Ibnu Kharrasy bahkan harus meminum
air kencingnya sendiri demi mempertahankan hidupnya
ketika mencari ilmu. Sedangkan dirinya, bisa-bisanya makan
dan minum di restoran mewah Hotel Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa cerita Imam Abu Hatim yang
pernah mengalami keadaan sangat memprihatinkan. Imam
Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang mencari hadis kondisiku
benar-benar sangat mempriha-tinkan. Karena tidak mampu
membeli sumbu lampu, pada suatu malam aku terpaksa keluar
ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar
dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh
tukang ronda. Dan terkadang tukang ronda itu tidur, aku
yang menggantikannya ronda."
Sementara dirinya masih juga tidak merasa cukup akan
nyamannya lampu apartemannya. Harus lampu mewah Hotel
Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa kisah Imam Bukhari yang tidak
memiliki apa-apa. Sampai pakaian pun tidak punya,
sehingga ia terhalang dari menulis hadis. Bagaimana mungkin
ia melala ikan kisah menggetarkan yang beberapa kali ia baca
dan ia kaji itu? Bagaimana mungkin ia lupa pada kisah yang
diriwayatkan oleh ulama besar seangkatan dengan Imam
Bukhari yang bernama Umar bin Hafesh Al Asyqar. Al Asyqar
mengatakan,
"Selama beberapa hari kami tidak mendapati Bukhari
menulis hadis di Bashrah. Setelah dicari ke mana mana
akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam
keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa. Atas dasar
musyawarah kami berhasil mengumpulkan uang beberapa
dirham lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya
ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan
hadis."
Sementara dirinya selama ini memilih pakaian yang bermerk
dan mahal-mahal.
Bagaimana mungkin ia lupa akan penderitaan Imam
Malik. Yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu, beliau
sampai mencopot atap rumahnya, lalu menjual papannya.
Bagaimana mungkin ia lupa?
Bukankah itu semua adalah sejarah yang benar-benar
nyata. Bukan cerita fiktif yang mengada-ada. Datanya valid,
tertulis dalam banyak kitab-kitab sejarah, sastra dan lain sebagainya.
Bagaimana ia bisa melalaikan suatu kenyataan penting,
bahwa para ulama salaf menganggap kemiskinan adalah teman
akrab yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Justru
kemiskinan itu, saat menuntut ilmu, harus benar-benar dinikmati.
Sampai sampai ada seorang ulama menulis syair:
Aku bertanya kepada kemiskinan.
Di manakah kamu berada?
Ia menjawab, aku berada di sorban para ulama.
Mereka adalah saudaraku.
Yang tidak mungkin aku tinggal begitu saja.
Bagaimana mungkin ia bisa melalaikan itu semua?
(petikan dari Novel Ketika Cinta Bertasbih m/s 229)
Thursday, January 8, 2009
PEDOMAN NOVEL
Posted by Allahyarham achit at 10:47 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment