AHKAMUS SHALAT
Judul Asli : Ahkamus Shalat
Pengarang : Ali Raghib, Seorang Ustadz (Profesor) di Universitas Al Azhar,
Mesir
Penerbit : Darun Nahdlah Al Islamiyyah, Cetakan Pertama 1991
Judul Edisi Indonesia : AHKAMUS SHALAT, HUKUM-HUKUM SEPUTAR
SHALAT
Penerjemah : Drs. H.A. Bahauddin
Editor : Muhammad Al Khaththat
Penerbit : Khazanah Islam, 1997/8
DAFTAR ISI
halaman
Pendahuluan 1
A. Thaharah 2
1. Benda Suci Bercampur dengan Air 3
2. Najis Yang mengotori Air 4
3. Air Musta’mal 5
4. Sisa Makanan dan Minuman Binatang 7
5. Bersuci 8
6. Cara Berwudhu 9
7. Menyapu Sepatu 20
8. Tayammum 22
9. Yang Membatalkan Wudhu 30
10. Mandi Besar 41
11. Najis 46
12. Menghilangkan Najis 49
B. SHALAT 54
1. Waktu Shalat 57
2. Syarat Sha Shalat 63
3. Cara-cara Shalat 67
4. Bilangan Rakaat Shalat 99
5. Yang Membatalkan Shalat 106
6. Hal-hal yang Makruh dalam Shalat 110
7. Waktu yang Makruh untuk Shalat 111
8. Shalat Berjamaah 115
9. Setiap Muslim Berhak Menjadi Imam Shalat 128
10. Shalat Qashar 136
11. Shalat Jama’ 143
12. Shalat Qadha 154
13. Shalat Orang Sakit 161
14. Shalat Jum’at 162
15. Shalat Hari Raya 178
16. Shalat Jenazah 181
17. Sujud Sahwi 186
18. Sujud Tilawah 191
19. Sujud Syukur 201
C. PUASA 202
DOA 216
PENDAHULUAN
Bismillahirrahmaanirrahiim (lebih baik ditulis Arabnya)
Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Shalawat dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada junjungan kita, penutup para nabi dan rasul, Nabi Muhammad saw. dan seluruh keluarganya serta sahabatnya. Amma ba’du.
Saya mendapatkan banyak di antara kaum muslimin beribadah tanpa dibekali dengan pengetahuan tentang hukum syara’ yang memadai. Saya pun melihat mereka membutuhkan suatu kitab yang mudah ditelaah oleh mereka, yakni kitab yang menghimpun tatacara beribadah dengan dilengkapi dalil-dalil syara’. Atas dasar itulah, saya persembahkan kitab ini dengan judul: Ahkaamus Shalat (Hukum-hukum Seputar Shalat) untuk seluruh kaum muslimin seraya memohon kepada Allah SWT, semoga persembahan ini bermanfaat bagi mereka dan jalan lurus pun dapat mereka selusuri.
Kairo, 1 Dzul Qa’dah 1377H./19 Mei 1958M.
Ali Raghib
Dosen Universitas Al Azhar, Mesir
A. THAHARAH
Thaharah menurut bahasa adalah suci dan bersih dari kotoran. Adapun thaharah menurut istilah para ulama ahli hukum Islam (fuqaha) adalah menghilangkan hadats dan najis atau sesuatu yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya. Yang dimaksud dengan ungkapan “yang senada dengan makna dan gambaran pengertian keduanya” , yaitu seperti: tayamum, mandi besar yang disunnahkan, cucian yang kedua, bekumur dan sejenisnya.
Menghilangkan hadats dan najis itu adalah dengan air mutlak, yakni dengan air yang belum mendapatkan imbuhan unsur lain sehingga namanya juga masih tetap sebagai air murni. Air mutlak ini adalah air laut, air yang turun dari langit, dan air yang keluar dari bumi. Air laut dikategorikan sebagai air mutlak adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw. :
(1) “Laut itu airnya suci”
Sedang air yang turun dari langit seperti air hujan dan salju (es) adalah berdasarkan firman Allah SWT:
(2) Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya” (QS. Al Anfal,8: 11).
Adapun air yang keluar dari perut bumi, yakni mata air dan air sumur adalah berdasarkan sebuah riwayat yang mengemukakan :
(3) “Sesungguhnya Nabi saw. pernah berwudlu dengan air dari sumur Bi/udha’ah”
Yang dikategorikan selain air mutlak, yaitu benda-benda cair seperti : cuka, air bungan, minuman keras, dan sari buah-buahan atau tumbuhan. Kesemua itu tidak boleh dipergunakan, baik untuk menghilangkan hadats maupun untuk menghilangkan najis. Firman Allah SWT:
(4)”…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian” (QS. An Nisa,4: 43).
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mendapatkan air agar bertayamum. Dan Dia memberikan petunjuk bahwa wudlu tidak dibenarkan selain dengan air. Hal ini dengan alasan, karena sesungguhnya menghilangkan najis berarti mengembalikan keadaan agar menjadi suci (bersih) kembali dan suci itu sendiri hanya bisa terjadi dengan air. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengannya” (QS. Al Anfal, 8 : 11).
1. Benda Suci Bercampur dengan Air
Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air namun karena kadarnya hanya sedikit sehingga air itupun tidak berubah karenanya, maka bersuci dengan air tersebut diperbolehkan. Sebab pada dasarnya air ini masih tetap utuh sebagai air mutlak. Jika air tersebut tidak berubah karenanya dengan alasan , sebaba air itu tidak berubah, baik rasa, warna, maupun baunya—seperti air bunga jatuh ke dalamnya—maka hendaknya diperhatikan: Andai air bunga itu kadarnya banya sehingga mendominasi air mutlak, maka bersuci dengannya tidak diperbolehkan, dan seandainya tidak mendominasi, maka bersuci dengannya diperbolehkan. Bilamana suatu benda suci bercampur dengan air dan karenanya salah satu sifat air tersebut berubah, yakni rasa, atau warna, atau baunya, hendaklah diperhatikan: Sekiranya air itu tidak mungkin teratasi untuk tidak terkena benda suci tersebut seperti ditumbuhi oleh lumut (rumput air) dan sejenisnya, yang memang benda itu hidup dan tumbuh di air, maka air tersebut boleh dipergunakan untuk bersuci. Kasus seperti ini dimaafkan sebab hal tersebut tak mungkin diatasi. Sedang jika air ini memungkinkan terpelihara dari benda suci maka perhatikanlah : Seandainya merupakan suatu benda yang tidak menghilangkan nama air seperti tanah dan obat, maka air itu diperbolehkan untuk bersuci karena benda tersebut tidak menghilangkan status air sebagai air mutlak. Sedang bila benda itu selain daripadanya, seperti minyak za’faran, buah kurma, tepung, dan sebagainya – merupakan benda yang dapat dihindarkan agar tidak jatuh ke dalam air – maka berwudlu dengan air ini tidak dibenarkannya, sebab dengan masuknya benda seperti itu dapat menghilangkan status air sebagai air mutlak.
2. Najis yang Mengotori Air :
Apabila benda najis jatuh ke dalam air lalu rasa, warna atau bau air itu berubah, maka air tersebut menjadi najis, baik air ini banyak maupun sedikit, baik air itu mengalir maupun menggenang. Para ulama telah sepakat bahwa jika rasa, atau warna atau bau air berubah oleh karena ada benda najis yang jatuh ke dalamnya, maka air ini menjadi najis. Sedang bila ketiga sifat air itu tidak berubah maka hendaklah diperhatikan : Andai ternyata air itu kurang dari dua kulah maka iar tersebut menjadi najis. Akan tetapi andai terbukti air ini sebanyak dua kulah atau lebih maka air tersebut tetap bersih ( suci ).
Sabda Rasulullah saw:
“Bilamana terbukti air mencapai dua kulah, maka air tersebut tidak membawa najis”.
Air dua kulah ukurannya sebanyak dua tempayan air, sama dengan dua belas jirgen air. Inipun dengan catatan, bila ternyata air tersebut tidak tampak terlhat oleh mata telanjang, seperti najis yang melekat pada serangga yang hinggap pada najis, lalu serangga itu jatuh ke air. Dengan demikian, maka air itu tidak menjadi najis karenanya sebab hal ini dimaafkan. Kasus ini sama halnya seperti baju yang terkena najis yang tidak tampak, maka najis inipun dimaafkan.
3. Air Musta’mal
Air musta’mal (air bekas pakai) terbagi dua, yakni air musta’mal untuk menghilangkan hadts dan air musta’mal untuk menghilangkan najis. Air musta’mal untuk menghilangkan hadats –seperti wudlu atau mandi besar—tetap suci, tidak menjadi najis, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah:
“Bahwasanya Rasulullah saw. datang menjenguk aku ketika aku sakit. Kemudian beliau wudlu dan menuangkan air bekas wudlanya kepadaku”.
Maka berdasarkan hadits ini, air musta’mal tetap suci, namun demikian tidak mensucikan. sehingga tidak boleh dipergunakan untuk menghilangkan hadats. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:
“ Sungguh, hendaknya salah seorang di antara kalian tidak sampai mandi (bersuci) dalam air menggenang sedang ia junub. Kemudian mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Abu Hurairah, bagaimana beliau saw berbuat? Dia menjawab: Beliau mengaisnya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepalanya dengan air bukan air sisa mencuci kedua tangannya”.
Selanjutnya At-Tirmidzi meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. mengambil air baru untuk menyapu kepalanya”.
Begitu pula At-Tarmidzi dan Ath-Thabrani mengemukakan hadits yang diriwayatkan dari Bin Jariah dengan ungkapan:
“Ambillah untuk (menyapu) kepala, air baru”.
Larangan Rasulullah saw. bersuci dalam air menggenang adalah merupakan dalil, sesungguhnya air musta’mal telah keluar dari statusnya sebagai sarana untuk bersuci, sebab larangan di sini semata-mata mandi, begitu juga hukum wudlu sama dengan hukum mandi. Kemudian daripada itu, sesungguhnya perintah beliau agar mengambil air baru untuk menyapu kepala merupakan dalil bahwa air pertama adalah air musta’mal yang tidak lag bisa dipergunakan untuk bersuci. Namun ini semua dengan catatan, bila ternyata kadar air tersebut kurang dari dua kulah. Sedangkan ketika kadar air tersebut mencapai dua kulah atau lebih, maka hilanglah statusnya sebagai air musta’mal karena kadar air yang mencapai dua kulah atau lebih tidak tercemar , sehingga untuk tidak dikategorikan musta’mal bagi air tersebut lebih utama. Tentang air musta’mal yang telah dipergunakan untuk menghilangkan najis, maka hendaknya diperhatikan: Bila air itu terpisah dari dari tempatnya dan berubah, maka air ini menjadi najis. Sedangkan bilamana air terpisah dari tempatnya dan tidak berubah. Maka hendaknya diperhatikan: Jika air tersebut terpisah dari tempatnya najis, najis pulalah air itu dan jika air tersebut terpisah namun tempatnya suci, maka air ini tetap suci.
4. Sisa Makanan dan Minuman Binatang
Sisa makanan dan minuman binatang adalah suci. Ketetapan ini bersifat umum pada semua binatang, baik sisa makanan dan minuman kucing maupun binatang yang lain. Semua binatang: kuda, keledai, binatang buas, tikus, ular, dan seluruh binatang yang memakan dagingnya atau tidak, sisa makanannya dan minumannya adalah suci. Begitu pula peluh dan air liurnya dengan tidak makruh. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir dikemukankan:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya: Apakah kami boleh wudlu dengan air sisa keledai? Beliau menjawab: Ya, begitu juga dengan (air) sisa binatang buas”.
Namun dikecualikan dari semua bintang tersebut, anjing dan babi, bahwa keduanya najis.
Sabda Rasulullah saw. :
“Bilamana anjing menjilat perkakas salah seorang di antara kalian, maka cucilah perkakas itu tujuh laki”.
Dalam sebuah riwayat dikemukakan pula:
“Maka tumpahkanlah, kemudian cucilah tujuh kali”.
Perintah agar ditumpahkan dan dicuci adalah sebagai dalil, bahwa anjing adalah binatang najis.
Pada dasarnya air itu adalah suci dan begitu juga sisa makanan dan minuman binatang. Dengan demikian, tidak bisa diterima bahwa suatu air dinyatakan najis karena oleh seseorang dianggap najis. Akan tetapi tidak boleh tidak yang bersangkutan harus benar-benar terlebih dahulu mengetahui; najis apa yang telah jatuh ke dalam air tersebut? Bilamana dinyatakan, bahea air ini terkena najis maka berita itu jangan begitu saja diterima, sehingga tamapak jelas; najis apakah yang telah jatuh ke dalamnya. Langkah ini harus ditempuh, karena bisa jadi orang yang memberitakan air itu najis disebabkan ia melihat binatang buas menjilatnya. Barulah berita diterima, jika tampak jelas bahwa benda najis benar-benar yakin terhadap kesucian suatu air atau meragukannya, maka ia diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci. Bilamana ia benar-benar yakin tentang najisnya air itu atau meragukan kesuciannya, maka dia tidak diperbolehkan wudlu dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap najis. Kemudian jika aia tidak yakin atas ketidaksucian dan ketidaknajisan suatu air, maka berwudlulah dengannya karena pada dasarnya air itu dianggap suci.
5. Bersuci
Suci terdiri dari dua macam: suci dari hadats dan suci dari najis. Bersuci untuk menghilangkan najis tidak menghendaki niat. Sedangkan bersuci untuk menghilangkan hadats, seperti wudlu, mandi besar, dan tayammum harus menyertakan niat, yakni tidak sah tanpa niat.
Sabda Rasulullah saw.:
“Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niat. Dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung niatnya”.
Yang dimaksud amalan-amalan di sini adalah segala bentuk ibadah dan bukan muamalah, sebab muamalah merupakan aktifitas yang berupa percakapan bukan perbuatan. Sementara bersuci untuk menghilangkan hadats menghendaki aktifitas yang berupa tindakan fisik, sehingga tidak akan sah tanpa menyertakan niat. Maka dengan demikian, niat bersuci untuk menghilangkan hadats hukumnya wajib sama halnya dengan niat untuk mendirikan shalat. Kepada yang bersangkutan haruslah menyertakan niat di dalam hatinya, karena niat merupakan tujuan. Ungkapan niat ini hendaknya ditentukan untuk menghilangkan hadats ayau untuk bersuci fari hadats. Kepadanya diperbolehkan menyatakan niat tersebut dengan salah satunya, sebab dengan itu berarti ia telah niat untuk yang dimaksud, yakni menghilangkan hadats. Akan tetapi yang lebih afdhal, hendaklah ia menyatakan niat sejak mula pertama mengambil air wudlu sampai berakhir sehingga selama berwudlu ia menyertakan niat. Sedangkan fardhunya adalah ketika mula pertama mencuci muka, dengan alasan sebab muka adalah sebagai anggota wudlu yang pertama dari seluruh rangkaian fardhu wudlu. Maka dengan demikian, niat nersuci untuk menghilangkan hadats hukumnya wajib, sama hanlnya dengan niat untuk mendirikan shalat. Kepada yang bersangkutan haruslah menyertakan niat dalam hatinya, karena niat merupakan tujuan. Ungkapan niat ini hendaknya ditentukan untuk menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats. Kepadanya diperbolehkan menyatakan niat tersebut dengan salah satunya, sebab dengan itu berarti ia telah niat untuk yang dimaksud, yakni menghilangkan hadats. Akan tetapi yang lebih afdhal, hendaklah ia menyatakan niat sejak mula pertama mengambil air wudlu sampai berakhir sehingga selama berwudlu ia menyertakan niat. Sedangkan fardhunya adalah ketika mula pertama mencuci muka, dengan alasan sebab muka adalah sebagai anggota wudlu yang pertama dari seluruh rangkaian fardhu wudlu.
6. Cara Wudhu
Wudhu adalah merupakan fardlu berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia hadats sampai berwudhu”.
Bagi yang wudhul diperbolehkan meminta bantuan orang lain, sebagaimana diriwayatkan, sesungguhnya Al-Mughirah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudhu pada suatu malam di tabuk. Dan sesungguhnya Usamah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudlu di pagi hari pada waktu haji wada’ sesudah beliau beranjak dari Arafah, (tepatnya) di antara Arafah dan Muzdalifah. Kemudian diriwayatkan pula dari Hudzaifah bin Abu Hudzifah dari Shafwan bin ‘Assal r.a., ia berkata:
“Aku pernah menuangkan air kepada Nabi saw. saat beliau sedang berada di tempat atau saat beliau sedang dalam perjalanan, ketika beliau hendak mengambil wudlu, lalu beliau memulainya dengan niat seraya berkata: Aku niat menghilangkan hadats wudlu”.
Niat adalah fardlu. Kemudian daripada itu disunnahkan menyebut nama Allah Ta’ala (membaca basmalah) karena wudlu, sebagaimana dikemukan dalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Barang siapa wudlu dan ia menyebut nama Allah Ta’ala, maka hal itu menyebabkan suci bagi seluruh badannya. Oleh karena itu, bila ia lupa menyebutnya pada mula pertama wudlu dan baru ingat saat tengah wudlu, hendaklah ia menyebutnya sehingga wudlu tersebut tidak kosong dari (menyebut) nama Allah ‘Azza wa Jalla”.
Sesudah niat dan menyebut nama Allah Ta’ala, mencuci kedua telapak tangan tiga kali. Sebab Utsman dan Ali r.a., keduanya telah menggambarkan wudlu Rasulullah saw.:
“Kemudian keduanya mencuci tangan tiga kali”.
Selanjutnya yang bersangkutan menggerak-gerakkan cincinnya jika keadaannya sempit agar air benar-benar sampai menembus kulit yang ada di balik cincin. Sesudah itu dia berkumur tiga kali dan menghirup air (istinsyaq) tiga kali dengan mendahulukan berkumur dari instinsyaq. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Abasah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Tidak seorang pun di antara kalian yang mendekatkan wudlunya, kemudian berkumur, kemudian beristinsyaq dan (sesudah itu) mengeluarkannya (agar kotoran yang ada dalam hidung terbawa keluar), melainkan mengalirlah dosa-dosa yang ada dalam hidung dan ujungnya bersama air”.
Disunatkan dalam beristinsyaq ini, pertama-tama yang bersangkutan mengambil air dan menghirupnya dengan bagian kanan dan mengeluarkannya dengan bagian kiri, berdasarkan hadits Ali r.a. bahwasanya dia berdoa dengan doa wudlu, lalu berkumur, beristinsyaq, dan mengelurkannya dengan tangan kiri. Kemudian dia berkata: Demikianlah Nabi saw. bersuci (wudlu). Disunatkan melakukan berkumur dan istinsyaq dengan sangat, sebagaiman yang disampaikan oleh nabi saw. kepada Al-Laqith bin Shabrah:
“Sempurnakanlah wudlu, jarangkanlah jari-jemari, dan sangatkanlah dalam beristinsyaq, kecuali engkau sedang berpuasa”.
Bagi yang berwudlu boleh mengambil jarak antara berkumur dengan beristinsyaq dan boleh pula menyambungnya. Alasan bagi yang menyatakan boleh bersambung antara berkumur dengan beristinsyaq, antara lain berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwasanya dia mengambil air lalu berkumur dengannya dan beristinsyaq. Hadits lainnya adalah seperti hadits Abdullah bin Zaid:
“Atau dia berkumur dan beristinsyaq dari tangan sebelah. Dia melakukan hal itu tiga kali”.
Sedang alasan yang menyatakan boleh mengambil jarak antara keduanya, antara lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Mashraf dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:
“Aku melihat Rasulullah saw., beliau mengambil jarak antara berkumur dengan istinsyaq”.
Begitu juga disunahkan bagi yang berwudlu bersifak (menggosok gigi) dengan ranting kayu arak atau yang lainnya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Seandainya tidak akan memberatkan atas umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat”.
Dalam riwayat lain dikemukakan:
“Setiap kali hendak wudlu”.
Jika bersiwak membuat seseorang kesakitan atau tidak sekalipun, baginya tetap disunatkan menggosok gigi dengan jarinya, berdasarkan hadits Aisyah r.a. Dia pernah bertanya:
“Ya Rasullallah, bila seseorang tidak bermulut, apakah ia bersiwak? Beliau menjawab: Ya! Lalu aku pun bertanya lagi: Bagaimana ia berbuat? Belaiu pun menjawab: Masukkanlah jarinya ke dalam mulutnya”.
Kemudian sesudah itu ia mencuci mukanya sebagai fardlu, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“…, maka cucilah muka kalian” (QS. 5:6)
Batasan muka adalah: Dari atas sampai bawah, yaitu mulai dari tempat tumbuh rambut kepala sampai dagu dan ujung jenggot. Sedang lebarnya, mulai telinga sebelah kanan sampai telinga sebelah kiri. Pengertian tempat tumbuh rambut kepal, yaitu tempat tumbuh rambut kepala yang berambut normal. Bila seseorang berjenggot, hendaklah diperhatikan: jika jenggot itu tipis, tidak sampai menutupi kulit, maka yang bersangkutan wajib mencuci kulit dan jenggotnya. Sedangkan jika jenggot itu tebal, sehingga menutupi kulit di baliknya, kepadanya hanya diwajibkan mencuci jenggotnya saja, tidak wajib mencuci kulit yang ada di baliknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. wudlu, lalu beliau mengambil air hanya dengan kedua telapak tangannya saja dan hanya sekali saja serta mencuci mukanya dengan air tersebut”.
Hanya dengan kedua telapak tangannya dan hanya sekali mengambil saja, sudah barang tentu bagi orang yang berjenggot tebal tidak akan membuat air sampai pada kulit yang ada di balik jenggot. Namun demikian, disunatkan bagi yang berjenggot tebal menyibak-nyibakkannya, yakni menjarangkannya, berdasarkan hadits Utsman r.a.:
“Sesungguhnya Nabi menyibak-nyibak jenggotnya”.
Setelah itu, ia mencuci kedua tangannya sampai dengan sikut. Ini adalah merupakan fardlu.
Firman Allah Ta’ala:
“…dan tangan kalian sampai sikut” (QS. 5 : 6)
Dalam mencuci kedua tangan ini disunatkan memulai dengan bagian kanan kemudian yang kiri, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oelh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabsa:
“Apabila kalian wudlu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian.”
Namun demikian bila sampai terjadi dengan mendahulukan bagian kiri, hukumnya boleh karena dalam Al-Qur’an, Allah SWT. juga hanya berfirman: ( , dan tangan kalian). Dalam mencuci kedua tangan wajib meliputi sikut, bukan hanya sampai pangkal, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya dia wudlu lalu mencuci kedua tangannya sampai kedua sendi (sikut) dan dia pun mencuci kedua kakinya sampai kedua betisnya. Kemudian dia berkata:
“Demikianlah aku melihat Rasulullah saw. wudlu”.
Begitu juga halnya konsensus para ulama berketetapan, sesungguhnya sikut itu sendiri adalah bagian yang harus dicuci. Sesudah itu, kemudian ia menyapu kepala. Hukum menyapu kepala ini adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT:
“…dan sapulah kepala kalian” (QS. 5 : 6)
Batasan kepala yaitu seluruh bagian yang ditumbuhi rambut bagi yang berambut normal dan dua bagian yang melingkari ubun-ubun. Keharusan menyapu kepala ini cukup dengan mengusap saja, sekalipun hanya sedikit, karena Allah Ta’alajuga hanya menyuruh mengusap saja yang berarti mengandung makna sedikit dan banyak. Minimal –dalam menyapu kepala ini-- dengan air yang terbawa oleh telunjuk dan menyapu pada bagian mana saja dari kepala walau hanya sedikit yang diyakini, bahwa bagian kepala telah disapu atau diusap. Akan tetapi sunnatnya adalah seluruh bagian kepala disapu, mulai dengan mengambil air dengan kedua telapak tangan lalu menyapukannya dan menyambungkan ujung kedua jari manis, kemudian meletakkannya pada bagian depan kepala dan meletakkan kedua ibu jari pada bagian pelipis yang selanjutnya ditarik ke bagian belakang kepala dan setelah itu menarik kembali pada bagian depan kepala. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Miqdad bin Ma’diyakrib:
“Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepala dan bagian luar dalam kedua telinganya serta beliau memasukkan kedua telunjuk ke dalam lubang kedua telinganya”.
Sebaiknya menyapu kedua telinga dilakukan dengan air baru, bukan air yang dipergunakan untuk menyapu kepala, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abdullah bin Zaid, bahwasanya dia melihat Rasulullah saw. berwudlu, maka beliau mengambil air untuk menyapu kedua telinganya bukan dengan air yang telah dipergunakan untuk menyapu kepalanya.
Kemudian sesudah itu ia mencuci kedua kaki. Mencuci kedua kaki adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT.:
“…dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” (QS. 5 : 6).
Dalam shahih Bukhari Muslim dinyatakan juga, sesungguhnya Rasulullah saw. pernah melihat sekelompk kaum muslimin berwudlu, sedang tumit mereka tampak tidak tersapu oleh air, maka beliau bersabda:
“Celakalah tumit-tumit itu karena jilatan api neraka”.
Pernyataan ini merupakan penjelasan, bahwa mencuci seluruh bagian kaki adalah fardlu. Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a. dikisahkan, bahwasanya seseorang berwudlu namun bagian kuku pada kedua kakinya tidak dicuci. Oleh karenanya, maka ia menyampaikan kasus ini kepada Nabi saw., maka bersabdalah Beliau:
“Ulangilah wudlu kamu dengan baik”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari atayhnya dari kakeknyadikemukakan pula bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi saw lalu bertanya : Ya Rasulullah bagaimana bersuci itu ? Kemudian beliau meminta air selanjutnya beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali ( dalam hadits ini dituturkan langkah-langkah berikutnya sampai ia berkata ) : Kemudian beliau mencuci kedua kakinya tiga kali dan setelah itu beliau bersabda :
“ Demikianlah cara bewudlu maka barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku zhalim “
Pada saat mencuci kedua kaki, wajib menyertakan kedua mata kakinya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” (QS. 5: 6)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Utsman ketika mensifati wudlu Rasulullah saw. dikemukakan:
“Kemudian beliau mencuci kakinya yang kanan sampai kedua mata kakinya, kemudian yang kiri juga”.
Tidak didapatkan riwayat yang menerangkan, bahwa Rasulullah saw. melakukan wudlu dengan menyalahi riwayat yang dikemukakan di atas, atau mengakui, atau menyatakan bahwa menyalahinya diperbolehkan. Sesungguhnya pernyataan dalam firman Allah yang berbunyi ilal ka’baini (yakni, sampai dengan kedua mata kaki) adalah merupakan dalil, bahwa mencuci kedua kaki meliputi mata kakinya adalah fardlu, karena ghayah (tujuan akhir) termasuk ke dalam tempat tujuan akhir itu sendiri.
“Sesuatu yang bersifat wajib bila tidak terpenuhi kecuali dengannya, maka hal itu hukumnya wajib”.
Disunnahkan mencuci kaki dengan mendahulukan bagian kanan dari bagian kiri dan menjarangkan jemarinya, seperti dikemukakan dalam sabda Nabi saw. yang disampaikan kepada Al-Laqith bin Shanrah:
“Jarangkanlah olehmu jari jemari.”
Kemudian daripada itu, disunnahkan pula pada saat mencuci kedua tangan melampaui kedua sikut pada waktu mencuci kedua kaki melampaui kedua mata kakinya.
Sabda Rasulullah saw.:
“Akan datang umatku pada hari kiamat bertanda putih dikening dan kakinya, sebagai tanda bekas wudlu. Maka barang siapa mampu agar tanda itu berkepanjangan padanya, hendaklah melakukannya”.
Dan disunnahkan juga dalam wudlu melakukannya tiga kali-tiga kali, berdasarkan hadits Ali r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali”.
Bilamana lebih dari tiga kali, hukumnya makruh, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya:
“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau bersabda: Demikianlah cara berwudlu. Barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya, sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku dzalim”.
Namun demikian, diperbolehkan walau hanya satu kali-satu kali atau dua kali-dua kali saja, karena hal itu juga pernah dicontohkan oleh Nabi saw., yakni bahwasanya beliau berwudlu satu kali-satu kali, dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali.
Seperti inilah cara berwudlu. Hendaknya cara tersebut dilakukan dengan berurutan (tertib), yakni memulai dengan mencuci muka, kedua tangan, menyabu kepala, kemudian mencuci kedua kaki, dengan alasan: Sesungguhnya Allah SWT. telah menyertakan “menyapu” di antara mencuci, yakni antara kedua tangan dengan kedua kaki, sehingga hukum kasus yang sama terputus dari kasus yang sama pula. Maksud dari kasus ini tidak lain berimplikasi, bahwa tertib itu hukumnya fardlu. Dan hadits hadits shahih yang diterima dari para sahabat juga, yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang cara berwudlu Nabi saw. seluruhnya menerangkan wudlu beliau dilakukan secara berurutan. Padahal para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tentang cara wudlu beliau banyak sekali dan wudlu beliau juga disaksikan oleh mereka dilakukannya di berbagai tempat serta tidak ada yang mengukuhkan tentang cara wudlu beliau dengan cara yang tidak tertib. Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika wudlu adalah merupakan penjelasan cara wudlu seperti yang diperintahkan dan ketika beliau hanya menepati satu cara dalam wudlu ini merupakan petunjuk yang kua sebagai suatu ketetapan, sehingga jadilah tertib sebagai fardlu. Selanjutnya wajib pula berkesinambungan dalam membersihkan setiap anggota wudlu. Akan tetapi bila hanya terputusnya sebentar tidaklah mengapa. Sedangkan bila terputusnya lama, maka wudlu tersebut tidak sah. Sebab dalam hal ini, yakni berkesinambungan saat berwudlu hukumnya fardlu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Khalid bin Ma’dan dari para sahabat:
“SesungguhnyaNabi saw. melihat seorang laki-laki sedang shalat dan dibelakang kakinya tampak kulit mengering sebesar uang logam satu dirham karena tidak kena air. Maka beliau pun menyuruhnya agar mengulangi wudlunya bersama shalat tersebut”.
Diriwayatkan dari Umar ra. –sebagai hadits mauquf yang disandarkan kepadanya—bahwasanya dia berkata:
“Sungguh orang yang mengerjakan hal itu, haruslah kamu itu mengulangi kembali wudlu kamu”.
Seandainya berkenambungan bukan fardlu, niscaya kepada yang bersangkutan cukup hanya mengulang mencuci kedua kakinya saja. Dengan demikian, maka perintah mengulang kembali wudlu secara menyeluruh bersama sahalatnya tersebut, ini adalah merupakan dalil bahwa berkesinambungan hukumnya wajib.
Dan pada akhirnya seusai wudlu disunnahkan berdoa:
“Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan pleh Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Barang siapa wudlu, lalu ia wudlu dengan baik kemudian berdoa: (Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) sedang ia membacanya dengan tulus dari lubuk hatinya, maka Allah membukakan baginya kedelapan pintu syurga dan ia diperbolehkan masuk sana dari pintu mana saja yang ia kehendaki”.
7. Menyapu Sepatu
Menyapu sepatu saat wudlu hukumnya boleh, berdasarkan sebuah riwayat yang mengemukakan, sesungguhnya Nabi saw. pernah melakukannya. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan untuk menghilangkan hadats besar (junub). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Shafwan bin ‘Assal Al Muradi r.a. dikemukakan:
“Telah menyuruh kepada kami, yakni nabi saw. agar menyapu kedua sepatu jika kami mengenakannya dalam keadaan bersih selama tiga hari saat kami sedang dalam perjalanan, dan sehari semalam saat kami sedang ada di tempat. Dan kami tidak melepasnya karena buang hajat besar, hajat kecil, dan tidak (pula) karena tidur serta kami tidak melepasnya kecuali karena junub”.
Bagi yang sedang berada di tempat diperbolehkan menyapu sepatu selama sehari semalam dan bagi yang sedang bepergian selama tiga hari tiga malam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali r.a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. menetapkan bagi musafir selama tiga hari bersama malam-malamnya dan bagi yang mukim sehari semalam”
Ketetapan ini terhitung sejak yang bersangkutan hadats sesudah ia mengenakan sepatu dengan alasan, karena ungkapan hadits di atas berbunyi (---------------, yakni: Telah menyuruh kepada kami agar menyapu). Tentu saja menyapu baru dimulai sejak waktunya diperbolehkan, sedang diperbolehkan menyapu itu bermula sejak hadats terjadi. Diperbolehkan menyapu ini hanya untuk setiap sepatu yang masih baik, bersih, dan menutupi kaki yang harus dicuci ketika wudlu, yaitu sampai dengan mata kaki. Begitu juga halnya sama dengan sepatu, pakaian yang biasa dikenakan pada kaki, baik itu terbuat dari kulit, atau karet, atau kain, maupun yang lainnya. Hanya saja disyaratkan bagi semua itu menutupi bagian kaki yang harus dicuci saat wudhu, karena menutupi ini –berdasarkan konsensus para ulama—adalah merupakan syarat. Makna dari ungkapan, “pakaian yang biasa dikenakan pada kaki…” yaitu pakaian yang biasa dikenakan baik saat berada ditempat maupun saat bepergian, dan berdasarkan kebutuhan yang selalu terjadi, baik saat berada di rumah dan sedang berada di tempat maupun di luar itu, sebagaimana layaknya orang yang memakai sepatu. Dalam kasusu seperti ini tidak disyaratkan adanya jarak tempuh. Begitu juga halnya sama dengan sepatu dalam semua ketentuannya bagi kaus kaki, yakni diperbolehkan menyapunya tanpa harus mempertimbangkan, apakah kaus kaki itu tebal atau tipis, baik bersandal maupun tidak, berdasarkan hadits yang dikemukakan dari al Mughirah bin Syu’bah r.a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. berwudhu dan menyapu kaus kaki dan sandalnya”.
Diriwayatkan juga dari Umar dan Ali r.a. bahwa menyapu kaus kaki sekalipun kaus tersebut tipis adalah diperbolehkan. Menyapu sepatu atau kaus kaki ini diperbolehkan dengan syarat bila dikenakan dalam keadaan suci secara sempurna, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. :
“Bahwasanya Rasulullah saw. telah memberi keringanan bagi musyafir selama tiga hari bersama malam-malamnya dan bagi yang mukim sehari semalam, jika ia bersuci terlebih dahulu lalu mengenakan sepatunya untuk disapu”.
Disunatkan dalam menyapu sepatu ini menyapu bagian atasnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari al Mughirah bin Syu’bah r.a. bahwasanya dia berkata:
“Aku melihat Rasulullah saw. menyapu bagian atas kdua sepatunya”.
Bagi yang bersangkutan disunatkan pula menyapu bagian atas dan bagian bawah sepatu dengan cara ia menaruh tangannya ke dalam air, kemudian meletakkan telapak tangan kiri di bawah bagian belakang sepatu dan meletakkan telapak tangan kanannya di atas bagian depan sepatu, lalu ditarik sampai pada bagian belakangnya. Sedang telapak tangan kiri ditarik sampai pada bagian depannya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al Mughirah bin Syu’bah r.a. bahwasanya dia berkata:
“Aku telah membantu Rasulullah saw. berwudhu, pada waktu Perang Tabuk, lalu beliau menyapu bagian atas dan bagian bawah sepatunya”.
Namun demikian dalam menyapu sepatu itu tidak disyaratkan harus menyapu seluruh bagian sepatu.
8. Tayammum
Tayammum dari hadats kecil diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt.:
“…dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (wc) atau menyentuh perempuan, lalu kaliantidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih):.
Begitu juga tayammum dari hadats besar, yakni junub, haid, dan nifas, diperbolehkan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘ammar bin Yasir r.a. di mana ia berkata:
“Aku junub, lalu aku pun menggaruk-garukkan badan pada tanah. Kemudian aku sampaikan kepada Nabi saw. cara seperti itu, maka bersabdalah Nabi saw. : ‘Sesungguhnya cukup bagimu seperti ini: Beliau meletakkan kedua tangannya pada tanah dan meniup tanah yang menempel pada kedua tangannya. Kemudian dengan kedua tangannya itu beliau menyapu muka dan dua telapak tangannya’”.
Cara bertayammum adalah menyapu muka dan kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT. :
“…lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah 6)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir dikemukakan, sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda :
“Dalam bertayammum itu (hanya) sekali menepuk (tanah) untuk muka dan kedua tangan”.
Namum demikian diperbolehkan dengan dua kali menepuk tanah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah dan Ibnu Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Tayammum itu dua kali menepuk (tanah); sekali tepukan untuk muka dan sekali tepukan (lagi) untuk kedua tangan sanpai dengan kedua sikutnya”.
Dan berdasarkan hadits Jabir yang mengemukakan :
“Tayammum itu sekali tepukan untuk muka dan sekali tepukan (lagi) untuk kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya. Dan ini merupakan (cara) tayammum yang paling sempurna”.
Diperbolehkan dalam tayammum hanya dengan satu atau dua tepukan untuk menyapu muka dan kedua telapak tangan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ammar di atas dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud juga dari ‘Ammar di mana ia telah berkata :
“Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang tayammum. Maka Beliau menyuruhku dengan hanya satu tepukan untuk muka dan kedua telapak tangan”.
Tayamum tidak diperbolehkan kecuali hanya dengan tanah yang bersih, karena yang dimaksud dengan ( ) dalam firman Allah SWT. ini adalah tanah yang bersih. Dalam kamus Al-Qamus dikemukakan ( ) adalah tanah. Al-Azhari berkata : Mayoritas para ulama berpendapat, sesungguhnya yang dimaksud dengan ( ) dalam firman Allah SWT ( ) adalah tanah. Dalam Fiqh al-Lughah karangan Ats-Tsa’labi dikemukakan : ( ) adalah tanah pada permukaan bumi. Begitu juga Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah SWT. ( ), yakni tanah yang bersih. Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman r.a. dikisahkan, sesungguhnya nabi saw. talah bersabda:
“Kita telah diberi keutamaan atas umat-umat yang lain dengan tifa: Bumi telah dijadikan bagi kita sebagai masjid, tanahnya telah dijadikan bagi kita suci, dan barisan-barisan kita telah dijadikan seperti barisan-barisan malaikat”.
Dalam hadits Muslim dari Hadits Hudzaifah –sebagai hadits marfu’—dikemukakan:
“Dan tanah telah dijadikan suci bagi kita”.
Dalam hadits Ali Karramallahu Wajhahu disebutkan:
“Dan tanah telah dijadikan suci bagiku”.
Kedua hadits di atas bersifat khusus, yakni bahwa yang dimaksud dengan ( dan ) adalah tanah yang dipermukaan bumi ( ). Oleh karena itu, hendaklah makna ( ) diberi makna yang khusus, seperti yang termaktub dalam hadits Abu Umamah:
“Dan bumi (maksudnya tanah) seluruhnya telah dijaikan masjid dan suci bagiku dan bagi umatku”.
Makna ini telah diperkuat lagi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah :
“Dan bumi seluruhnya telah dijadikan masijid bagi kita dan tanahnya telah dijadikan suci bagi kita jika kita tidak memperoleh air”.
Kemudian dari pada itu, lafadz ( , yakni usaplah oleh kalian) juga menghendaki adanya sesuatu yang disapu dengannya. Hal ini juga tidak mungkin terjadi kecuali bila ada tanah yang menempel pada kedua telapak tangan pada waktu ditepukkan pada permukaan bumi (tanah). Dengan demikian, maka tanah itu harus berdebu sehingga benar-benar ada yang menempel pada anggota yang disapu. Sedangakan kerikil ( ) yang tidak berdebu, maka tidak boleh bertayamum dengannya. Kemudian tayamum ini tidak sah tanpa niat.
Bilamana hendak tayamum, sama halnya dengan wudlu, yang bersangkutan disunnatkan membaca basmalah, yakni menyebut nama Allah Azza wa Jalla. Kemudian ia wajib niat, selanjutnya menepukkan kedua telapak tangannya pada tanah dan menenggelamkan jari-jemari jika tanah itu lembut. Seandainya ia tidak menepukkan dan hanya meletakkan kedua telapak tangannya pada tanah tersebut sudah dianggap memadai (boleh). Sesudah itu, ia menyapu muka dengan rata ke seluruh bagian muka sampai pada batas tempat tumbuh rambut kepala bagi yang berambut normal. Langkah berikutnya, ia menepukkan, ia menepukkan kedua telapak tangannya untuk kedua kalinya dan meletakkan bagian dalam jari jemari bagian luar sebelah kanan, dan menariknya melintasi bagian luar telapak tangan sampai sikut, kemudian memutarnya pada bagian dalam sikut dan menariknya dengan mengangkat ibu jari sampai pergelangan tangan. Ketika telapak tangan kiri sampai pada pergelangan, maka ibu jari tangan kiri ditarik ke atas ibu jari tangan kanan, kemudian tangan kiri disapu dengan telapak tangan seperti yang dilakukan sebelumnya dan pada akhirnya ia menyapu kedua telapak tangannya dengan menjarangkan jari jemari secara bergiliran . Fardlu tayamum dari tata cara di atas, yaitu: Niat, menyapu muka, menyapu kedua tangan, dan mendahulukan muka daripada tangan. Sedangkan sunnat-sunnatnya: membaca basmalah dan mendahulukan tangan kanan dari tangan kiri. Tayamum tidak boleh dilakukan kecuali karena tidak mendapatkan air atau karena yang bersangkutan berhalangan menggunakan air. Adapun yang menjadi alasan, mengapa orang yang mendapatkan air tidak diperbolehkan tayamum adalah firman Allah SWT.:
“…, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah”. (QS. 5: 6)
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda:
“Tanah yang baik (bersih) adalah wudlunya seorang muslim ketika ia tidak mendapatkan air”.
Orang yang berhajat air karena kehausan dianggap seperti orang yang tidak mendapatkan air, sehingga oleh karenanya ia tidak boleh wudlu dengannya. Dalam kasus seperti ini ia harus lebih mengutamakan menyimpan air untuk persediaan minum. Taymmum tidak boleh dilakukan kecuali sudah benar-benar diusahakan untuk mendapatkan air namun tidak diperoleh, sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh firman Allah SWT.: “…, lalu kalian tidak memperoleh air”. Kemudian berusaha agar memperoleh air tidk sah kecuali sesudah masuk waktu shalat, karena berusaha agar memperoleh air motifnya untuk mengukuhkan syarat boleh tayammum, yaitu karena tidak ada air. Pada waktu mencari air yang bersangkutan harus menengok ke kanan dan ke kiri, di samping menengol ke depan dan ke belakang. Jika terpampang di depannya gunung atau apa saja yang menghalangi, maka ia pun harus memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Seandainya ia berteman, maka ia harus bertanya dan berkonsultasi tentang air bersamanya. Ketika dia memberinya, maka ia harus menerimanya. Pada waktu dia menjualnya dengan harga yang wajar dan ia memiliki uang untuk membelinya, maka air tersebut harus dibelinya. Kemudian saat ada seseorang yang menunjukkan tempat ditemukan air dan ia tidak khawatir akan kehabisan waktu shalat, tidak takut tertinggal teman, tidak cemas akan bahaya yang mengancam diri dan hartanya, maka ia harus mengejarnya. Dalam tayammum juga disyaratkan, hendaknya dilakukan sesudah waktu shalat tiba, dan tayammum hanya berlaku bagi satu kali mengerjakan shalat fardlu. Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’ib dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:
“Telah dijadikan tanah sebagai masjid dan suci bagiku, sehingga kapan saja waktu shalat menemuiku maka aku pun menyapu dan shalat”.
Apabila seorang mukallaf tidak mendapatkan, baik air maupun tanah, karena dia dikurung di dalam ruangan yang najis atau dalam ruangan tertembok, atau dalam tanah keras yang tidak berdebu, maka tetap ia harus shalat sesuai dengan kondisi tanpa harus mengulang saat air ditemukan. Kasus seperti ini didasarkan pada hadits Aisyah r.a. bahwasanya ia pernah meminjam kalung dari Asma’ dan kalung tersebut hilang. Kemudian Rasulullah saw. menyuruh para sahabat untuk mencarinya dan saat mereka melakukan pencarian waktu shalat pun tiba, lalu mereka pun shalat tanpa wudlu. Ketika mereka kembali kepada Nabi saw. mereka pun mengadukan hak itu kepadanya, maka turunlah ayat tayammum. Mereka telah shalat tanpa wudlu dan Rasulullah saw. juga tidak menyuruh mereka untuk mengulangi kembali shalat mereka. Dalam hal ini kita mengacu pada hadits Nabi saw.:
“Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan untuk kalian, maka kerjakanlah sedapat mungkin”.
Sebagai orang muslim kita diperintah untuk mendirikan shalat menepati syarat dan rukunnya. Bilamana sebagian ketentuannya tidak bisa dipenuhi, maka ketentuan yang lainnya tetap harus ditepati. Hal ini seperti bila seseorang tidak kuasa menutup aurat, maka hendaklah ia shalat tanpa menutup aurat. Atau sekiranya seseorang tidak bisa menentukan arah kiblat, maka hendaklah ia shalat ke arah mana saja yang ia yakini bahwa di sana arah kiblat. Atau saat seseorang tidak mampu memenuhi salah satu rukunnya, seperti berdiri, maka hendaklah shalat sambil duduk. Atau kalau seseorang tidak dapat memperoleh air, bahkan tanah sekalipun, maka hendaklah ia shalat tanpa wudlu atau tayammum. Dengan cara seperti itu, berarti
halaman 29 hasil terjemahan, nggak ada
membalut kepalanya dengan pembalut (kain) lalu menyapunya, dan mencuci seluruh tubuhnya”.
9. Yang membatalkan wudlu
Segala yang keluar qubul dan dubur Bani Adam membatalkan wudlu, baik itu kotoran, air kencing, kentut, belatung, nanah, darah, kerikil, maupun lainnya. Tidak ada bedanya dalam hal ini, baik itu yang langka maupun yang biasa. Begitu juga tidur, hilang akal bukan karena tidur, menyentuh kulit wanita, memegang kemaluan, semua ini membatalkan wudlu. Sedang selain dari itu tidak membatalkan wudlu.
Dasar hukum mengaoa segala yang keluar dari qubul dan dubur Bani Adam membatalkan wudlu adalah:
Firman Allah SWT.:
“…atau salah seorang di antara kalian kembali dari tempat buang air (WC)” (QS. 5:6).
Sabda Rasulullah saw.:
“Tidak ada wudlu kecuali karena kentut yang bersuara atau (keluar) angin”.
Sabda Rasulullah dalam hadits lain:
“Bilamana salah seorang di antara kalian mendapatkan sesuatu dalam perutnya, maka yakinlah hal apakah sesuatu (benar-benar) telah keluar daripadanya atau tidak. Maka hendaklah ia tidak sampai keluar dari masjid sampai (benar-benar) ia mendengar bunyi (kentut) atau mendapatkan angin (mencium baunya)”.
Sabda Rasulullah saw. tentang madzi:
“Dzakarnya dicuci dan berwudlu”.
Sabda Rasulullah saw. tentang wadi:
“Dalam wadi (mengharuskan) wudlu”.
Tidur yang membatalkan wudlu, yaitu tidur sambil merebahkan badan, atau bersandar, atau telungkup. Sedangkan tidur yang dilakukan sambil duduk sementara pantat yang bersangkutan merapat pada tempat duduknya, maka hal itu tidak membatalkan wudlu sekalipun tidurnya itu sampai mendengkur. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ali Karramallahu Wajhahu dikemukakan, bahwa Nabi saw. telah bersabda:
“Kedua mata itu kekangnya ekor, maka barang siapa tidur hendaklah berwudlu”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra. Dikemukakan, bahwasanya dia telah berkata:
“Para sahabat Rasulullah saw. pernah menunggu shalat Isya’ sehingga mereka tertidur sambil duduk, kemudian mereka shalat dan mereka tidak wudlu (terlebih dulu)”.
Sedang dalam riwayat Al-Baihaqi dikemukakan:
“Sungguh aku telah melihaat para sahabat Rasulullah saw. bangun tidur untuk shalat sampai aku pun mendengar salah seorang diantara mereka mendengkur (ngorok), namun kemudian mereka bangun lalu shalat dan tidak wudlu”.
Adapun hilang akal selain kerena tidur, yaitu gila atau sawan celeng, atau mabuk, atau sakit yang menimbulkan hilang kesadaran, mengapa semua itu membatalkan wudlu adalah berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir.
Sedang alasan, bahwa menyentuh kulit wanita membatalkan wudlu adalah sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’ ayat 43 dan dalam surah Al-Maidah ayat 6, yaitu:
“…atau kalian menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah kalin”.
Dalam ayat di atas kata ( , yakni menyentuh) di’athafkan pada kata ( , yakni yang kembali dari tempat buang hajat) dan sebagai akibat dari kedua perbuatan tersebut timbulnya perintah tayammum ketika tidak diperoleh air. ‘Athaf seperti ini menunjukkan, bahwa menyentuh perempuan menimbulkan hadats seperti seorang yang kembali dari tempat buang hajat (selepas buang hajat besar atau kecil).
Makna dari ( dan ) adalah laki-laki menyentuh kulit perempuan dan sebaliknya tanpa ada penghalang diantara keduanya, sehingga batallah wudlu yang menyentuh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. ( , yakni atau kalian menyentuh perempuan). Dalam salah satu qiraat sab’ah ayat ini dibaca: ( ). Jadi menyentuh perempuan membatalkan wudlu. Kata ( ) menurut bahasa adalah semata-mata menyentuh dengan tangan dan tidak diartikan dengan makna bersetubuh melainkan sebagai kiasan (majaz) yang disertai dengan petunjuk (qarinah). Begitu juga kata ( ) di sini tidak dapat diartikan sebagai kata majaz kecuali ketika arti yang sebenarnya tidak mendukung. Al-Hakim telah berdalih, bahwa yang dimaksud dengan ( ) dalam ayat di atas adalah bukan bersetubuh, berdasarkan hadits Aisyah:
“Tidak pernah barang sehari atau kurang dari sehari melainkan Rasulullah saw. itu mendatangi kami, lalu beliau mencium dan menyentuh”.
Al-Baihaqi juga telah berdalil dengan hadits Abu Hurairah r.a.:
“Tangan itu zinanya menyentuh”.
Dalam kisah Ma’iz diceritakan:
“Bisa jadi kamu mencium atau menyentuh”.
Dalam hadits Umar dikemukakan:
“Ciuman itu merupakan sentuhan, maka wudlulah kalian karenanya”.
Semua dalil di atas menegaskan, bahwa ayat tersebut menunjukkan makna menyentuh secara hakiki, bukan majazi, yaitu menyentuh atau meraba dengan tangan. Hali ini diperkuat lagi dengan pemehaman para sahabat terhadap ayat ini, yakni bahwa ( ) yang berarti menyentuh (meraba) dengan tangan adalah membatalkan wudlu. Ibnu Umar telah menegaskan, sesungguhnya orang yang mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka ia harus wudlu. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dikemukakan dengan ungkapan:
“Ciuman itu merupakan sentuhan dan karenanya mengharuskan wudlu”.
Sedangkan perihal hadits yang diriwayatkan dari Aisyah: “Sesungguhnya Nabi saw. mencium sebagian isterinya kemudian beliau shalat dan tidak wudlu (lagi)”. Ternyata semua periwayatannya dha’if. Bahkan lebih dari itu, sesungguhnya hadits tersebut berlawanan dengan teks ayat di atas. Adapun hadits lain yang diriwayatkan oleh Aisyah juga:
“…sehingga bila beliau bermaksud hendak witir beliau menyentuhku dengan kakinya”.
Kemudian dia dalam riwayat lain berkata:
“Jika beliau sujud, maka beliau juga mencandai aku lalu aku pun memegang kakiku, dan bila berdiri aku pun melepaskannya”.
Hadits ini juga berlawanan dengan ayat tersebut. Dengan demikian, kedua hadits di atas merupakan kekhususan bagi Nabi saw. Hal ini berdasarkan adanya nash qauli yang berlawanan. Bilamana ada pernyataan dalam Al_qur’an atau hadits, kemudian perbuatan Rasulullah saw. menyalahinya maka perbuatan tersebut merupakan kekhususan bagi beliau, dan hendaknya perbuatan tersebut tidak dijadikan ikutan. Sebab dalam kasus seperti ini, bahwasanya perbuatan Rasulullah saw. tidak pernah berlawanan dengan pernyataan umum yang dikemukakan dalam Al-Qur’an atau hadits. Begitu juga dalam kasus seperti ini tidak boleh dinyatakan, bahwa hadits tersebut berlawanan dengan ayat itu lalu makna yang terkandung dalam hadits yang dijadikan pegangan sekalipun dengan alasan, karena hadits tersebut sebagai tafsir bagi ayat itu. Hal tersebut jangan sampai terjadi, karena lafadz yang dikemukakan dalam ayat di atas, yaitu ( ) atau ( ), tidak bersifat umum kemudian hadits membuatnya bersifat khusus. Begitu pula hal tersebut jangan sampai dikatakan, bahwa ayat di atas bersifat mutlak kemudian hadits membatasinya serta jangan pula dinyatakan, bahwa lafadz dalam ayat di atas merupakan lafadz yang mempunyai banyak arti (musytarak) kemudian hadits menentukan makna yang dikehendaki. Selanjutnya jangan pula dianggap, bahwa lafadz yang bersifat mujmal kemudian hadits memerincinya, atau dianggap sebagai lafadz yang mubham (tidak jelas) kemudian hadits dikatakan sebagai penafsir dan penjelasnya. Semua itu jangan sampai terjadi, sebab lafadz dalam ayat di atas dalalahnya jelas dan hanya memiliki satu makna yang bersifat hakiki, sehingga adanya hadits yang berlawanan dengannya tidak bisa diterima dan sudah barang tentu hadits tersebut harus ditolak dan diarahkan pada makna lain selaras dengan maksud disabdakannya, yaitu bahwa makna yang dikandungnya itu bersifat khusus bagi Nabi saw. Atas dasar ini, maka ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudlu. Hanya saja yang batal wudlunya itu adalah hanya yang menyentuh saja. Sedangkan yang disentuh tidak batal wudlunya. Hal ini dengan alasan, karena ayat di atas menunjukkan bahwa yang batal wudlunya itu hanya yang menyentuh dan tidak bagi yang disentuh, baik ditinjau dari segi mantuq, mafhum, maupun dari segi dalalah.
Alasan ini didukung dan diperkuat lagi oleh hadits yang meriwayatkan, sesungguhnya Aisyah r.a. berkata:
“Aku pernah kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur (kasur). Kemudian aku bangun mencarinya, maka (ketika itu) tanganku menyentuh telapan kedua kakinya. Pada waktu beliau telah usai dari shalatnya, bersabdalah: Syaitanmu (tindakan tidak baik) telah mendatangimu”.
Dalam riwayat lain dikemukakan dengan ungkapan:
“…, maka (ketika itu) tanganku menyentuh bagian bawah kakinya dan beliau (saat itu) berada di masjid sedang kedua kakinya menjulur dan beliau sedang berdao: (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada ridha-Mu dari murka-Mu)”.
Hadits ini menunjukkan , bahwa yang disentuh tidak membuat wudlunya batal. Sebab sekiranya yang disentuh wudlunya batal, niscaya Rasulullah saw. memutuskan shalatnya ketika Aisyah menyentuhnya. Dalam kasus ini tidak ada perbedaan antara yang menyentuh itu apakah perempuan atau laki-laki, yakni bahwa yang batal wudlunya adalah yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak. Akan tetapi bila kulit laki-laki dan perempuan saling bersentuhan, maka keduanya batallah wudlunya. Sebab dalam hal ini keduanya dianggap menyentuh . Adapun bilamana salah seorang diantara keduanya menyentuh rambut lawan jenisnya, atau giginya, atau kukunya, atau ia menyentuh lawan jenisnya dengan gigi, atau rambut, atau dengan kukunya, maka hal itu tidak membatalkan wudlunya kerena kasus ini tidak dianggap menyentuh. Begitu juga tidak membatalkan wudlu, jika seseorang menyentuh perempuan yang masih ada tali kekerabatan yang tidak boleh dikawanini atau belum dewasa, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat sambil memangku Umamah binti Zainab r.a. Maka bila beliau sujud, beliau meletakkannya dan bila berdiri, beliau pun mengangkatnya”.
Umamah saat itu adalah seorang anak perempuan kecil dan muhrim atas Nabi saw.; termasuk muhrim pula –selain cucu perempuan-- perempuan yang ada tali kekerabatan, seperti: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, sebagaimana termasuk muhrim juga, perempuan yang haram dinikahi karena satu susuan, atau karena jadi mertua, anak perempuan isteri. Adapun haram dinikahi untuk sementara, seperti: saudara perempuan isteri, bibi dari pihak ayah dan ibunya, mereka itu dapat membatalkan wudlu ketika disentuhnya.
Sementara soal menyentuh kemaluan, sesungguhnya hal ini baru dapat membatalkan wudlu jika disentuh dengan bagian dalam telapak tangan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yusrah bin Shafwan r.a. yaitu sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Apabila seseorang di antara kalian menyentuh (meraba) kemaluannya (dzakar), maka wudlulah”.
Sedangkan jika seseorang menyentuh kemaluan hanya dengan bagian atas telapak tangannya, maka hal itu tidak membatalkan wudlunya, seperti dinyatakan oleh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Bilamana seseorang di antara kalian memnjulurkan tangan pada dzakarnya sedang di antara keduanya tidak ada penghalang, maka perbaharuilah wudlunya untuk shalat”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yusrah binti Shafwan juga dikemukakan, sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Barangsiapa menyentuh dzakarnya, maka baginya tidak boleh shalat sampai ia berwudlu”.
Kemudian dalam hadits yang dorowayatkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasai dari Yusrah diceritakan, bahwasanya dia (Yusrah) mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Dan berwudlulah orang yang menyentuh dzakarnya”.
Pengertian menyentuh dzakar dalam hadits tersebut meliputi dzakar yang bersangkutan dan dzakar orang lain.
Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan lagi:
“Barangsaiapa menjulurkan tangan pada dzakarnya tanpa penghalang, maka kepadanya wajib wudlu”.
Pengertian dari menjulurkan tangan tidak lain yaitu memanjangkan tangan untuk menyentuh (meraba) sesuatu dan sudah barang tentu menyentuh atau lebih tegasnya lagi meraba adalah dengan bagian bawah (dalam) telapak tangan, bukan dengan bagian atas (luar) tangan karena bagian atas telapak tangan bukan alat untuk meraba. Begitu pula halnya menyentuh dzakar orang lain sama dengan menyentuh kemaluan diri sendiri, dan menyentuh qubul dan dubur (Bani Adam) sama seperti menyentuh dzakar, adalah merupakan tindakan yang membatalkan wudlu. Atas dasar ini, maka bilamana seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meraba qubul dirinya tau qubul orang lain, baik anak kecil, atau orang dewasa, apakah ia hidup atau mati, laki-laki maupun perempuan, maka batallah wudlunya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi saw.:
“Siapapun laki-laki yang meraba farjinya (qubul maupun dubur), maka berwudlulah. Dan siapapun perempuan yang meraba farjinya, maka berwudkulah”.
Dalam hadits Ummu Habibah juga dikemukakan:
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa meraba farjinya, maka berwudlulah”.
Begitu juga halnya orang yang meraba farjinya orang lain sama dengan meraba farjinya sendiri, karena masih sama-sam farji bani Adam. Lain halnya bila seseorang meraba farji binatang, maka hal itu tidak membatalkan wudlu karena farji binatang tidak termasuk dalam konteks lafadz farji seperti yang dikemukakan dalam hadits nabi saw. yang bersifat khusus untuk farji Bani Adam. Yang batal wudlunya di sini adalah hanya yang meraba saja, sedang yang diraba tidak batal karena hadits di atas juga hanya menyatakan kepada yang meraba dan yang mengulurkan tangannya saja, yakni tidak menyatakan kepada yang diraba, baik secara tekstual maupun secara kontekstual, sehingga oleh karenanya maka hadits di atas menujukkan bahwa yang diraba kemaluannya tidak batal wudlunya.
Inilah beberapa hal yang membatalkan wudlu. Bilamana seseorang melakukan salah satu dari kelima hal tersebut, maka batallah wudlunya dan jadilah ia berhadats kecil. Kemudian daripada itu, barang siapa mempunyai wudlu dan ia benar-benar yakin bahwa dirinya suci dari hadats kecil, namun kemudian ragu; apakah ia telah hadats atau belum, maka keraguan tersebut jangan dianggap, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ubbad bin Tamim dari pamannya:
“Bahwasanya ia telah mengadu kepada Rasulullah saw. tentang seorang laki-laki yang mengira bahwa dirinya mendapatkan sesuatu saat sedang shalat, maka bersabdalah beliau: Janganlah ia beranjak atau berpaling sampai mendengar suara atau mendapatkan angin (bau kentut)”.
Barang saipa batal wudlunya (berhadats kecil), maka haram baginya shalat berdasarkan sabda Nabi saw.:
“Allah tidak menerima shalat tanpa wudlu”.
Dalam hadits lain beliau bersabda:
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian bila (ternyata) ia dalam keadaan hadats dampai dia berwudlu”.
Hukum sujud tilawah dan sujud syukur juga sama seperti shalat, yakni harus suci dari hadats kecil (harus mempunyai wudlu). Begitu pula halnya thawaf, sebagaimana dikemukakan dalam sabda Nabi saw.:
“Thawaf di Baitullah adalah (sama seperti) shalat, hanya saja dalam thawaf sesungguhnya Allah telah membolehkan bercakap-cakap (berbicara)”.
Kemudian bagi orang yang batal wudlunya diharamkan menyentuh mushhaf (Al Qur’an).
Firman Allah Ta’ala :
“…. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. 56 : 79)
Kata ganti (dhamir) dalam ayat ini merupakan pengganti dari lafadz (alqur’an) yang terdapat pada ayat sebelumnya, yaitu :
“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh)” (QS. 56: 77-78)
Adapun yang dimaksud dengan (almuthahharun) yakni, orang-orang yang disucikan), yaitu orang-orang yang disifati sebagai orang-orang suci dari hadats kecil dan hadats besar. Pendapat ini diperkuat oleh hadits yang menceritakan, sesungguhnya Nabi saw. telah berkirim surat kepada penduduk Yaman yang berisi:
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”.
Menyentuh mushhaf pengertiannya meliputi menyentuh tulisan, sampul, catatan pinggir, dan seluruh yang dikatagorikan bahwa hal itu sebagai mushhaf. Sedang tempat menyimpan dan yang tidak dikatagorikan sebagai mushhaf tidak diharamkan menyentuhnya.
10. Mandi Besar
Yang mengharuskan mandi besar adalah : Melakukan hubungan sebadan (memasukkan kemaluan -hasyafah- ke dalam farji), keluar mani (ejakulasi), haid, dan nifas.
Dalil yang mengharuskan mandi besar karena melakukan hubungan sebadan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda :
“Bilaman dua yang dikhitan bertemu, maka mandi besar (hukumnya) wajib”
Bertemunya dua yang dikhitan terjadi dengan memasukkan hasyafah ke dalam farji. Hasyafah adalah bagian kelamin yang dikhitan. Hasyafah laki-laki adalah bagian yang dikhitan, yakni yang dibuang kulit penutupnya. Sedang bagian yang dikhitan pada perempuan adalah kulit berbentuk seperti jewer ayam jantan yang terletak di bagian atas vagina. Bilamana hasyafah tersebut masuk ke dalam farji, yakni antara bagian yang dikhitan pada laki-laki dan perempuan saling bertemu dan bersentuhan, maka yang bersangkutan wajib mandi besar sekalipun ia memasukkan hasyafahnya ke dalam farji binatang, baik hidup maupun mati si empunya farji itu, baik yang bersangkutan sampai keluar mani atau tidak. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalamn sebuah hadits, bahwasanya Nabi saw. telah bersabda :
“Bilamana seorang duduk diantara empat pangkalnya (paha) dan dua yang dikhitan menempel, maka wajiblah mandi besar sekalipun ia tidak sampai keluar mani”.
Dalil yang mengharuskan mandi besar karena keluar mani adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudri ra. Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda :
“Sesungguhnya air (mani) itu dari air”
Mandi besar karena keluar air mani ini diharuskan baik keluarnya dalam keadaan yang bersangkutan sedang dalam keadaan (jaga) maupun sedang dalam keadaan tidur. Ummu Salamah ra. Telah meriwayatkan sebuah hadits:
“Telah datang Ummu Sulain –istri Abu Thalhah—kepada Rasulullah saw. lalu bertanya: Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari yang baik; apakah perempuan harus madi besar jika ia mimpi bersetubuh? Beliau menjawab: Ya, jika ia melihat air (mani)”.
Apabila sesorang mimpi bersetubuh namun ia tidak sampai keluar air mani atau ia ragu; apakah ia sampai keluar air mani karenanya, maka kepadanya tidak wajib mandi besar. Sedangkan bila ia mendapatkan air mani sekalipun ia tidak ingat bahwa dirinya telah mimpi bersetubuh, maka kepadanya wajib mandi besar. Hal ini sebagimana diriwayatkan oleh Aisyah ra.:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah ditanya tentang seorang laki-laki mendapatkan (dirinya) kebasahan, naum ia tidak ingat; apakah dirinya mimpiu bersetubuh. Bersabdalah beliau: Ia wajib mandi besar. Dan tentang seorang laki-laki yang mendapatkan bahwa dirinya mimpi bersetubuh namun ia tidak mendapatkan dirinya kebasahan, beliau bersabda: Tidak wajib madi besar kepadanya”
Keharusan mandi besar ini semata-mata hanya karena keluar air mani saja, sehingga oleh karenanya tidak wajib mandi besar karena keluar madzi atau wadi. Madzi adalah air (cairan) yang keluar karena rangsangan seksual. Sedangkan wadi yaitu cairan yang keluar saat kencing (buang air kecil). Ketetapan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali karramallahu wajhahu, bahwasanya ia berkata:
“Aku adalah seorang yang mudah keluar air madzi, sehingga di musim dingin pun aku tetap mandi besar sampai punggungku sakit karenanya. Kemudian aku mengadukan hal itu kepada Nabi saw. lalu beliau berkata: Jangan kau lakukan! Bilamana engkau mendapatkan air madzi, maka cucilah dzakarmu dan berwudhulah untuk shalat”
Dalil yang mengharuskan mandi besar karena datang bulan (haid) adalah :
Firman Allah Ta’ala :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian dekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu” (QS. 2 : 222)
Sabda Rasulullah saw. yang disampaikan kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
“Apabila datang haid, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berlalu, maka mandi besar dan shalatlah”
Sedangkan dalil yang mengharuskan mandi besar karena nifas adalah disebabkan darah nifas merupakan darah haid yang tertunda keluarnya. Begitu juga halnya wiladah sama dengan nifas dalam keharusan mandi besar, sekalipun tidak sampai mengeluarkan darah, sebab saat bersalin tentu keluar cairan walau hanya sedikit. Oleh karena itu, bersalin sama seperti darah nifas.
Orang junub diharamkan shalat, thawaf, dan menyentuh mushhaf (Al Qur’an). Sebab jangankan karena junub, dikarenakan hadats kecil saja hal itu diharamkan. Maka diharamkannya hal tersebut bagi orang junub (berhadats besar) sikap yang lebih diutamakan. Begitu juga kepadanya diharamkan membaca Al Qur’an, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Orang junub dan yang sedang haid tidak boleh sedikitpun membaca Al-Qur’an”.
Begitu juga kepada orang junub ini diharamkan berdiri di masjid, namun tidak mengapa kalau hanya sekedar berlalu.
Firman Allah SWT.:
“…, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” (QS. 4: 43).
Bilamana seseorang bermaksud hendak mandi besar dari junub, maka pertama-tama dia menyebut nama Allah (membaca basmalah) dan selanjutnya berturut-turut dia; niat bersuci dari hadats besar; mencuci kedua telapak tangannya tiga kali sebelum dimasukkan ke dalam tempat air; mencuci bagian yang terkena cairan; berwudlu seperti wudlu untuk shalat; memasukkan seluruh jari jemari ke dalam air; mengambil air dengannya dan menyiramkannya pada kepala sambil menjarangkan (menggaruk) pangkal rambut dan jenggot; mengambil air dengan kedua telapak tangan dan menyiramkam air ke seluruh tubuh; menggosok seluruh bagian badan yang bisa dijangkau oleh tangan dan berpindah tempat ; mencuci kedua kaki. Tata cara mandi besar ini berdasarkan gambaran yang dikemukakan oleh Aisyah dan Maimunah r.a. ketika keduanya mensifati mandi besar yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana beliau bersuci dari hadats besar (janabah), pertama mencuci kedua tangannya, kemudian berwudlu seperti wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jemarinya ke dalam air lalu menjarangkan pangkal rambut kepala dengannya, kemudian menuangkan air pada kepalanya tiga kali yang diambil dengan merapatkan kedua telapak tangannya, kemudian menuangkan air pada seluruh kulitnya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Maimunah r.a., dia berkata:
“Rasulullah saw. berwudlu seperti wudlu untuk shalat tanpa mencuci kedua kakinya dan beliau mencuci farjinya serta mencuci bagian yang terkena cairan, kemudian beliau menyiramkan air pada badannya, kemudian menuju pada kedua kakinya lalu mencucinya. Ini adalah bersuci janabah”.
Yang termasuk sebagai fardlu dalam bersuci dari hadats besar adalah: Niat dan menyiram seluruh badan dengan air bersih. Sedang di luar kedua poin ini adalah sunat. Cara bersuci dari hadats besar bagi laki-laki dan perempuan adalah sama seperti gambaran di atas. Dan bersuci dari hadats besar boleh dilakukan dari air dalam bak, di bawah air terjun, dari air ledeng, boleh dilakukan di laut, di sungai, di sumur, dan sebagainya. Semua itu boleh dipilih selama memenuhi fardlu mandi besar, namun yang paling afdhal adalah yang bisa mencakup sunat-sunat mandi besar.
11. Najis
Yang dikategorikan sebagai benda najis, yaitu: Air kencing, tahi, muntah, madzi, wadi, selain mani Bani Adam, darah, nanah, cairan luka, darah janin (al ‘alaqah), bangkai, arak, minuman keras selain arak, anjing, babi, daging keledai kampung, dan setiap benda yang terkena oleh salah satu benda najis tersebut.
Dalil yang menunjukkan bahwa air kencing najis yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a. :
“Sesungguhnya seorang Arab dari dusun telah kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi). Maka Nabi saw. menyuruh agar mengambil seember air lalu disiramkannya”
Dalil yang menunjukkan bahwa tahi manusia najis yaitu konsensus para shahabat Nabi saw.. Sedang dalil yang menunjukkan bahwa tahi binatang dan tahi burung najis adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. di mana ia berkata :
“Aku datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua buah batu dan sebuah kotoran (keledai). Beliau mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan kotoran (keledai), lalu bersabda: Sesungguhnya itu adalah najis”
Dalil yang menunjukkan bahwa muntah najis, baik muntah manusia maupun binatang adalah konsensus para ulama.
Dalil yang menunjukkan bahwa madzi najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah yang mengatakan :
“Aku adalah seorang yang mudah keluar madzi. Maka aku menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu bersabdalah beliau: Bilaman engkau melihat madzi, maka cucilah dzakarmu”.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wadi najis adalah dikarenakan wadi keluar dari air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Sedangkan dalil yang menjadi alasan, mengapa wadi selain bani Adam juga najis, karena wadi tersebut keluar dari tempat keluar air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Dikecualikan dari air kencing air mani Bani Adam, yakni bahwa air mani Bani Adam adalah suci. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan:
“Bahwasanya ia (Aisyah r.a. menggosak-gosok air mani agar terkelupas dari baju Rasulullah saw. sedang beliau dalam keadaan shalat”.
Seandainya air mani (bani Adam) najis, sudah barang tentu shalat tidak akan dikerjakan oleh beliau sementara baju yang dikenakannya ada air mani yang menempel.
Dalil yang menunjukkan bahwa darah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma’ r.a. bahwasanya ia berkata :
“Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah saw, kemudian ia berkata: Salah seorang diantara kami bajunya terkena darah haid; bagaimanakah kami harus berbuat dengannya? Beliau bersabda: Gosoklah, kemudian bilasnlah bersama air, kemudian cucilah dengannya (air), kemudian shalatlah dengannya”.
Begitu juga nanah hukumnya najis seperti darah, karena nanh ini tidak lain adalah darah membusuk, Sedangkan cairan luka, hendaklah terlebih dahulu diperhatikan: jika mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka tersebut najis seperti nanah. Sedangkan bila tidak mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka itu bersih, seperti peluh. Selanjutnya mengenai hukum ‘alaqah (janin yang masih berupa segumpal darah) sama dengan hukum darah, karena ‘alaqah ini adalah merupakan darah yang keluar dari rahim sehingga sama dengan darah haid.
Dalil yang menjadi alasan bahwa bangkai najis adalah konsensus para ulama. Kan tetapi dikecualikan dari semua jenis bangkai, bangkai ikan dan belalang serta manusia, ketiganya adalah suci berdasarkan hadits mauquf yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya ia berkata :
“Dihalalkan bagi kita dua (jenis) bangkai dan dua (jenis) darah. Adapun dua (jenis) bangkai, yaitu ikan dan belalang. Sedang dua (jenis) darah, yaitu hati dan paru-paru”
Tentang bangkai manusia, Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya orang beriman tidak najis”
Dalil yang menunjukkan bahwa arak najis adalah konsensus para ulama.
Dalil yang menunjukkan bahwa anjing najis adalah hadits yang meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah diundang untuk hadir di sebuah rumah, maka beliau pun berkenan memenuhinya. Dan pernah (juga) diundang untuk hadir di sebuah rumah (yang lain), namun beliau tidak mau memenuhinya. Lalu beliau ditanya karenanya dan beliau menjawab: Sesungguhnya di rumah si fulan ada anjing. Kemudian dikemukakan kepada beliau: Bahwa di rumah si Fulan ada kucing. Bersabdalah beliau: Kucing itu tidak najis”
Dalam hadits yang diriwayatkan dari abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila anjing menjilat perkakas seseorang di antara kalian, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah perkakas itu tujuh kali”.
Berdasarkan hadits di atas, maka anjing itu najis.
Adapun dalil yang menjadi alasan bahwa babi adalah konsensus (ijma’) para sahabat Nabi saw.
Dalil yang menunjukkan bahwa daging keledai kampung adalah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a., bahwasanya dia berkata:
“Kami pada waktu menaklukkan Khaibar memasak daging keledai. Kemudian seseorang yang disuruh Rasulullah memanggil: Sesungguhanya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai karena itu adalah kotor dan najis”.
Alasan dinyatakan najis benda yang terkena benda najis, karena najis tersebut jadi menempel padanya disebabkan basah umpanya. Sedangkan bila ternyata najis itu tidak menempel, seperti tangan yang menyentuh anjing namun dalam keadaan kering sehingga tidak ada bekas yang ditinggalkan, maka hal itu tidak membuat tangan menjadi najis. Sedangkan bila salah satunya dalam keadaan basah, maka benda suci yang tersentuh oleh anjing tersebut menjadi najis.
12. Menghilangkan Najis
Bilamana anjing menjilat perkakas atau salah satu anggota tubuhnya menyentuh perkakas tersebut dan salah satu anggota tubuh anjing itu dalam keadaan basah atau yang basah itu adalah perkakas, maka perkakas tersebut menjadi tidak bersih (najis) sampai perkakas itu dicuci tujuh kali dan salah satunya harus dengan tanah. Ketentuan ibi berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:
“Cara membersihkan perkakas seseorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya sengan tanah”.
Babi adalah binatang yang disamakan dengan anjing karena keadaan babi lebih buruk dari anjing, sehingga pada saat hukum babi disamakan dengannya ini adalah merupakan langkah yang dianggap lebih pantas.
Cara untuk membersihkan benda yang terkena air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan selain ASI adalah cukup hanya dengan memercikkan air padanya dan tidak perlu sampai bercucuran. Sedangkan untuk bayi perempuan tidak demikian halnya, takni harus dicuci seperti sesuatu yang terkena air kencing orang dewasa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Karramallahu Wajhahu, bahwasanya Nabi saw. telah bersabda tentang air kencing bayi:
“Hendaknya dicuci air kencing bayi wanita, dan (cukup) diperciki dari air kencing bayi laki-laki”.
Adapun cara membersihkan benda yang terkena selain najis air kencing bayi ini, maka hendaklah diperhatikan: Najis seperti tahi dan bangkai (bersifat padat) itu sendiri tidak dapat dibersihkan walau dicuci sekalipun. Oleh karena itu bila najis tersebut jatuh pada benda suci, maka untuk membersihkannya dzatiyah najis tersebut harus dihilangkan kemudian bekasnya dicuci. Sedangkan bila najis tersebut bersifat cair, seperti: air kencing, darah, arak dan sejenisnya, maka untuk membersihkan benda terkena olehnya dengan cara dicuci sekali cucian, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Nabi saw. telah menyuruh mereka (para sahabat) agar menyiramkan air pada bekas air kencing seorang Arab dari dusun dengan seember air”.
Bilamana bagian bawah sepatu mengenai najis, maka hendaklah diperhatikan: jika najis tersebut basah, maka sepatu tersebut harus dicuci. Sedangkan jika najis itu kering, maka cukup hanya dengan digosokkan pada tanah. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri r.a., bahwasanya Nabi saw. telah bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah kedua sandalnya. Bilamana pada bagian bawahnya terdapat kotoran, maka sapukanlah pada tanah kemudian shalatlah dengan mengenakannya”.
Cara untuk menghilangkan semua najis, baik najis yang bersifat cair; seperti darah, maupun yang bersifat padat; seperti tahi, adalah hanya dengan air, tidak bisa dengan yang lainnya, sekalipun itu bersifat cait, kecuali jika ada nash yang membolehkannya. Namun demikian, nash tersebut pun hanya khusus untuk yang dimaksud saja. Cara menghilangkan najis dengan dengan air ditetapkan oleh sekian banyak hadits shahih, antara lain:
Dari Asma’inti Abu Bakar r.a., ia berkata:
“Seorang perempuan telah datang kepada Nabi saw., lalu ia bertanya: Salah seorang di antara kami bajunya terkena darah haid, bagaimanakah kami harus berbuat? Maka beliau menjawab: Hendaklah ia membilasnya untuk menghilangkan dzatiyahnya, kemudian menggaruknya dengan jari jemarinya bersama air, kemudian mencucinya, kemudian shalat dengannya”.
Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Abu Tsa’labah telah berkata:
“Ya Rasulullah, berilah kami fatwa tentang perkakas orang-orang majusi mana kala kami terpaksa membutuhkannya! Beliau bersabda: Mana kala kalian terpaksa membutuhkannya, maka cucilah dengan air dan masaklah kalian dengannya!”.
Dari Abdullah bin Sa’ad, ia telah berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang air yang keluar sesudah air. Maka beliau menjawab: Itu adalah madzi, dan setiap laki-laki mempunyai madzi, cucilah farji dan kantung kedua buah dzakarmu karenanya, dan berwudlulah seperti wudlumu untuk shalat”.
Semua hadits di atas adalah sebagai dalil yang menunjukkan, sesungguhnya najis hanya dapat dihilangkan dengan air dan tidak bisa dengan yang lain. Adapun bila diperoleh nash yang menyalahinya, maka hal itu sifatnya khusus untuk yang dimaksud oleh nash tersebut, seperti halnya kulit; bahwasanya kulit itu bisa suci dengan cara disamak, berdasarkan adanya nash untuknya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dimana ia telah berkata:
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Kulit apa saja bila disamak, maka kulit itu menjadi suci”.
SHALAT
Dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata : Rasulullah saw. bersabda :
“Islam didirikan di atas lima (asas) : Bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadlan.”
Kelima asas ini adalah merupakan pondasi tempat berdiri tegaknya Islam. Kelima asas di atas dikukuhkan sebagai pondasi bagi berdiri tegaknya Islam mengingat kelima asas tersebut meliputi aspek aqidah dan amalan-amalan yang dilaksanakan dengan motif sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Islam telah menegaskan bahwa shalat –sebagai asas kedua daripadanya—adalah merupakan keharusan yang amat ditekankan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari jabir r.a., bahwasanya dia berkata:
“Rasulullah saw. telah bersabda: (yang membedakan) antara seseorang dengan kekafiran yaitu meninggalkan shalat”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan, bahwasanya ia telah berkata:
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya yang pertama kali diperhitungkan pada seseorang hamba pada hari kiamat adalah (tentang) shalat fardlu”.
Shalat yang difardlukan ini semuanya ada lima, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah r.a. dimana ia berkata:
“Telah datang kepada Rasulullah sa. Seorang laki-laki berambut kusut, dia adalah seorang penduduk Nejed. (Dari Jauh) kami telah mendengar teriakannya, namun kami tidak mengerti apa yang dia katakan sampai dia mendekat. Ternyata dia itu bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah saw. menjawab: Shalat yang lima dalam sehari semalam. Dia bertanya (lagi): Apakah ada keharusan lain atas diriku? Beliau menjawab: Tidak, kecuali bila kamu mau mendirikan shalat sunnat”.
Shalat lima waktu adalah merupakan keharusan atas setiap muslin dan muslimah yang telah dewasa dan berakal sehat. Adapun orang kafir asli tidak diwajibkan dan bilamana ia masuk Islam, maka kepadanya tidak diharuskan mengqadlanya.
Firman Allah Ta’ala :
“Katakanlah kepada orang-orang itu; Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu”. (QS. Al Anfaal 38)
Sedangkan bilamana ia orang kafir karena murtad, kepadanya wajib qadla saat ia kembali menjadi muslim sebab murtad tidak menyebabkan yang bersangkutan terbebas dari tuntutan hukum syara’ melainkan ia tetap terikat dengannya, dengan alasan karena sebelumnya ia telah menyatakan diri sebagai muslim. Adapun anak di bawah umur, maka kepadanya tidak wajib mendirikan shalat.
Sabda Rasulullah saw.:
“Pena terangkat (hukum tidak berlaku); dari anak di bawah umur sampai ia dewasa; orang tidur sampai ia bangun; dan dari orang gila sampai ia sembuh”.
Dan berdasarkan hadits di atas, maka orang hilang akal pun, baik karena gila atau karena sawan celeng (epilepsi) maupun karena sakit, kepadanya tidak diharuskan mengqadla shalat kecuali bila yang bersangkutan kembali ingatannya pada waktu ia masih mendapatkan waktu yang cukup untuk bersuci dan waktu shalat masih ada. Abdurrazaq telah meriwayatkan dari Nafi’: “Sesungguhnya Ibnu Umar mengadu bahwa ia sekali waktu ingatannya hilang, sehingga ia meninggalkan shalat kemudian ia sadar akan tetapi ia tetap tidak mengqadha shalatnya yang tertinggal”. Diriwayatkan pula dari Ibnu Juraij dari Ibnu Thawus dari ayahnya: “Bila seseorang sakit sampai tidak sadar namun kemudian ia sadar, maka ia tidak perlu mengqadha shalatnya”.
Tidak seorang pun dari orang-orang yang tidak diwajibkan shalat diperintah agar ia mendirikan shalat kecuali anak dibawah umur. Hal ini berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Sirah al Jahmi r.a. dimana ia berkata:
“Rasulullah saw. telah bersabda: Ajarilah oleh kalian anak kecil tentang shalat bila ia telah berusia tujuh tahun, dan pukullah dia oleh kalian ketika dia telah berusia sepuluh tahun bila dia enggan mendirikannya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:
“Rasulullah saw. telah bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat, sedang mereka adalah anak berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila enggan mendirikannya, sedang mereka adalah anak berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya oleh kalian”.
Barangsiapa terkena kewajiban shalat namun ia menolak untuk mengerjakannya dengan alasan bahwa shalat tidak wajib, maka kafirlah ia dan ia harus dipinta agar bertaubat seperti halnya orang murtad sehingga pada saat ia mengakui bahwa shalat itu wajib, berarti ia kembali menjadi muslim. Akan tetapi bila ia tetap menyatakan bahwa shalat tidak wajib, maka pemerintah melalui badan yang diberi wewenang harus membunuhnya. Sedangkan bila ia menginggalkan shalat karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat wajib, maka ia harus dita’zir (dipermalukan), yakni harus dihukum dengan hukuman yang bersifat mempermalukan, seperti dipenjara sampai ia mau shalat. Sekali-kali ia tidak boleh dibunuh sesuai dengan hadits Rasulullah saw. yang berbunyi:
“Tidak halal darah seorang Muslim melainkan karena salah satu dari tiga alasan: Janda yang berzina, membunuh orang, meninggalkan agamanya, yang memisahkan dari jamaah”.
Orang yang meninggalkan shalat –sedang ia muslim—adalah bukan orang kafir melainkan sebagai orang fasik, bisa saja Allah mengampuninya. Dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit r.a., ia berkata:
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah telah menjadikan shalat yang lima sebagai fardlu. Barang siapa membaguskan wudlu untuknya dan ia mengerjakan kelima shalat tersebut pada waktunya, serta ia menyempurnakan ruku’nya dan khusu’nya, maka baginya janji Allah. Ampunan-Nya untuk dia. Barangsiapa tidak mengerjakan (shalat), maka tidak ada baginya janji Allah sehingga bila Dia menghendaki, Dia pun mengampuninya, sehingga bila Dia menghendaki, Dia pun menyiksanya.
1. Waktu Shalat
Waktu shalat zhuhur bermula dari sejak matahari tergelincir dari titik tengah langit dan berakhir sampai bayang-bayang menyamai si empunya bayang-bayang tersebut.
Ibnu Abbas telah meriwayatkan, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:
“Jibril a.s. pernah mengimami aku di Baitullah dua kali; pertama kali dia shalat Zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan bayang-bayang berbalik arah seukuran jejak sandal. Kemudian kedua kalinya dia shalat ketika bayang-bayang seseuatu sama dengan dengannya”.
Waktu shalat bermula sejak bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengan –dan sedikit lebih panjang daripadanya—dan berakhir sampai bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya.
Ibnu Abbar r.a. telah meriwayatkan , sesungguhnya Nabi saw. bersabda:
“Dan Jibril a.s. pernah shalat ashar bersamaku ketika bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengannya. Kemudian untuk kedua kalinya dia shalat ketika bayang-bayang sesuatu menjadi dua kali panjangnya”.
Di luar waktu itu hilanglah waktu yang utama untuk mengerjakan shalat ashar dan hanya tinggal waktu yang diperbolehkan sampai matahari terbenam.
Waktu shalat Maghrib bermula sejak matahari terbenam, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah riwayat:
“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat maghrib ketika matahari tenggelam, dan dia pun (ketika itu pula) berbuka puasa”.
Waktu yang diutamakan untuk mengerjakan shalat maghrib hanya saat itu saja. Sedang waktu yang masih diperbolehkan sampai tenggelam awan (mega) merah.
Waktu shalat Isya’ bermula sejak awan merah tenggelam berdasarkan hadits yang mengemukakan:
“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat Isya’ pada kesempatan lain (saat ia memberi tahu tentang waktu shalat) ketika awan tenggelam”.
Yang dimaksud dengan ‘awan’ di sini adalah awan merah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. yang menyatakan Rasulullah saw. telah bersabda:
“Waktu shalat Maghrib adalah sampai awan merah menghilang”.
Sedangkan akhir waktu shalat Isya’ yaitu sampai tengah malam, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr r.a. sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:
“Waktu shalat Isya’ adalah sesuatu di antara kamu dengan tengah malam”.
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah waktu shalat Isya’ yang diutamakan. Sedang di luar waktu tersebut adalah waktu yang diperbolehkan sampai fajar terbit.
Waktu shalat Shubuh bermula sejak fajar yang kedua terbit, yakni fajar shadiq di mana orang berpuasa sejak saat itu tidak diperbolehkan makan dan minum, smapai remang-remang siang.
Sabda Rasulullah saw.:
“Sesungguhnya Jibril a.s. shalat shubuh ketika fajar terbit, dan dia shalat pagi hari ketiak telah terang”.
Ini adalah merupakan waktu utama untuk mengerjakan shalat shubuh, lalu sesudah itu hanya tinggal waktu yang diperbolehkan sampai matahari terbit. Seluruh waktu shalat ini telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasai, At-Tirmidzi pada bab tentang Waktu Shalat. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Dari Jabir bin Abdullah r.a.:
“Sesungguhnya Jibril a.s. telah datang kepada Nabi saw. lalu dia berkata kepada beliau: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu ashar, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat Ashar ketika bayang-bayang sesuatu sama seukurannya. Kemudian ia datang lagi pada waktu maghrib, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian dia datang lagi pada waktu Isya’, lalu berkata:Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat Isya’ ketika awan merah telah menghilang. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu fajar, lalu berkata:Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.Dia shalat fajar ketika fajar telah tersibak atau dia berkata: fajar telah terbit. Kemudian keesokan harinya dia datang lagi kepada Nabi saw. pada waktu zhuhur, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat zhuhur ketika bayang-bayang sesuatu sama seukuran dengannya. Kemudian dia datang lagi kepada beliau pada waktu ashar, lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya. Dia shalat Ashar ketika bayang-bayang sesuatu seukuran dua kali panjangnya. Kemudian ia datang lagi pada waktu maghrib, pada waktu yang sama (seperti sebelumnya). Kemudian dia datang lagi pada waktu Isya’ ketika tengah malam telah berlalu, atau dia berkata: sepertiga malam, lalu dia shalat. Kemudian dia datang lagi kepada beliau ketika malam telah terang sekali , lalu berkata: Berdirilah (Ya Rasulallah), maka dia pun shalat mengimaminya.(Ketika itu) dia shalat fajar. Kemudian dia berkata: Di antara kedua waktu ini ada waktu.
Shalat wajib didirikan pada awal waktunya, yakni pada waktu bagian pertama yang dianggap sebagai waktu yang diutamakan. Bagi yang bersangkutan dipersilahkan mengerjakannya untuk memilih dari bagian pertama, apakah pada bagian awal tengah, atau akhir. Dan diperbolehkan mengerjakannya pada waktu bagian kedua (waktu diperbolehkan) sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits di atas dan begitu juga seperti telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:
“Barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari waktu Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah menemukan Shubuh. Dan barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari waktu Ashar sebelum matahari tenggelam, maka ia telah menemukan Ashar.”
Dalam shahih Bukhari dan muslim juga dinyatakan:
“Barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka berarti ia telah menemukan shalat.”
Shalat ini wajib dilaksanakan pada waktunya.
Firman Allah SWT:
“Peliharalah oleh kalian semua shalat.” (QS. 2 : 238)
Siapa pun tidak dibenarkan melalaikan shalat sehingga baru dilaksanakan… kecuali bagi orang yang ketiduran, atau lupa, atau yang menangguhkannya karena hendak dijama’ saat ia sedang bepergian, atau karena hujan.
Sabda Rasulullah saw.:
“Barangsiapa tidak mengerjakan shalat Ashar, hapuslah amalnya”.
“Umatku akan selalu dalam keadaan baik selama mereka tidak menangguhkan shalat Maghrib”.
Barangsiapa meninggalkan shalat, maka kepadanya wajib qadha, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :
“Barangsiapa tertidur dari shalat atau lupa, maka shalatlah saat ia teringat”.
Sebaiknya yang bersangkutan mengqadha saat itu juga, namun andai ditangguhkan pun masih diperbolehkan dan tidak berdosa karenanya, hanya saja dia berdosa karena dia tidak mengerjakannya tepat waktu. Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hashin r.a.:
Dia telah berkata :
“Kami pernah suatu ketika bepergian bersama Nabi saw., dan kami saat itu berjalan malam hari hingga larut malam. Karenanya kami pun tertidur nyenyak sekali. Kiranya tidak ada seorang musyafir tidur senyenyak itu, sehingga kami baru terbangun oleh karena panasnya sengatan matahari. Ketika nabi saw. bangun, maka mereka mengadukan apa yang terjadi menimpanya. Bersabdalah beliau: ‘Tidak mengapa dfan tidak membahayakan, berangkatlah kalian. Maka beliau pun berjalan tidak jauh dari sana kemudian beliau berhenti danb mengambil air wudhu dan adzan pun dikumandangkan, lalu shalat bersama-sama beliau”.
Hadits ini merupakan dalil bahwa Nabi saw. pernah terlambat shalat Shubuh dan beliau tidak mengqadhanya melainkan sesudah beliau keluar dari lembah itu. Seandainya harus seketika, niscaya beliau tidak menangguhkannya.
2. Syarat Sah Shalat
Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus suci dari hadats dan najis. Suci dari hadats adalah merupakan syarat sahnya shalat.
Sabda Rasulullah saw. :
“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci”
Uraian tentang maksud hadits ini telah kita ketahui dalam uraian tentang Thaharah. Sedang yang dimaksud dengan suci dari najis, yaitu badan yang suci termasuk pakaian yang dikenakan dan tempat yang dipergunakan. Badan yang suci juga adalah merupakan syarat sah shalat.
Sabda Rasulullah saw. :
“Bersucilah kalian dari air kencing, karena daripadanya siksa kubur pada umumnya terjadi”
Adapun perihal pakaian yang dikenakan harus suci dari najis sebagai syarat sah shalat, ini adalah berdasarkan firman Allah SWT. :
“…dan pakaianmu bersihkanlah” (QS. 74:4)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a., dia berkata:
“Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. apakah aku boleh shalat dengan pakaian yang aku kenakan saat aku mendatangi (menggauli) isteriku? Beliau menjawab: Ya, kecuali bila kau dapatkan seseuatu (najis) padanya, maka cucilah.”
Sedang tentang keharusan tempat yang ditempati untuk shalat suci dari najis sebagai syarat sah shalat,ini adalah berdasarkan hadits yang menggambarkan seorang Arab dari dusun yang kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi) dan sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi s.a.w:
“ Siramkanlah oleh kalian padanya seember air “.
Ketika hendak shalat , maka yang bersangkutan selanjutnya harus menutup aurat. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan,bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:
“ Allah tidak menerima shalat seorang perempuan yang telah haid kecuali dengan memakai yang menutupi kepala dan lehernya ( khimar )”.
Bilamana seseorang yang sedang shalat auratnya terbuka sedang ia kuasa untuk menutupinya kembali, maka shalatnya tidak sah (batal). Menutup aurat adalah salah satu syarat sah shalat bagi laki-laki dan perempuan. Hanya saja antara aurat keduanya berbeda, yakni: Bahwasanya aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dengan lutut, sedangkan pusar dan lutut sendiri bukan aurat, seperti diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. , sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda:
“ Aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dan lututnya”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Jahasy, dia berkata:
“ Rasulullah s.a.w. pernah lewat di depan Mu’ammar sedang kedua pahanya terbuka . Maka bersabdalah beliau: Ya Mu’ammar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat”.
Sedang aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Firman Allah Ta’ala:
“. . . , dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya. Kecuali yang (biasa) tampak daripadannya” ( Q.S. 24:31 ).
Ibnu Abbas berkata: Yakni kecuali muka dan kedua telapak tangannya.
Ibnu Umar telah meriwayatkan , sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:
“ Perempuan merdeka tidak wajib menutup mukanya dan tidak wajib pula harus mengenakan sarung tangan “.
Keharusan menutup aurat ini adalah dengan pakaian yang tidak transparan atau sejenisnya, sebab pakaian atau kain yang transparan atau yang ketat masih menggambarkan warna kulit dan bentuk tubuh sehingga dianggap tidak memenuhi kriteria menutup aurat.
Ketika hendak shalat, maka yang bersangkutan harus menghadap ke kiblat.
Firman Allah Ta’ala :
“ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya” ( Q.S. 2: 144 ).
Inipun merupakan bagian dari syarat sah shalat. Atas dasar itu, maka ketika seseorang berada di depan Baitullah, ia wajib menghadap langsung ke sana.
Usamah bin Zaid r.a. meriwayatkan:
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w telah masuk ke dalam Ka’bah (Baitullah) namun ia tidak shalat, kemudian beliau keluar dari ruku’ dua kali seraya menghadap ke Ka’bah lalu bersabda: Ini adalah kiblat”.
Akan tetapi bila seseorang masuk ke dalam Ka’bah dan shalat di dalamnya, maka hal itu diperbolehkan karena dia dianggap telah menghadap ke salah satu bagian daripadanya.
Jika seseorang tidak berada di depan Ka’bah, maka hendaklah diperhatikan: Bila ia mengetahui arah kiblat , maka menghadaplah ke arahnya. Bila seseorang yang terpercaya memberitahukan arah kiblat, maka hendaklah diterima, tidak usah berijtihad, sama halnya dengan seorang hakim hendaknya ia menerima nash dari orang tsiqqah ( terpercaya ) sehingga ia tidak usah berijtihad. Bila ternyata mayoritas kaum muslimin di suatu daerah menentukan arah kiblat ke suatu arah, maka shalatlah ke arah itu dan ia tidak perlu berijtihad, karena arah yang ditunjukkan oleh mereka sama kedudukannya dengan berita yang harus diterima. Bila seseorang berada di luar Mekkah dan ia sebagai orang yang menguasai cara-cara menentukan arah kiblat, maka ia wajib berijtihad untuk menentukan arah kiblat. Dalam situasi seperti ini keharusan menghadap ke kiblat adalah mengenai arahnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“ Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya” ( Q.S. 2: 144 ).
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“ Kiblat itu adalah tempat di antara timur dan barat”.
Bila seseorang berada di Mekkah, namun antara dirinya dengan Ka’bah terhalang, maka ia sama dengan orang yang tidak langsung berada di depan Ka’bah. Sedangkan bila antara dirinya dengan Ka’bah tanpa penghalang,maka ia sama dengan orang yang berada langsung di depan Ka’bah , yakni dia harus shalat langsung menghadap Ka’bah itu.
Bila seseorang bukan sebagai orang yang menguasai cara-cara menentukan arah kiblat, maka ia harus mengikuti pendapat orang yang mengetahui arah kiblat, tidak perlu berijtihad, sebab ia sama dengan orang awwam tentang hukum syara’.
Disunatkan bagi orang yang shalat mengembangkan tikar ( sajadah ) pada tempat yang dipergunakan untuk shalat sebagai pembatas.
Sabda Rasulullah s.a.w :
“ Apabila seseorang di antara kalian shalat, hendaklah ia membuat pembatas tempat yang di pakai untuk shalat ( sutrah ) agar syaitan tidak dapat memutuskan shalatnya “.
Sahl bin Sa’id As Sa’idi meriwayatkan :
“ Diantara tempat yang dipergunakan Rasulullah s.a.w. untuk shalat ( mushala ) dengan dinding terdapat tempat lewat orang yang berjalan”.
Terkadang Rasulullah s.a.w. mengambil tempat untuk shalat di masjidnya dengan membuat lingkaran.
3. Cara - cara Shalat :
Bila hendak shalat, maka yang bersangkutan harus berdiri. Berdiri adalah merupakan fardhu dalam shalat wajib.
Firman Allah Ta’ala:
“ Dan berdirilah kalian untuk Allah ( dalam shalat kalian ) dengan khusyu “.
( Q. S. 2 :
‘Imran bin Al Hashim r.a. telah meriwayatkan, bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda :
“ Shalatlah kamu sambil berdiri. Bila kamu tidak kuasa, maka sambil duduk . Bila kamu tidak kuasa, maka sambil berbaring “.
Diriwayatkan pula :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w shalat sambil berdiri, baik dalam shalat fardhu maupun dalam shalat sunat “.
Akan tetapi berdiri dalam shalat sunat bukan suatu keharusan , karena saat Nabi s.a.w. mengerjakan shalat sunat ( nafilah ) di atas hewan tunggangan ternyata beliau mengerjakan sambil duduk.
Diriwayatkan dari jabir r.a. :
“ Aku melihat Nabi s.a.w shalat nawafil ( sunat ) sedang beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau menghadap ke seluruh penjuru. Tetapi beliau lebih merendah saat sujud daripada ruku’ dan beliau memberi isyarat “.
Diriwayatkan lagi dari Ibnu Umar r.a. , ia berkata:
“ Nabi s.a.w. mengerjakan shalat di atas binatang tunggangannya sambil menghadap ke arah mana beliau menuju dan beliau (juga ) shalat witir di atas binatang tunggangannya. Hanya saja beliau tidak mengerjakan shalat fardhu di atasnya”.
Di syaratkan dalam berdiri ini, hendaknya berdiri dengan tegak sehingga benar- benar yang bersangkutan dikatakan berdiri.
Kemudian ia niat. Niat adalah salah satu dari beberapa fardhu shalat.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“ Sesungguhnya amalan- amalan itu dengan niat”.
Niat ini harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ikhram, karena niat adalah merupakan fardhu shalat yang pertama. Kemudian niat tersebut harus sesuai dengan shalat yang dikerjakan, dengan kata lain ; bilamana shalat itu fardhu, maka niat pun harus ditentukan sesuai dengan namanya sehingga bilamana seseorang shalat Zhuhur - umpamanya- maka ia pun harus niat shalat Zhuhur begitu juga niat shalat fardhu yang lainnya agar satu shalat dengan yang lain dapat dibedakan. Sama halnya dengan shalat fardhu , shalat sunat rawatib juga - seperti witir dan sunat fajar- harus ditentukan niatnya, sebab tanpa menentukan niat ini shalat pun tidak jadi. Hal ini dimaksudkan agar shalat tersebut dapat dibedakan dari shalat sunat yang lainnya. Sedangkan untuk shalat sunat bukan rawatib hanya dengan niat shalat sunat saja sudah dianggap memenuhi syarat.
Bilamana seseorang ragu setelah takbiratul ihram; apakah ia telah niat atau belum, namun kemudian ia ingat bahwa memang ia telah niat dan ingatnya ini terjadi sebelum melakukan perbuatan shalat yang bersifat jasmaniah maka shalatnya jadi, tidak usah diulang lagi. Adapun bilamana ingatnya itu terjadi sesudah melakukan perbuatan shalat yang bersipat jasmaniah, maka batallah shalat tersebut. Sebab hal itu berarti ia telah melakukan suatu perbuatan sedangkan ia dalam keadaan ragu dalam shalatnya . Begitu juga shalat seseorang batal ketika hendak keluar, atau ia ragu, apakah sebaiknya ia keluar dari shalat atau jangan. Semua ini dapat membatalkan shalat, karena niat adalah sebagai syarat bagi sahnya seluruh shalat. Maka dengan adanya niat keluar atau sikap ragu, apakah keluar dari shalat atau tidak, batallah shalat yang bersangkutan sebab sikap seperti ini berlawanan dengan keharusan niat atau menentang keharusan niat. Akan tetapi kalau hanya was-was , yakni hanya sekedar timbul dalam benak ( fikiran ) apakah telah niat atau belum, maka shalat tidak batal karenanya. Dan tidak boleh tidak orang yang sedang shalat harus melanggengkan niat shalat yang sedang dikerjakan. Bilamana seseorang yang sedang shalat Zhuhur- umpamanya- kemudian ia mengubah niat shalatnya ini shalat Ashar, maka batallah shalat Zhuhur tersebut, karena dengan sikapnya itu berarti ia telah memutuskan shalat Zhuhur yang sedang dijalani dan begitu juga shalat Asharnya juga tidak sah karena ia tidak niat untuk shalat Ashar pada waktu ia takbiratul ihram.
Berniat pada waktu takbiratul ihram secara bersamaan adalah merupakan syarat. Oleh karenanya maka hendaklah yang bersangkutan melakukan niat dalam hati bersamaan dengan saat mulutnya melafalkan Allahu Akbar ( takbiratul ihram ). Dan takbiratul ihram pun adalah sebagai salah satu fardu shalat ini, sebagaimana telah diriwayatkan dari Ali Karramallahu Wajhah, yang mengatakan bahwa sesugguhnya Nabi s.a.w. bersabda:
“ Kunci pembuka shalat adalah wudhu, penghormatannya adalah takbir, dan penutupnya adalah salam”.
Takbir yaitu mengucapkan “ Allahu Akbar “ yang berarti: Allah Maha Besar. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi pada waktu beliau memulai shalat.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“ Shalatlah kalian seperti kalian menyaksikan ( cara ) aku shalat “.
Bilamana seseorang berlidah kelu atau gagu, hendaknya ia menggerakkan lidahnya sedapat mungkin.
Sabda Nabi s.a.w. :
“ Bilamana aku telah memerintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah hal itu oleh kalian sedapat mungkin’.
Disunatkan mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram sampai sejajar dengan kedua pundak.
Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan:
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. pada waktu memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya , begitu juga ( beliau mengangkat kedua tangannya) bila beliau takbir untuk ruku’ dan bila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ ( I’tidal )”.
Batasan mengangkat tangan ini diperbolehkan sampai sejajar dengan kedua telinganya. Oleh karenanya dipersilakan memilih salah satunya. Saat memulai mengangkat kedua tangan tersebut adalah bersamaan dengan memulai membaca takbir dan berakhir dengan berakhirnya takbir juga. Jika tidak memungkinkan untuk mengangkat kedua tangan atau hanya memungkinkan sebelah tangan saja atau hanya memungkinkan mengangkat kedua tangan tidak sampai sejajar dengan kedua pundak, maka diperbolehkan sampai pada bagian yang memungkinkan.
Bilamana sudah selesai takbir, bagi yang bersangkutan disunatkan meletakkan tangan bagian kanan di atas tanan bagian kiri, yakni tangan kanan memegang sebahagian telapak tangan dan sebahagian pergelangan tangan yang kiri.
Diriwayatkan dari Halb Ath Thai, dia telah berkata :
“ Rasulullah s.a.w. telah mengimami kami. (saat itu ) beliau memegang tangan kirinya dengan yang kanan”.
Diriwayatkan pula dari Wail bin Hujrin, dia berkata :
“ Aku berkata : Sungguh akan kuperlihatkan shalat Rasulullah s.a.w. , bagaimana beliau shalat. Pertama-tama Rasulullah s.a.w. berdiri menghadap kiblat, lalu beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tanggannya sampai sejajar dengan kedua telinganya, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas bagian telapak tangan bagian kiri dan pergelangan tangan serta bagian tangan antara sikut dan pergelangan tangan”.
Dan disunatkan kedua tangan diletakkan di atas dada.
Wail telah meriwayatkan:
“ Aku melihat Rasulullah s.a.w. shalat. Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sedang salah satunya di atas yang satunya lagi “.
Abu Daud juga telah meriwayatkan hadits dari Thawus, bahwasanya di berkata:
“ Rasulullah s.a.w. telah meletakkan tangan kanannya di atas tangan yang kiri, kemudian beliau meletakkan keduanya di atas dada. Saat itu beliau sedang shalat”.
Adapun meletakkan kedua tangan di atas bagian bawah tulang rusuk, ini adalah suatu yang tidak diperbolehkan. Dalam salah sebuah hadits hal itu telah dikukuhkan , bahwa sanya Nabi s.a.w. telah melarang meletakkan kedua tangan di atas bagian bawah tulang rusuk saat sedang shalat. Sedangkan perihal menjulurkan tangan, ternyata tidak diperoleh nash yang mutlak, namun bagaimanapun juga cara seperti itu menyalahi apa yang telah dikemukakan dalam beberapa hadits yang menerangkan bahwa meletakkan tangan saat shalat adalah di atas dada.
Kemudian disunatkan membaca do’a istiftah. Untuk do’a ini yang paling utama adalah do’a seperti yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dari Rasulullah s.a.w. , bahwasanya beliau bila berdiri shalat maka beliau membaca:
Artinya:
“Aku menghadapkan mukaku kepada Dzat pencipta langit dan bumi dengan lurus dan berserah diri serta Aku ini bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan karenanya aku diperintah . Dan aku adalah termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya Allah, Engkaulah Maha raja, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Engkaulah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu , aku adalah seorang ( hamba ) yang telah berbuat zhalim kepada diriku, dan aku mengakui dosaku, maka limpahkanlah ampunan-Mu padaku atas segala dosaku. Sungguh tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa melainkan hanya Engkau. ( Ya Allah ) , tunjukkilah aku pada sebaik-baik akhlak. Sungguh tidak ada yang akan kuasa menunjukkan pada sebaik-baik akhlak tersebut melainkan hanya Engkau, dan palingkanlah daripadaku akhlak yang buruk. Sungguh tidak ada yang akan kuasa memalingkan dariku akhlak yang buruk itu melainkan hanya Engkau. ( Ya Allah) , kini aku sambut seruan-Mu dan ini aku beranjak datang menuju-Mu . Sungguh kebaikkan itu semuanya berada di atas kedua tangan-Mu, dan kejahatan itu bukan untuk-Mu serta aku bersama dengan ( kehendak ) -Mu dan (akan kembali ) kepada-Mu. Maha Berkat Engkau dan Maha Tinggi Engkau (Ya Allah ), Aku mohon ampun (dari segala dosa) kepada-Mu dan aku bertaubat (dari segala dosa) kepada-Mu”.
Do’a ini boleh dibaca seutuhnya atau sebagian saja. Begitu juga do’a tersebut boleh ditukar dengan do’a istiftah yang lain.
Disunatkan kepala dan kedua mata menunduk pada tempat sujud serta makruh menengadahkan kepala dan kedua mata memandang ke atas.
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin:
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengarahkan pandangannya ke atas, maka turunlah ayat ini : ( = ( yaitu ) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya) ), lalu beliau pun menundukkan kepalanya”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda :
“ Sungguh orang-orang yang mengarahkan pandangannya ke atas dalam shalat hendaknya menahan diri ( untuk tidak berbuat demikian) atau benar-benar penglihatan mereka terampas ( menjadi buta )”.
Dalam hadits yang lain di kemukakan :
“ Bilamana kalian sedang shalat, maka janganlah kalian melirik karena Allah mengarahkan muka-Nya kepada muka hamba-Nya yang sedang shalat selama ia tidak melirik “.
Sesudah itu kemudian membaca “ Ta’ awwudz” ,yakni : ( ( ) ) , berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“ Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk “ ( Q.S. 16 : 98 ).
Selanjutnya membaca surat Al Fatihah. Membaca surah Al Fatihah adalah merupakan salah satu dari beberapa fardhu shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash Shamit r.a. , yang mengatakan sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :
“ Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) di dalam shalat itu “
Di lain kesempatan beliau juga bersabda :
“ Barangsiapa mengerjakan shalat tanpa membaca Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) di dalam shalat tersebut, maka shalatnya itu ‘khaddaj’ , yakni tidak sempurna “.
Sekalipun membaca surat Al Fatihah tidak dilakukan karena lupa, maka shalat itu tetap batal sebab membaca surat Al Fatihah adalah merupakan rukun. Sedang rukun adalah merupakan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan dalam shalat walaupun dengan alasan lupa. Dalam membaca surat Al Fatihah harus di awali dengan “basmalah”, yakni dengan membaca ( ( )), karena basmalah merupakan bagian dari surat Al Fatihah.
Ummu Salamah r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah membaca (( )) dan beliau menghitungnya ( sebagai bagian dari surah Al Fatihah “.
Maka berdasarkan hadits ini basmalah adalah merupakan bagian daripadanya , sebab beliau pun membaca dan menghitungnya sebagai bagian dari surat Al Fatihah. Basmalah di baca nyaring bersama ayat-ayat berikutnya dari surat Al Fatihah dalam shalat jahriah dan surat Al Fatihah wajib di baca dengan tertib ( berurutan ) . Akan tetapi bila bacaan lain terselip di tengahnya karena lupa, maka tidak mengapa. Sedang bila hal itu disengaja, maka bacaan surat Al Fatihah wajib diulang dari pertama. Membaca surat Al Fatihah ini wajib dilakukan di setiap rakaat.
Rifa’ah bin Abu Rafi’ telah meriwayatkan , dia berkata :
“ Pada waktu Rasulullah s.a.w. sedang duduk di masjid didapatkan seorang laki-laki sedang shalat. Kemudian ketika dia telah selesai ( dari shalatnya ) , dia pun menghampiri Rasulullah s.a.w. lalu menyampaikan salam kepadanya. Kemudian beliau bersabda kepadanya : ulang kembali shalatmu, karena engkau belum ( dianggap ) telah shalat. Maka dia pun berkata : Ajarilah aku , ya Rasulullah ! Bersabdalah beliau : Bilamana engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah kemudian bacalah Fatihatul kitab ( surat Al Fatihah ) dan apa yang kau anggap mudah ( dari Al Qur’an )…. , kemudian lakukanlah hal yang sama ( yakni membaca surat Al Fatihah ) di setiap rakaat”.
Keharusan membaca surat Al Fatihah diwajibkan kepada imam dan makmum, seperti yang telah diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Ash Shamit r.a. , ia berkata :
“ Rasulullah s.a.w. shalat mengimami kami dan beliau melambatkan bacaanya. Kemudian tatkala usai, beliau bersabda : Sesungguhnya aku mendengar kalian membaca di belakang imam kalian. Kami menjawab : Demi Allah , benar ( demikian ) , ya Rasulullah, kami melakukan hal ini ! Maka bersabdalah beliau : Janganlah kalian melakukan ( hal itu ) , melainkan hanya (membaca ) ummul kitab (surat Al Fatihah ) saja. Sebab, tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membacanya “.
Seusai membaca surat Al Fatihah adalah membaca : Amin(( )) yang berarti : “ Kabulkanlah ya Allah”. Membaca ‘ amin’ hukumnya sunat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. , bahwasanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
“ jika imam membaca “ amin” , maka kalian pun membacanya”.
Dan dibaca nyaring dalam shalat jahriah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dimana ia berkata:
“ Rasulullah s.a.w. bilamana usai membaca Ummul Qur’an ( surat Al Fatihah ) , maka beliau menyaringkan suaranya, lalu beliau mengucapkan : Amin”.
Surat Al Fatihah harus dibaca dengan bahasa Arab, sama sekali tidak diperbolehkan dengan bahasa lain. Begitu juga ayat-ayat Al Qur’an yang lain pun tidak boleh dibaca dengan bahasa selain bahasa Arab. Maka dengan demikian , tidak sah shalat orang yang membaca surat Al Fatihahnya dengan bahasa non Arab sebab hal ini sama dengan belum membaca Al Qur’an , sebagaimana ditagaskan dalam firman Allah Ta’ala bahwa Al Qur’an itu adalah ( ( ) ) , yakni : “ Al Qur’an dengan bahasa Arab “. Terjemah Al Qur’an bukan Al Qur’an, karena yang di sebut Al Qur’an adalah hanya yang berbahasa Arab dengan susunan kalimatnya yang bersifat mukjizat ( yang tidak bisa ditandingi ) seperti yang kita saksikan sekarang , sehinggga ketika dialih bahasakan maka nilai kemukjizatannya pun tidak ada .Sesudah membaca surat Al Fatihah dan Amin disunatkan membaca surah Al Qur’an yang lain , berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. pernah bersabda kepada Mu’adz r.a. ketika didapatkan dia mengerjakan shalat Isya dengan lama :
“ Apabila engkau mengimami orang-orang , maka bacalah (( dan )), dan bacalah (( dan ))”.
Seorang laki-laki dari Juhainah telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya ia telah mendengar Nabi s.a.w. dalam (shalat ) Shubuh membaca ( ( ) )”.
Ketika seseorang menjadi ma’mum, hendaklah diperhatikan : Jika ia sedang shalat jahriah, maka bacaanya hanya surah Al Fatihah saja.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“ Bilamana kalian berada di belakang aku, maka kalian jangan membaca apa-apa kecuali surat Al Fatihah saja, karena tidak sah shalat bagi orang yang tidak membacanya”.
Jika jumlah rakaat shalat lebih dari dua, maka dalam rakaat sesudahnya, yakni dalam rakaat ketiga atau keempat, sesudah membaca surah Al Fatihah jangan disambung dengan bacaan ( surah ) yang lain.
Abu Qatadah r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. dalam shalat Zhuhur pada rakaat pertama dan kedua membaca Fatihahul kitab (surah Al Fatihah ) dan surah ( yang lain ) . Dan terkadang beliau memperdengarkan ayat kepada kami, dan beliau membacanya lebih panjang pada rakaat yang pertama daripada bacaan ( yang dibaca ) pada rakaat yang kedua. Sedangkan pada dua rakaat yang akhir beliau ( hanya ) membaca Fatihatul kitab ( saja ) “.
Disunatkan bagi imam menyaringkan bacaan surah Al Fatihah pada kedua rakaat Shubuh , dua rakaat ( kesatu dan kedua ) Maghrib, dan dua rakaat bagian pertama Isya. Begitu juga bacaan tersebut sunat dinyaringkan pada rakaat-rakaat di atas bagi yang shalat menyendiri ( munfarid ). Hal ini berdasarkan konsensus para sahabat Nabi s.a.w. Akan tetapi untuk shalat Zhuhur dan Ashar tidak diperbolehkan.
Abu Hurairah telah meriwayatkan , bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:
“ Bilamana kalian menyaksikan orang yang menyaringkan bacaan ( surah Al Fatihah ) di siang hari (ketika shalat Zhuhur dan Ashar) , maka lemparilah ia dengan isi perut unta “.
Sesudah membaca surah Al Fatihah (dan surah yang lain untuk rakaat pertama dan kedua ) lalu ruku’. Ruku’ adalah salah satu fardu shalat:
“. . . . ruku’dan sujudlah kalian. .”. ( Q.S . 22 : 77 ).
Disunatkan ketika hendak ruku’ membaca “ Takbir “.
Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengerjakan shalat, ketika berdiri dan ruku’ , maka beliau bertakbir, kemudian beliau membaca : ( ( =Allah mendengar ( perkataan) orang yang memuji-Nya) ), ketika beliau mengangkat kepalanya ( I’tidal ), kemudian beliau bertakbir ketika sujud, kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat kepalanya ( dari sujud ). Beliau melakukan hal itu dalam semua shalat sampai beliau selesai mengerjakannya”.
Disunatkan pada waktu takbiratul ihram mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak , berdasarkan hadits Ibnu Umar :
Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengawali shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya , ( begitu juga kedua tangannya diangkat ) ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ (I’ tidal )”.
Dalam ruku’ diharuskan membungkuk sehingga kedua telapak tangan sampai ( memegang ) kedua lutut, sebab tanpa seperti itu tidak bisa dikatagorikan ruku’. Kemudian di sunatkan meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut dan menjarangkan ( merenggangkan ) jari jemari.
Abu Hamid As Sa’idi r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. memegangkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, seperti halnya orang yang memegang kedua lutut, dan beliau ( pun ) merenggangkan jari jemarinya “.
Disunatkan juga dalam ruku’ ini yang bersangkutan memanjangkan punggung sejajar dengan tengkuknya dan tidak menengadahkan kepala, melainkan membungkukkannya sehingga sejajar dengan punggung serta tengkuknya.
Abu Hamid As Sa’idi r.a. telah meriwayatkan hadits yang menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. seraya berkata :
“ . . . , maka beliau ruku’ dan I’tidal . Beliau tidak menengadahkan kepalanya dan tidak pula memanjangkannya “.
Yakni bahwa Nabi s.a.w. saat ruku’ dalam shalat, beliau tidak menengadahkan kepala sehingga posisinya lebih tinggi dari punggung. Dan disunatkan kedua sikut berjauhan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hamid As Sa’idi r.a. , bahwasanya Nabi s.a.w. berbuat demikian . Pada saat ruku’ disunatkan membaca : ( ( =Maha suci Tuhanku yang maha Agung ) ), sebanyak tiga kali.
Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a. dimana ia berkata :
“ Aku shalat bersama Nabi s.a.w. lalu saat ruku’ beliau membaca ( ( ) ) dan saat sujud ( beliau membaca ) ( ( ) ), kemudian beliau mengangkat kepalanya”.
Disunatkan ketika mengangkat kepala dari ruku’ (I’tidal ) membaca ( ( = Allah mendengar orang yang memuji-Nya ) ), berdasarkan hadits yang dikemukakan oleh Abu Hurairah r.a. :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana telah tegak berdiri untuk shalat, beliau ketika itu bertakbir dan ( begitu pula beliau bertakbir ) ketika ruku’. Kemudian beliau mengucapkan : (( )). . . “ . ( Al Hadits ).
Dan disunatkan pula ketika I’tidal mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak, sebagaimana di kemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. di atas pada waktu menerangkan tentang “ Takbiratul ihram “. Kemudian sesudah tegak berdiri dari ruku’ disunatkan lagi mengucapkan :
Artinya :
“ Ya Tuhan kami , hanya bagi-Mu puji ( yang meliputi ) seisi langit dan bumi serta ( yang meliputi ) sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu. ( Engkaulah ) yang berhak atas sanjungan dan kemuliaan dengan sebenar-benar apa ( yang seharusnya ) diucapkan oleh hamba ( Mu ). Kami semua adalah hamba bagi-Mu . Tidak ada yang dapat menahan terhadap apa yang Engkau berikan dan tidak ada ( pula ) yang dapat memberikan apa yang Engkau tahan( untuk diberikan ) serta tidak akan bermanfaat untuk melindungi kekayaan dan kebesaran orang kaya dan besar dari murka dan adzab-Mu “.
Bacaan di atas sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. yakni bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana mengangkat kepalanya dari ruku’, maka beliau membaca do’a tersebut. Pada waktu berdiri dari ruku’ wajib “ thuma’ninah “ dalam keadaan tegak berdiri, begitu pula halnya pada waktu ruku’.
Rifa’ah bin Malik telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w.telah bersabda: Bilamana seseorang di antara kalian berdiri untuk shalat, maka berwudhulah sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala . . . , kemudian ruku’lah dengan thama’ninah , kemudian berdirilah (I’tidal ) dengan thuma’ninah sambil berdiri, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah”.
Berdasarkan hadits ini , maka thuma’ninah adalah fardu.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“ Seburuk-buruk pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya. Mereka ( para sahabat) bertanya : Ya Rasulullah , bagaimana ia mencuri shalatnya? . Beliau menjawabnya : Yang tidak menyempurnakan ruku’dan sujudnya”.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“ Tidak sah shalat seorang laki-laki sehingga dia meluruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud “.
Kemudian sujud. Sujud adalah termasuk fardu.
Firman Allah Ta’ala :
“ . . . . ruku dan sujudlah kalian “ ( Q.S. 22: 77 ).
Disunatkan setiap kali hendak sujud diawali dengan bertakbir, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah r.a. yang telah lalu dalam uraian tentang ruku’. Dalam sujud disunatkan pula; pertama-tama meletakkan kedua lutut, kemudian kedua tangan , selanjutnya kening dan hidung.
Wail bin Hujrin r.a. telah meriwayatkan:
“ Nabi s.a.w. bilamana sujud, beliau terlebih dahulu meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Bilamana bangun ( dari sujud) , maka beliau terlebih dahulu mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.Dan beliau sujud dengan meletakkan kening, hidung, kedua tangan, kedua lutut, serta kedua kaki bagian bawah”.
Sujud dengan cara meletakkan kedua kening diatas tempat sujud adalah termasuk fardu shalat. Oleh karena itu , maka meletakkan kening secara langsung di atas tempat sujud adalah wajib sekalipun hanya meletakkan sebahagiannya saja.
Khabbab bin Al Arutt r.a. telah meriwayatkan :
“ Kami pernah mengadu kepada Rasulullah s.a.w. tentang panas batu yang kami jadikan tempat meletakkan kening kami ( pada waktu sujud ) ; apakah kami diperbolehkan mengenakan pelapis ? Namun ternyata beliau tidak menerima pengaduan kami “.
Seandainya terbuka ( tanpa pelapis ) tidak wajib, sudah barang tentu kepada mereka dikatakan : Tutuplah ( lapisilah ) kening kalian. Maka ketika beliau tidak mengatakan demikian , ini berarti bahwa terbukanya kening saat sujud adalah fardu. Sedangkan sujud dengan meletakkan hidung menyentuh tempat sujud, ini hukumnya sunat.
Abu Hamid telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersujud dengan meletakkan kening dan hidungnya di atas tanah”.
Namun demikian meletakkan hidung sampai menyentuh tempat sujud tidak wajib, sehingga bila tidak sampai menyentuh tempat sujud pun diperbolehkan , sebagaimana Jabir r.a. telah meriwayatkan :
“ Aku melihat Rasulullah s.a.w. sujud dengan bagian paling atas dari keningnya, yakni dengan meletakkan bagian kepala paling depan yang ditumbuhi rambut”.
Sujud dengan meletakkan kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki bagian bawah adalah wajib.
Ibnu Abbas r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. menyuruh agar sujud di atas tujuh anggauta ( badan ) : Kedua tangan, kedua lutut, kedua ujung jari jemari kaki, dan keningnya “.
Disunatkan merentangkan kedua sikut, sehingga kedua sisinya saling berjauhan.
Abu Qatadah r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana sujud, beliau merenggangkan ( merentangkan ) kedua sikutnya”.
Begitu juga pada waktu sujud disunatkan mengangkat perut dari kedua paha.
Al Barra’ bin ‘Azib r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. bilamana bersujud, beliau mengangkat ( perutnya)”.
Selanjutnya disunatkan lagi merenggangkan antara kedua kaki.
Diriwayatkan , bahwasanya Abu Hamid telah menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. , lalu ia berkata :
“ Bilamana beliau sujud, maka beliau merenggangkan di antara kedua kakinya”.
Kemudian disunatkan menghadapkan ujung jari jemari kaki ke arah kiblat.
Diriwayatkan dari Abu Hamid r.a. :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. menghadapkan ujung jari jemari kedua kakinya ke arah kiblat “.
Juga disunatkan merapatkan jari jemari kedua tangan dan meletakkannya sejajar dengan kedua pundak.
Wail bin Hujrin telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w bilamana sujud, maka beliau merapatkan jari jemari ( tangan )nya dan beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya”.
Serta disunatkan mengangkat kedua sikut dan bertumpu pada kedua telapak tangan.
Al Barra’ bin ‘Azib r.a. telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Bilamana kamu sujud, maka rapatkanlah kedua ( jari jemari ) tanganmu dan angkatlah kedua sikutmu “.
Di wajibkan thuma’ninah dalam sujud, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits yang dikemukakan Rifa’ah :
“. . . , kemudian beliau sujud dengan thuma’ninah “.
Disunatkan dalam sujud membaca : ( ( = Maha suci tuhanku yang Maha Tinggi ) ), berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah di atas ketika membahas tentang ruku’. Kemudian sesudah itu mengangkat kepala dari sujud untuk duduk, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah di atas ketika membahas tentang ruku’. Selanjutnya duduk iftirasy, yakni kaki kiri dilipat dan diduduki seerta kaki kanan menjulur.
Abu Hamid As Sa’idi telah meriwayatkan hadits yang menggambarkan shalat Rasulullah s.a.w. seraya berkata :
“ . . . . , Kemudian beliau melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya serta duduk dengan tegak sehingga seluruh anggauta badannya berada pada posisinya”.
Thuma,ninah dalam sujud hukumnya adalah wajib, berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. :
“ . . . , kemudian bangkitlah kamu ( dari sujud ) dan duduklah dengan Thuma’ninah”.
Rasulullah s.a.w. biasa berlama-lama dalam duduk di antara dua sujud sehingga hampir menyamai lama sujudnya, bahkan terkadang beliau duduk lebih lama sampai seseorang lupa apa yang dibacanya. Disunatkan saat duduk di antara dua sujud membaca :
Artinya :
“ Ya Allah , ampunilah ( dosa-dosa )ku, limpahkanlah pahala ( dari-Mu ) kepadaku, limpahkanlah kesehatan ( dari-Mu ) kepadaku, limpahkanlah rizki ( dari-Mu ) kepadaku, dan limpahkanlah hidayah ( dari- Mu ) kepadaku”.
Bacaan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan At Tirmidzi yang mengemukakan, bahwasanya Nabi s.a.w. membaca do’a tersebut saat beliau duduk di antara dua sujud.
Lafazh hadits yang diriwayatkan Abu Daud berbunyi :
Artinya :
“ Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, sehatkanlah aku, tunjukilah aku, dan berilah aku rizki “.
Sedang dalam hadits yang diriwayatkan At Tirmidzi ditambah dengan lafazh :
Artinya :
“ Berilah aku pahala dan berilah aku kesehatan”.
Seusai berdo’a, maka sujud untuk kedua kalinya dengan cara seperti sujud yang pertama, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w suatu ketika masuk ke masjid, lalu seorang laki-laki pun masuk kemudian dia shalat. . ., kemudian sujudlah kamu dengan thuma’ninah, kemudian bangunlah ( dari sujud ) dan duduklah dengan thuma’ninah, kemudian sujudlah dengan thuma’ninah, kemudian lakukanlah hal itu dalam shalat semuanya”.
Selanjutnya setelah selesai bertasbih dalam sujud kedua ini kepala diangkat sambil bertakbir, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. di atas, dan bangkit untuk duduk sejenak baru kemudian berdiri sambil bertumpu pada tempat shalat dengan tangan.
Malik bin Al Huwairits telah meriwayatkan :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. duduk dengan tegak, kemudian beliau berdiri sambil bertumpu pada tanah dengan tangannya.
Tidak dibenarkan mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua pundak pada waktu bangun dari sujud, karena mengangkat kedua tangan ini hanya disunatkan ketika takbiratul ihram, ketika ruku’ dan ketika bangkit dari ruku’ saja.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. :
“ Aku melihat Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya bilamana beliau memulai shalat dan bilamana hendak ruku’ serta sesudah mengangkat kepalanya dari ruku’.Beliau tidak mengangkat ( kedua tangannya ) di antara dua sujud “.
Dalam riwayat Bukhari-Muslim dikemukakan :
“Dan beliau tidak melakukan hal itu ( mengangkat kedua tangannya ) dalam sujud “.
Dalam riwayat Bukhari dikemukakan lagi :
“Dan beliau tidak melakukan hal itu ( mengangkat kedua tangan ) ketika beliau sujud dan tidak ( pula L) ketika beliau bangkit dari sujud”.
Sampai pada bagian ini berarti rakaat pertama telah selesai, lalu bersambung pada rakaat kedua dengan cara-cara yang sama seperti rakaat pertama kecuali niat dan do’a istiftah.
Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda kepada orang yang tidak baik shalatnya :. . . . ,kemudian lakukan hal itu dalam semua shalatmu”.
Bilamana rakaat shalat hanya dua saja seperti shalat Shubuh, maka pada rakaat keduanya langsung duduk untuk tasyahhud akhir. Sedang bilamana rakaat shalat lebih dari dua seperti shalat Zhuhur dan Maghrib, maka duduk untuk tasyahhud akhir adalah pada rakaat keempat-seperti Zhuhur-dan pada rakaat ketiga untuk Maghrib, karena rakaat ketiga dalam shalat Maghrib adalah rakaat terakhir. Selanjutnya dalam shalat yang lebih dari dua rakaat, maka pada rakaat kedua duduk dahulu untuk tasyahhud awwal, sebagaimana dikutip oleh para ulama kha ,dari para ulama shalaf yang diterima dari Nabi s.a.w. Duduk untuk tasyahhud awwal dalam rakaat kedua pada shalat yang lebih dari dua rakaat hukumnya adalah sunat, bukan wajib.
Abdullah bin Juhainah r.a. telah meriwayatkan :
“Rasulullah s.a.w. shalat Zhuhur mengimami kami dan beliau berdiri langsung pada rakaat kedua, yakni beliau tidak duduk terlebih dahulu ( untuk tasyahhud awwal ). Kemudian ketika beliau telah selesai dari shalatnya , beliau pun sujud dua kali, baru kemudian beliau membaca salam”.
Seandainya duduk pada rakaat kedua untuk tasyahhud awwal merupakan wajib, sudah barang tentu beliau pun melakukannya, yakni tidak hanya sebatas sujud (sahwi). Dalam duduk untuk tasyahhud awwal disunatkan duduk iftirasy.
Abu Hamid ra. Telah meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. ketika duduk pada dua rakaat pertama, beliau duduk di atas bagian bawah kakinya yang kiri. Sedang kaki bagian bawah yang kanan dilipat menjulur”.
Disunatkan saat duduk untuk tasyahhud awwal merenggangkan jari jemari tangan dan meletakkannya di atas paha meletakkan dekat ujung lutut sehingga ujung jari jemari tersebut sejajar dengan ujung lutut dan dihadapkan ke kiblat, disamping hendaknya dalam merenggangkan jari jemari itu tidak terlalu renggang agar tampak wajar. Sedangkan tangan kanan, hendaknya diletakkan di atas paha yang kanan, kemudian kelingking, jari manis, dan jari yang tengah dilipat serta ibu jari dilipat menempel pada jari yang tengah. Sementara telunjuk diangkat dan menunjuk.
Ibnu Umar ra. Telah meriwayatkan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. pada waktu duduk untuk tasyahhud, maka beliau meletakkan tangan yang kiri di atas lutut yang kiri, dan beliau meletakkan tangan yang kanan di atas lutut yang kanan sehingga beliau (seolah-olah) membuat (angka) tiga puluh lima, dan beliau memberi isyarat dengan telunjuk”.
Selanjutnya membaca tasyahhud dengan tasyahhud mana saja, sesuai dengan tasyahhud yang diperbolehkan. Adapun bacaan tasyahhud yang dianggap paling sempurna, adalah sebagai berikut:
Artinya:
“Penghormatan yang diberkati (dan) shalawat yang baik adalah hanya bagi Allah. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan berkah-Nya. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi. Sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”.
Bacaan tasyahhud di atas sama seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. , yakni bahwasanya ia berkata:
“Rasulullah s.a.w. telah mengajarkan tasyahhud kepada kami, sebagaimana beliau mengajarkan suatu surat dari Al Qur’an kepada kami. Beliau bersabda : Penghormatan yang diberkati ( dan ) shalawat yang baik adalah hanya bagi Allah. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu,wahai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan berkah-Nya .Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi, bahwasanya tidak ada Tuhan selian Allah, dan aku bersaksi , sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah”.
Disunatkan saat bacaan sampai “ syahadat “ memberi isyarat dengan telunjuk,sebagaimana dikemukakan dalam hadits Ibnu Umar di atas. Selanjutnya ketika telah usai bertasyahhud bangkit berdiri untuk rakaat yang ketiga dengan cara bertumpu dengan tangan pada lantai, seperti yang dikemukakan dalam hadits Malik bin Huwairits di atas. Ketika berdiri dari tasyahhud awwal disunatkan pula bertakbir dan bermula sejak mulai berdiri serta berlanjut sampai berdiri dengan sempurna. Kemudian shalat untuk menyelesaikan rakaat berikutnya dengan cara yang sama seperti rakaat kedua kecuali dalam membaca surah Al Fatihahadan surah yang lain saja, yakni bacaan surah Al Fatihah tidak dinyaringkan dan tidak disambung dengan membaca surah yang lain melainkan seusai membaca surah Al Fatihah langsung ruku’. Ketika rakaat terakhir bersama ruku’ dan sujudnya telah selesai dijalani, maka duduklah untuk tasyahhud akhir dan tasyahhud akhir ini hukumnya adalah fardu.
Ibnu Mas’ud telah berkata :
“ Bilamana kami shalat di belakang Rasulullah s.a.w. kami membaca : ( ( = Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada Jibril dan Mikail. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada di Fulan dan si Fulan ) ). Maka Rasulullah s.a.w. pun melirik kepada kami, lalu beliau bersabda : Allah adalah As Salam. Maka jika seseorang di antara kalian shalat, ucapkanlah : ( (
= Penghormatan itu adalah hanya bagi Allah,( begitu juga ) shalawat dan kebaikan. Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi, ( begitu juga) rahmat Allah dan berkah-Nya.Salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh ) ). Sesungguhnya kalian bila mengucapkannya, maka bacaan itu meliputi setiap hamba yang shaleh yang ada di langit dan bumi. ( Kemudian beliau membaca ) : ( ( = Aku bersaksi , bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi, sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah ) ). Kemudian beliau memilih do’a yang menariknya lalu beliau pun membacanya “.
Disunatkan pada waktu duduk yang terakhir ini duduk dengan cara “tawarruk”, yakni kaki kiri dilipat dan diletakkan di bawah kaki kanan ( tetapi tidak diduduki oleh pantat seperti pada duduk ketika tasyahhud awwal ) sampai telapaknya keluar berada di samping kaki kanan, lalu ( ? ) diletakkan di atas tanah.
Abu Ahmad telah meriwayatkan :
“ Terbukti bahwa Rasulullah s.a.w. bilamana duduk pada dua rakaat yang pertama, beliau duduk di atas kaki kiri bagian bawah dan melipat luruskan kakinya yang kanan, dan bilamana duduk pada rakaat terakhir, maka beliau duduk di atas ( ? ) sementara bagian dalam telapak kaki kirinya di bawah lutut kaki kanan dan kaki kanan bagian bawah diluruskan”.
Bilamana telah usai membaca tasyahhud, lalu membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. Hukum membaca shalawat pada waktu duduk yang terakhir sesudah tasyahhud adalah fardu, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :
“ Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Allah tidak menerima shalat melainkan bersuci ( terlebih dahulu, yakni berwudhu ) dan membaca shalawat kepadaku”.
Bacaan shalawat yang paling utama adalah :
Artinya:
“Ya Allah, semoga shalawat dilimpahkan kepada Muhammad, Nabi yang ummi, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Dan berkatilah Muhammad, Nabi yang ummi, dan (berkatilah ) keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Sesungguhnya Engkau MahaTerpuji dan Maha Mulia”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Al Anshari Al Badari r.a. :
“ Rasulullah s.a.w. pernah mendatangi kami ketika kami sedang berada di majlis ( rumah Sa’ad bin ‘Ubadah, lalu Basyir bin Sa’ad bertanya kepada beliau : Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada kami agar menyampaikan shalawat kepadamu, wahai Rasulullah ! Bagaimana (cara )kami menyampaikan shalawat kepadamu,bila kami menyampaikan shalawat kepadamu pada waktu kami sedang shalat ? Beliau menjawab :Bacalah oleh kalian : ( (
= Ya Allah,semoga shalawat dilimpahkan kepada Muhammad, Nabi yang ummi, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Dan berkatilah Muhammad , Nabi yang ummi, dan (berkatilah ) keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkati Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia”.
Apabila shalat itu hanya satu rakaat, seperti shalat witir, atu dua rakaat , seperti shalat Shubuh, maka cara duduknya adalah dengan “duduk tawarruk” dan langsung membaca tasyahhud akhir serta membaca shalawat kepada Nabi.
Dan pada akhirnya membaca salam sebagai fardu shalat yang penghabisan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. :
“Kunci shalat adalah bersuci (wudhu) dan penghormatannya adalah takbir serta penghalalannya (penutupnya) adalah salam”.
Disunatkan dalam membaca salam ini di lakukan dua kali, pertama membacanya (ini hukumnya fardu) sambil menengok kesebelah kanan dan kedua kesebelah kiri. Bacaan salam berbunyi ( ( =Semoga keselamatan dan rahmat Allah dilimpahkan kepada kamu sekalian ) ).
Abdullah bin Mas’ud r.a. meriwayatkan :
“Bahwasanya Nabi s.a.w. membaca salam sambil menengok ke kanan : ( (
) ) dan sambil menengok ke kiri : ( ( ) ). Sehingga putih pada pipinya tampak, dari sini dan dari sini”.
Seorang imam hendaklah pada waktu membaca salam yang pertama niat mengakhiri shalat dan membacanya untuk jammah yang ada disebelah kanan serta untuk para malaikat, lalu pada waktu membaca salam yang kedua niat membacanya untuk jamaah yang ada di sebelah kiri dan untuk para malaikat. Sedang bila seseorang shalat munfarid, hendaklah pada waktu ia membaca salam yang pertama niat mengakhiri shalat dan membacanya untuk para malaikat, lalu pada waktu membaca salam yang kedua niat membacanya untuk para malaikat. Dengan diakhiri oleh salam , maka berarti seutuhnya shalat telah dikerjakan, baik yang bersifat fardu maupun yang bersifat sunat.
Disunatkan bagi orang yang telah menyelesaikan shalat menyambungnya dengan dzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Az Zubair r.a. di mana dia setiap usai shalat selalu bertahlil dengan mengucap :
Artinya :
“tidak ada Tuhan selain Allah. Maha Esa Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kepunyaanyalah kerajaan (langit dan bumi) dan kepunyaannyalah segala puji. Dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan berkat pertolongan Allah. Kami tidak menyembah melainkan hanya kepada-Nya. Bagi-Nya (segala) nikmat dan bagi-Nya (semua ) keutamaan serta bagi-Nya (semua ) sanjungan yang baik. Tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai. { Kemudian dia berkata : Bahwasanya Nabi s.a.w. bertahlil dengan ini (bacaandi ataas)dalam setiap usai shalat)}”
Disunatkan menyaringkan bacaan tersebut, baik dalam shalat sirriyah maupun shalat jahriyah, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya dia berkata:
“Sesungguhnya meninggikan suara ketika membaca dzikir saat orang-orang usai shalat fardlu adalah kebiasaan yang dilakukan pada masa Rasulullah saw. dan dia berkata : (Aku tahu bila mereka berlalu karenanya, jika aku mendengarnya)”
Disunatkan pada waktu shalat Shubuh qunut pada rakaat kedua sesudah ruku’ dan sebelum sujud.
Anas ra. Meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. qunut selama satu bulan. Mengutuk mereka kemudian meninggalkannya. Akan tetapi dalam shalat Shubuh beliau terus qunut sampai beliau wafat”.
Diriwayatkan, bahwasanya Anas pernah ditanya: Apakah Rasulullah saw. qunut ketika shalat Shubuh? Dia menjawab: Ya. Ditanyakan (lagi): Sebelum atau sesudah ruku’? Dia menjawab: Sesudah ruku’.
Disunatkan qunut dengan bacaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada Al Hasan bin Ali.
Diriwayatkan dari Al Hasan bin Ali ra. :
“Rasulullah saw. telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku baca dalam shalat witir. Beliau bersabda: Katakanlah: ((
Ya Allah, tunjukilah aku seperti orang yang telah Engkau beri petunjuk, sehatkanlah aku seperti orang yang telah Engkau sehatkan, lindungilah aku seperti orang yang telah Engkau lindungi, berkatilah aku pada apa yang telah Engkau berikan (kepadaku), dan peliharalah aku dari buruknya apa yang telah engkau gariskan. Sesungguhnya Engkau adalah Yang memiliki keputusan dan tidak ada yang kuasa memberi keputusan (siapa pu juga). Bahwasanya orang yang berlindung kepada-Mu tidak hina. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi Engkau))”.
Baik juga qunut dengan bacaan seperti yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra., yaitu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’: Bahwasanya Umar bin Khaththab ra. Qunut sesudah ruku’ dalam shalat Shubuh lalu aku mendengarnya dia membaca:
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, kami memohon ampunan kepada-Mu, kami tidak kufur kepada-Mu, kami beriman kepda-Mu, dan kami berlepas diri serta meninggalkan orang yang durhaka kepada-Mu. Ya Allah, hanya kepada-Mu kami berbakti, karena-Mu kami shaat dan sujud, kepada-Mulah kami beranjak dan bergegas seraya memohon rahmat-Mu, dan kami takut atas adzab-Mu. Sesungguhnya adzab-Mu yang benar-benar dijanjikan kepada orang-orang kafir pasti terjadi. Ya Allah, adzablah orang-orang kafir, Ahli Kitab, yang senantiasa merintangi jalan-Mu, mereka yang mendustakan para Rasul-Mu dan yang membunuh para auliya-Mu. Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa) kaum mukminin-mukminat dan kaum muslimin-muslimat, damaikanlah diantara mereka yang sedang berselisih, jinakkanlah diantara hati mereka, jadikanlah hati mereka penuh dengan iman dan sikap bijaksana, teguhkanlah mereka dalam memegang agama yang disampaikan Rasul-Mu, tanamkanlah kepada mereka suku menepati janji-Mu yang telah Engkau ikat mereka itu dengannya, dan tolonglah mereka atas musuh-Mu dan musuh mereka. Ya Allah, Tuhan yang sesungguhnya, jadikanlah kami di antara mereka !”.
Yang dikategorikan fardlu dalam tata cara shalat seperti yang telah dikemukakan di atas ada tiga belas, yaitu: Niat, takbiratul ihram, berdiri, membaca surat Al Fatihah, ruku’ dengan thuma’ninah, berdiri dari ruku’ (‘itidal) degan thuma’ninah, sujud dengan thuma’ninah, duduk di antara sujud dengan thuma’ninah, duduk pada akhir shalat, membaca tashahhud dalam duduk tersebut, membaca shalawat kepada Rasulullah, membaca salam yang pertama, dan tertib. Adapun di luar itu, maka semuanya sunat.
4. Bilangan Rakaat Shalat
Jumlah bilangan rakaat shalat fardlu seluruhnya ada tujuh belas rakaat, yaitu: Empat rakaat shalat Zhuhur, empat rakaat shalat Ashar, tiga rakaat shalat Maghrib, empat rakaat shalat Isya, dan dua rakaat shalat Shubuh.
Diriwayatkan dari Aisyah, Ummul Mukminin ra., bahwasanya ia berkata:
“Allah telah mewajibkan shalat dua rakaat, baik ketika sedang berada di tempat maupun ketika sedang bepergian, lalu shalat pada waktu sedang bepergian dikukuhkan (seperti semula) dan (bilangan rakaat) pada waktu sedang berada di tempat ditambah”.
Diriwayatkan dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah, bahwasanya ia berkata:
“(Sebelum hijrah) shalat difardlukan (hanya) dua rakaat, kemudian Nabi saw. hijrah (ke Madinah) maka shalat difardlukan menjadi empat (rakaat)”.
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya ia berkata:
“(Sebelum hijrah) shalat difardlukan (hanya) dua rakaat. Ketika Nabi saw. tiba di Madinah dan beliau menetap (di sana) shalat pada waktu sedang berada di tempat ditambah dua rakaat-dua rakaat, namun shalat Fajar (Shubuh) dibiarkan (tetap dua rakaat) mengingat bacaannya panjang dan shalat Maghrib (hanya tiga) karena Maghrib merupakan persimpangan siang”.
Jumlah bilangan rakaat shalat fardu sebanyak itu diperkuat lagi oleh ijma konsensus para sahabat yang dapat kita telusuri secara mutawatir. Sedangkan jumlah bilangan rakaat shalat jum’at hanya dua saja, sebagaimana dikemukakan oleh Umar r.a. :
“Dan (rakaat) shalat jum’at itu (hanya) dua rakaat (saja) “.
Adapun jumlah bilangan rakaat shalat sunat rawatib yang berkaitan dengan shalat fardu, maka menurut pendapat yang paling kuat sedikitnya ada sepuluh rakaat, yaitu : dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya, dan dua rakaat sebelum Shubuh.
Ibnu Umar r.a. telah meriwatkan :
“Aku shalat bersama Rasulullah s.a.w. sebelum Zhuhur dua kali sujud (dua rakaat), dua kali sujud sesudahnya , dan dua kali sujud sesudah Maghrib, serta dua kali sujud sesudah Isya”.
Diriwayatkan dari Hafshah binti Umar r.a. :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. shalat dengan dua kali sujud (dua rakaat ) yang ringan (tidak lama ) bilamana fajar terbit”.
Sedang utamanya shalat sunat rawatib ini sebanyak delapan belasrakaat di luar shalat witir, yaitu : Dua rakaat sebelum shalat Fajar, dua rakaat sesudah Maghrib, dan dua rakaat sesudah Isya, sebagaimana telah dikemukakan dalam dua hadits di atas, kemudian empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat lagi sesudahnya.
Ummu Habibah r.a. telah meriwayatkan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda : Barangsiapa memelihara empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat sesudahnya, maka ia diharamkan masuk ke dalam api neraka”.
Selanjutnya empat rakaat selebum Ashar, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengerjakan shalat sebelum Ashar sebanyak empat rakaat dan beliau memisahkannya setiap dua rakaat dengan membaca salam kepada para malaikat dan kaum mukminin yang ada bersama mereka”.
Disunatkan dalam shalat sunat empat rakaat sebelum Ashar, sebelum dan sesudah Zhuhur dipisah dengan membaca salam pada setiap dua rakaat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Ali r.a. dan hadits tentang shalat malam serta shalat siang hari yang dilaksanakan dengan dua rakaat -dua rakaat.
Tentang hukum shalat witir, maka sesungguhnya shalat tersebut adalah sunat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al Anshari r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Witir itu adalah hak, bukan wajib. Maka barangsiapa menghendaki untuk berwitir lima (rakaat) dipersilakan. Barangsiapa menghendaki untuk berwitir sebanyak tiga (rakaat) dipersilakan.Dan barangsiapa menghendaki untuk berwitir hanya dengan satu(rakaat) pun dipersilakan”.
Minimal bilangan rakaat shalat witir adalah satu rakaat dan maksimal sebelas rakaat, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a:
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengerjakan shalat malam sebelas rakaat dan beliau mengganjilkannya dengan satu rakaat”.
Disunatkan bagi orang yang mengerjakan shalat witir lebih dari satu rakaat membaca salam setiap dua rakaat, yakni mengerjakannya dua rakaat-dua rakaat.
Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. memisahkan antara genap dengan witir (ganjil )”.
Aisyah r.a. juga dalam hadits lain meriwayatkan lagi :
“Bahwasanya Rasulullah s.a.w. shalat antara sesudah beliau selesai mengerjakan shalat Isya sampai fajar sebanyak sebelas rakaat. Beliau membaca salam antara setiap dua rakaat dan beliau mengganjilkannya dengan satu (rakaat )”.
Disunatkan mengerjakan shalat sunat witir pada separuh kedua dari bulan suci Ramadhan, sebagaimana telah diriwayatkan dari Umar r.a. , bahwasanya ia telah berkata :
“Disunatkan bila telah sampai pada pertengahan bulan suci Ramadhan mengutuk orang-orang kafir dalam witir sesudah membaca ( ( ) ) dengan bacaan : ( ( = Ya Allah, bunuhlah orang-orang kafir) )”.
Begitu juga disunatkan mengerjakan shalat malam Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dengan sepuluh kali membaca salam, sebagaimana telah diriwayatkan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah shalat bersama orang-orang sebanyak dua puluh rakaat selama dua malam. Kemudian pada malam ketiganya orang-orang pun berkumpul, namun beliau tidak keluar untuk mengimami mereka. Baru pada keesokan harinya beliau bersabda : Aku khawatir shalat tersebut difardukan atas kalian , sehingga kalian tidak kuasa melaksanakannya”.
Shalat sunat Dhuha bilangan rakaatnya minimal dua rakaat dan maksimal delapan rakaat, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a. :
“Bahwasanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Benarlah bahwa pada setiap ‘salami’* dari seseorang di antara kalian merupakan sedekah dan ia mendapat pahala karenanya sama dengan dua rakaat shalat Dhuha yang dikerjakannya”.
Diriwayatkan pula oleh Ummu Hani binti Abu Thalib r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.aw. telah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat”.
Disunatkan shalat “Tahiyyatul masjid” dua rakaat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.aw. telah bersabda : Bilamana salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka shalatlah dua kali sujud (dua rakaat) sebelum ia duduk”.
Disunatkan shalat sunat dua rakaat sesudah wudhu, sebagaimana diriwayatkan dari Utsman r.a. :
“Aku telah melihat Rasulullah s.a.w berwudhu, kemudian beliau bersabda : Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat sedang ia tidak berbicara pada dirinya dalam keduanya, maka ia diampuni dosanya yang telah lalu”.
Disunatkan bagi orang yang baru tiba dari bepergian shalat dua rakaat di masjid yang mula pertama ia dapatkan.
Diriwayatkan oleh Ka’ab bin Malik r.a. :
“Bahwasanya Rasulullah s.a.w. bilamana datang dari suatu perjalanan, maka beliau mengawali ruku’dua rakaat di masjid”.
Selanjutnya disunatkan shalat tahajjud di malam hari dan shalat sunat yang dikerjakan di siang hari tanpa batasan jumlah rakaatnya, namun dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, yakni pada setiap dua rakaat diakhiri terlebih dahulu dengan salam, berdasarkan hadits yang diriwayatakan oleh Ibnu Umar r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.aw. bersabda: Shalat malam itu dua-dua, lalu jika engkau khawatir (shalat) Shubuh (terlambat)hendaklah (diakhiri) dengan witir satu (rakaat) “.
Seluruh shalat sunat di atas tidak sunat dikerjakan dengan berjamaah .
Tetapi di samping itu ada beberapa shalat sunat yang sunat dilaksanakan dengan berjamaah , yaitu :
Dua rakaat shalat sunat ‘Idul Fitri dan dua rakaat shalat sunat ‘Idul Adh-ha,sebagaimana dikemukakan oleh Umar r.a. :
“Shalat ‘Idul adh-ha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri itu dua rakaat, shalat safar itu dua rakaat, dan shalat Jum’at itu genap dua rakaat, tanpa diqashar berdasarkan sabda Nabi kalian s.a.w. Dan sungguh merugi orang yang mengada-ada”.
Dua rakaat shalat kusuf dan dua rakaat shalat khusuf dengan cara pada tiap-tiap rakaat dua kali berdiri, dua kali membaca surah Al Fatihah, dua kali ruku’,dan dua kali sujud, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a. :
“(Suatu ketika terjadi) gerhana matahari, sehingga Rasulullah s.a.w. shalat dan orang-orang pun (ikut)bersamanya, lalu beliau berdiri lama seukuran(membaca ) surah Al Baqarah. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian beliau berdiri ( lagi ) dengan lama dan berdirinya ini bukan merupakan berdiri yang pertama, kemudian ruku’(lagi) dengan ruku’ yang lama dan ruku’nya ini bukan merupakan ruku’yang pertama, kemudian beliau sujud, kemudian berdiri dengan lama dan berdiri ( kali ini juga ) bukan merupakan berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku ‘dengan ruku’yang lama dan ruku’( kali ini juga ) bukan merupakan ruku’ yang pertama, kemudian beliau bangkit( dari ruku’ ) , lalu berdiri lama dan berdiri ( yang ini pun ) bukan sebagai berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku’dengan ruku’ yang lama dan ruku’ ( yang ini pun ) bukan ruku’ yang pertama, kemudian sujud. Kemudian ( sesudah itu ) beliau berlalu dan matahari pun telah tampak ( kembali ) , maka beliau pun bersabda : Sesungguhnya matahari dan bulan adalah merupakan dua dari beberapa tanda (kekuasaan) Allah . Keduanya tidaklah tertutup karena kematian seseorang dan bukan (pula) karena hidupnya. Maka jika kalian melihat hal itu , hendaklah kalian berdzikir mengingat Allah”.
Berikutnya shalat sunat istisqa ( minta turun hujan ) ketika terjadi kemarau panjang. Tata caranya sama dengan shalat sunat ‘Idul Adh-ha atau ‘Idul Fitri, yakni sesudah takbiratul ihram membaca do’a iftitah, kemudian takbir tujuh kali dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali setelah berdiri tegak dari sujud pada rakaat pertama.
Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan :
“Nabi s.a.w. pernah pada suatu hari keluar untuk memohon agar turun hujan. Maka beliau shalat dua rakaat sambil mengimami kami dengan tidak diawali oleh adzan dan iqamah.Kemudian beliau berkhotbah di hadapan kami dan berdo’a kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan beliau menghadapkan mukanya ke arah kiblat sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau membalikkan selendangnya ( sorban ) , sehingga yang (semula) terletak di sebelah kanan berpindah ke sebelah kiri dan yang terletak di sebelah kiri berpindah ke sebelah kanan”.
Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :
“Rasulullah s.a.w. pernah keluar sambil berpakaian kusut, dengan khusyu’, dengan merendahkan diri (kepada Allah ) , lalu beliau shalat dua rakaat sama seperti shalat ‘Id. Kemudian beliau khutbah dengan khutbah kalian yang ini”.
5. Yang Membatalkan Shalat :
Dalam shalat ada beberapa syarat sah yang harus selamanya ditepati sampai shalat itu selesai, sehingga bilamana salah satu syarat-syarat tersebut tidak ditepati- umpamanya seperti: suci , menutup aurat, dan sebagainya- maka shalat tersebut batal. Bilamana seseorang yang sedang shalat tertimpa hadats, maka shalatnya itu batal, baik hadats tersebut terjadi dengan sengaja, karena lupa atau atas kehendak sendiri, maupun karena dipaksa. Sebab dalam kasus seperti ini tidak ada perbedaan antara tidak menepati syarat sah shalat atas dasar kehendak peribadi dengan alasan dipaksa, karena berdasarkan kenyataan yang bersangkutan ternyata mengerjakan shalat tanpa wudhu( tidak suci umpamanya ) . Sedang shalat bila tanpa wudhu adalah rusak (tidak sah).
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Ulangi shalatmu, karena kamu dianggap belum shalat”.
Begitu juga bila tertinggalnya karena lupa dan baru teringat setelah shalat itu diakhiri dengan salam, maka shalat tersebut pun tidak sah. Maka shalat itu harus diulangi karena dianggap tidak memenuhi seluruh fardu shalat. Adapun bila tertinggalnya karena lupa dan kemudian teringat sebelum diakhiri dengan salam, maka yang bersangkutan harus kembali mengerjakan rakaat yang tertinggal salah satu fardunya secara utuh dan sebelum salam dia mengerjakan sujud sahwi. Sebab dalam kasus seperti ini dianggap sama dengan orang yang meninggalkan satu rakaat karena lupa, sehingga oleh karenanya dia harus mengerjakan rakaat yang tertinggal dan mengerjakan sujud sahwi.
Abdurrahman bin Auf r.a. meriwayatkan :
“Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Bila seseorang di antara kalian lupa dalam shalatnya, sehingga dia tidak tahu, apakah dia baru mengerjakan satu rakaat atau sudah dua rakaat? Maka dia harus menetapkannya baru satu rakaat. Kemudian bila dia tidak tahu, apakah dia baru mengerjakan tiga rakaat atau sudah empat rakaat? Maka dia harus menetapkannya baru tiga rakaat dan dia pun harus sujud dua kali sebelum membaca salam”.
Bilamana seseorang berbicara saat mengerjakan shalat , atau tertawa, atau tersedu-sedu menangis, atau membalas dengan ucapan : ( ) kepada orang yang berbangkis, sedang dia mengetahui dan sadar bahwa dirinya sedang shalat serta bahwa hal itu tidak boleh dilakukan, maka batallah shalatnya.
Zaid bin Arqam telah meriwayatkan :
“Kami (pada mulanya ) saat sedang shalat diperbolehkan bercakap-cakap, sehingga seseorang di antara kami suka ada yang bercakap-cakap kepada temannya yang berada di sampingnya saat dia sedang shalat, sampai akhirnya turun ayat: ( = Dan berdirilah kalian (shalat) karena Allah dengan khusyu’). Maka sesudah itu kami disuruh agar diam dan kami dilarang bercakap-cakap “.
Dalam hadits Muawiyah bin Al Hakam juga dikemukakan :
“Sesungguhnya dalam shalat ini sedikit pun tidak dibenarkan untuk mengangkat percakapan manusia”.
Sedangkan apabila hal di atas dilakukan saat sedang shalat dikarenakan lupa, maka shalat tersebut tidak batal, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. :
“( Suatu ketika ) Rasulullah s.a.w shalat Zhuhur dan Ashar dengan mengimami kami , kemudian beliau membaca salam. Maka Dzul Yadaini bertanya kepadanya :Apakah shalat (ini) telah diqashar atau engkau ini lupa, ya Rasulullah ? Maka Rasulullah s.a.w. menjawabnya : Shalat tersebut tidak diqashar dan aku juga tidak lupa. Lalu dia berkata : Akan tetapi engkau telah lupa, ya Rasulullah ? Nabi s.a.w. bersabda : Apa yang dia katakan benar ? (para sahabat) menjawab : Ya ! Maka beliau pun shalat (lagi untuk ) dua rakaat yang terakhir, kemudian beliau sujud(sahwi) dua kali”.
Bilamana hal tersebut dilakukan karena tidak tahu bahwa itu tidak boleh dikerjakan dan tidak boleh berkelanjutan, maka shalat tersebut tidak batal, sebagaimana diriwayatkan oleh Muawiyah bin Al Hakam:
“Ketika kami sedang berada bersama Rasulullah s.a.w. tiba-tiba seorang laki-laki dari suatu kaum berbangkis, lalu aku menyahutnya dengan membaca : ( = Semoga Allah mengasihani kamu) , sehingga kaum itu mengerlingkan matanya kepadaku. Maka aku pun berkomentar : Demi ibuku sebagai tanggunganku ! Mengapa kalian memandang aku seperti itu ? Kemudian kaum itu menepak paha mereka dengan tangannya. Kemudian sesudah Rasulullah s.a.w. usai(shalat) , beliau pun memanggilku : Demi ayah dan ibuku, itu seperti apa yang kulihat sebagai isyarat dan merupakan sebaik-baik pelajaran daripadanya. Demi Allah hal itu tidak menyakiti dan tidak (pula) membuatku benci. Kemudian beliau juga bersabda: Sesungguhnya shalat kita ini tidak dibenarkan, saat sedang dikerjakannya, sedikitpun dicampuri dengan perkataan manusia. Sesungguhnya shalat itu hanya merupakan tasbih, takbir, dan membaca Al Qur’an”.
Suatu ketidak-tahuan baru dimaafkan dengan catatan bahwa hal tersebut sangat wajar untuk tidak atau belum diketahui. Sedangkan bila tidak demikian , maka ketidak-tahuan tersebut tidak bisa dimaafkan.
6. Hal-hal yang Makruh dalam Shalat
Dimakruhkan dalam shalat menoleh ke kanan dan ke kiri, berdasarkan hadits Aisyah r.a. di mana ia pernah berkata:
“Aku telah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang menoleh saat sedang sedang shalat. Maka beliau menjawab: Itu merupakan suatu tindakan pencurian yang dilakukan syaitan dari shalat seorang hamba”.
Namun demikian menoleh ini tidak membatalkan shaat sebagaimana diriwayatkan dari Jabir r.a.:
“Rasulullah saw. suatu (ketika) sakit sehingga kami shalat di belakang, dan beliau (shalat) sambil duduk dan beliau menoleh kepada kami, sehingga beliau melihat kami berdiri maka beliau pun memberi isyarat kepada kami”.
Dimakruhkan saat shalat mengarahkan pandangan ke atas, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a.:
“Sesungguhnya nabi saw. telah bersabda: Ada apa gerangan kaum yang mengarahkan penglihatan mereka ke atas saat mereka sedang shalat. Kemudian beliau pun begitu keras menyatakan hal itu sehingga beliau bersabda: Sungguh, seharusnya mereka menahan diri dari perbuatan itu atau sungguh-sungguh penglihatan mereka dilenyapkan”.
Dimakruhkan saat shalat melihat kepada yang ada disekitarnya (di sampingnya), berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:
“Bahwasanya Nabi saw. pernah shalat dengan menggunakan baju woll bergambar, maka tatkala beliau usai bersabda: Gambar-gambar ini telah membuat aku tidak khusu’, maka bawalah pergi oleh kalian baju ini kepada Abu Jahm dan berikanlah kepadaku baju woll yang tidak bergambar* .”
Dimakruhkan juga saat shalat meletakkan tangan di bawah tulang rusuk berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang seorang laki-laki shalat dengan meletakkan tangan di bawah tulang rusuk.”
Dimakruhkan saat shalat menguap, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Menguap itu adalah dari syaitan. Maka jika seseorang di antara kalian menguap hendaklah dia menahannya sedapat mungkin”.
7. Waktu yang Makruh untuk Shalat
Dimakruhkan shalat dalam waktu yang lima, yaitu: Dua waktu karena berdasarkan pelaksanaannya dan tiga waktu karena berdasarkan waktunya. Dua waktu pertama, yaitu shalat sesudah shalat shubuh sampai matahari terbit dan shalat sesudah shalat ashar sampai matahari terbenam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:
“Orang-orang yang diridhai telah bersaksi di hadapanku dan Umar r.a. pun menyatakan ridha kepada mereka, sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang shalat sesudah shubuh sampai matahari terbit dan (beliau juga telah melarang shalat) sesudah ashar sampai matahari terbenam.”
Adapun tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat karena berdasarkan waktunya, yaitu shaalat ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika matahari pas berada di garis katulistiwa sampai tergelincir, dan ketika langit kekuning-kuningan sampai matahari terbenam.
Diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir r.a.:
“Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu atau untuk mengubug orang yang wafat di antara kita; ketika matahari tampak terbit sampai meninggi’ ketika pas tengah hari, dan ketika matahari menjelang terbenam.”
Akan tetapi dikecualikan dari ketentuan di atas bagi shalat qadha, baik qadha shalat fardhu maupun qadha shalat sunat, yakini untuk shalat qadha tidak dimakruhkan berdasarkan beberapa nash yang membolehkannya, antara lain:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a.:
“Sesungguhnya Umar pada waktu Perang Khandaq datang setelah matahari terbenam dikarenakan dia terlena memaki kaum kuffar Quraisy. Maka dia berkata: Ya Rasulallah, hampir saja aku tidak shalat ashar sampai matahari pun hampir tenggelam. Kemudian Nabi saw. bersabda: Demi Allah, aku pun belum mengerjakannya. Oleh karena itu, maka beliau mengambil wudhu dan begitu pula kami pun berwudhu. Lalu beliau shalat ashar setelah matahari terbenam, kemudian sesudah itu dia shalat maghrib”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw.:
“Barang siapa lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah is shalat pada waktu mengingatnya.”
Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah shalat dua rakaat sesudah ashar, lalu setelah usai beliau bersabda: Wahai puteri Abu Umayah, engkau telah bertanya tentang dua rakaat sesudah ashar. Sesungguhnya orang-orang dari kaum Abdul Qais telah datang kepdaku menanyakan tentang Islam sebagai pesan yang dibawa dari mereka, sehingga mereka itu telah membuat aku sibuk sampai tidak mengerjakan shalat sunat dua rakaat sesudah dzuhur, maka inilah kedua rakaat sesudah ashar ini (sebagai qadhanya).”
Adapun shalat sunat tahiyatul masjid tetap dimakruhkan mengerjakannya pada waktu-waktu di atas, sama halnya dengan shalat-shalat sunat yang lain karena hadits rasulullah saw. yang berbunyi:
“Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka hendaklah dia jangan duduk sampai ia ruku’ dua rakaat (terlebih dulu).”
Hadits ini bersifat umum untuk seluruh waktu keadaan serta bagi setiap masjid. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah: “Tiga waktu Rasulullah saw. telah melarang kita untuk mengerjakan shalat pada waktu itu…” maka sesungguhnya hadits tersebut bersifat khusus untuk waktu-waktu tertentu.
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.
“Sesungguhnya nabi telah melarang shalat sesudah ashar sampai matahari terbenam.”
Hadits ini bersifat khusus dalam keadaan tertentu, yakni sesudah shalat ashar bukan sebelumnya. Bilamana terjadi pertentangan antara yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum, maka yang bersifat umum mengikuti yang bersifat khusus. Yaitu jika didapati nash yang bersifat khusus umum dan bersifat khusus berarti nash yang bersifat khusus berfungsi untuk membatasi keumuman nash yang bersifat umum. Tegasnya berfungsi untuk mengecualikan dari nash yang bersifat umum. Dengan demikian, maka anjuran untuk mengerjakan shalat tahiyyatul masjid di sembarang waktu dibatasi agar dikerjakan diluar waktu yang lima yang telah ditetapkan sebagai waktu yang terlarang untuk mengerjakan shalat. Sehingga oleh karenanya shalat tahiyyatul masjid pada waktu yang lima hukumnya makruh sama dengan shalat sunat yang lain. Sebab bentuk larangan dalam hadits tersebut dialamatkan pada seluruh shalat termasuk pada shalat tahiyyatul masjid. Lebih jelasnya lagi ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat (sunat tahiyyatul masjid) pada waktu tersebut, lain halnya dengan shalat fardu dan qadha shalat sunat rawatib yang ternyata ditemukan hadits (nash) yang membolehkannya. Maka dengan demikian , dikukuhkanlah : Sesungguhnya shalat sunat tahiyyatul masjid hukumnya makruh bila dikerjakan pada waktu yang tidak diperbolehkan, yakni pada waktu yang lima tersebut. Begitu juga, ternyata bentuk larangan yang dikemukakan dalam hadits lain yang membicarakan tentang dua waktu yang bersifat umum untuk seluruh shalat, termasuk di dalamnya shalat sunat tahiyyatul masjid, shalat nawafil, dan yang lainnya. Adanya pengecualian yang membolehkan shalat tertentu dalam waktu-waktu tersebut dan dalam keadaan-keadaan di atas menghendaki adanya nash yang membolehkan untuk mengerjakannya. Dan ternyata tidak didapatkan nash yang membolehkan shalat pada ketiga waktu dan dua keadaan tersebut, melainkan hanya untuk fardu dan qadha shalat sunat rawatib saja. Maka dengan demikian, hanya dua jenis shalat itu sajalah yang dikecualikan sehingga tidak makruh bila dikerjakan pada kelima waktu tersebut. Sedangkan selain dari keduanya makruh bila dikerjakan pada kelima waktu di atas, termasuk shalat sunat tahiyyatul masjid.
8. Shalat Berjamaah :
Shalat berjamaah hukumnya adalah fardu kifayah yang wajib dinyatakan kepada khalayak ramai. Bilamana mereka menghadang untuk dinyatakannya, maka mereka harus dibunuh. Dalil yang menyatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardu kifayah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ r.a.:
“Sesunggunya Nabi s.a.w. telah bersabda : Tidaklah dari tiga orang di suatu kampung atau di suatu dusun bilamana shalat tidak di dirikan dengan berjamaah olehnya , melainkan mereka (penduduk kampung itu) telah menjadikan syeitan sebagai pemimpinnya. Kamu hendaklah berjamaah ( bersatu ) , karena sesungguhnya srigala hanya berani menerkam kambing yang memisahkan diri “.
Adapun yang menjadi landasan bahwa hukum shalat berjamah adalah fardu kifayah bukan fardu ‘ain, karena sebahagian kaum muslimin terkadang suka terlambat shalat berjamaah dengan Rasulullah s.a.w. , tetapi mereka tetap dibiarkan begitu oleh Rasulullah s.a.w.,sekalipun mereka telah diancam dengan di bakar. Bilamana shalat berjamaah hukumnya fardu’ain atas setiap muslim, niscaya beliau tidak akan membiarkan mereka terlambat. Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat manfarid (menyendiri ).
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Nabi s.a.w. dikemukakan, bahwasanya beliau telah bersabda :
“ Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat menyendiri dengan dua puluh tujuh derajat “.
Dan shalat dimasjid lebih utama daripada shalat di rumah, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. , bahwasanya dia berkata : Rasulullah s.a.w. telah bersabda :
“ Barangsiapa bersuci (wudhu) di rumahnya, kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu dari beberapa yang telah difardukan oleh Allah (shalat fardu), maka langkah-langkahnya itu, salah satunya merupakan penghapus dosa yang lainnya merupakan langkah-langkah yang akan meninggikan derajatnya “.
Batas minimal shalat berjamaah adalah dua orang, satu imam dan satu makmum, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits yang mengatakan :
“ Aku bersama sahabatku datang kepada Nabi s.a.w ,. Maka ketika kami hendak pamit daripadanya, beliau pun bersabda kepada kami : Bilamana waktu shalat tiba, maka adzanlah dan qamatlah serta jadikan imam orang yang paling tua di antara kamu berdua”.
Selanjutnya shalat berjamaah di masjid lebih utama daripada shalat berjamaah dirumah, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. yang mengatakan :
“ Barangsiapa yang ingin dibahagiakan dengan dapat menemui Allah besok dalam keadaan muslim, maka peliharalah shalat-shalat itu ketika datang panggilannya. Sebab sesungguhnya Allah Ta’ala telah mensyari’atkan bagi Nabi s.a.w. sunah-sunah yang bermakna sebagai petunjuk dan sesungguhnya shalat-shalat itu merupakan sebahagian dari sunah-sunah yang bermakna sebagai petunjuk tersebut. Dan sekiranya kalian shalatdi rumah-rumah kalian seperti orang yang menyalahi ini yang mengerjakan shalat di rumahnya,sungguh kalian ini berarti telah meninggalkan sunah Nabi kalian s.a.w. Dan sekiranya kalian berani meninggalkan sunah Nabi kalian , maka itu berarti kalian sungguh telah tersesat. Sungguh kamu telah melihat kami, bahwasanya tidak seorang pun menyalahi sunnah beliau, melainkan hanya orang yang benar-benar munafik. Sungguh seorang laki-laki hendaknya harus didatangkan untuk hadir di antara dua laki-laki sehingga dia ditempatkan pada barisan (shaf )”.
Diperbolehkan kaum wanita datang ke masjid untuk shalat di sana dan untuk mengikuti shalat berjamaah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian pergi ke masjid sekalipun rumah mereka lebih utama bagi mereka “.
Keharusan shalat berjamaah baru bisa ditinggalkan bila karena ada halangan yang disa diterima oleh syara’, seperti karena malam yang sangat dingin atau karena hujan, sebagaimana dikemukakan dalam hadtis Ibnu Umar r.a. :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah menyuruh tukang adzan untuk adzan, kemudian sesudah ia adzan beliau bersabda : Ingat ! shalatlah kalian dirumah-rumah kalian di malam yang sangat dingin atau turun hujan jika berada diperjalanan “.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikemukakan :
“(Beliau) menyuruh muadzin bila malam sangat dingin dan turun hujan agar berkata :Ingat ! hendaklah kalian dirumah-rumah kalian “.
Begitu juga kepada orang yang lapar atau terdesak ingin buang hajat besar atau hajat kecil, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :
“ Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Tidak dibenarkan shalat di hadapan hidangan makanan dan tidak pula bagi orang yang terdesak ingin buang hajat besar atau ingin buang air “.
Bahkan dalam keadaan seperti ini shalat dimakruhkan. Disunatkan bagi orang yang hendak shalat berjamaah berjalan tidak dengan berlari.
Abu Hurairah r.a. telah meriwayatkan dari Nabi s.a.w. , bahwasanya belia u telah bersabda :
Bilamana shalat telah didirikan , maka janganlah kalian mendatanginya dengan berlari-lari. Akan tetapi datangilah oleh kalian dengan berjalan (biasa). Kalian harus bersikap sakinah (tenang), lalu shalatlah kalian pada bagian yang dapat kalian temukan dan selanjutnya sempurnakanlah bagian yang tidak kalian dapatkan”.
Bilamana seseorang tiba di masjid untuk mengikuti shalat berjemaah sedang shalt itu telah dimulai, hendaklah ia langsung mengikutinya, tidak perlu mengerjakan shalat sunnah terlebih dahulu.
Sabda Rasulullah saw. :
“Bilamana shalat telah dimulai, maka tidak ada shalat kecuali hanya shalat fardlu”.
Jika seseorang sedang shalat sunat kemudian shalat fardlu dimulai, maka jika tidak dikhawatirkan akan kehilangan berjamaah hendaknya shalat sunat tersebut disempurnakan, baru kemudian menyusul untuk mengikuti shalat berjamaah. Akan tetapi jika dikhawatirkan akan kehilangan berjamaah hendaknya shalat sunat itu diputuskan, karena shalat berjamaah lebih afdhal.
Shalat berjamaah tidak sah sampai makmum niat shalat berjamaah, karena dia bermaksud hendak mengikuti imam sehingga oleh karenanya tidak boleh tidak dia harus menyertakan niat mengikuti iman, siat berjamaah, atau niat bermakmum. Namun jika sampai makmum tidak menyertakan niat berjamaah, maka shalatnya tetap sah tetapi dianggap munfarid dan tidak memperoleh keutamaan berjamaah. Untuk imam juga diharuskan menyertakan niat berjamaah, yakni di dalam hatinya menyebutkan niat mengimamai atau niat menjadi imam, sekalipun tanpa menyertakan niat mengimamai shalatnya tetap sah, tetapi dia akan memperoleh fadilah berjamah. Dalam kasus seperti ini bagi makmum tidak menjadi masalah, yakni makmum tetap memperoleh fadilah berjamaah.
Apabila makmum mendapatkan waktu untuk berdiri bersama imam, namun ia khawatir tidak mendapatkan waktu untuk membaca surat Al Fatihah, hendaklah ia tidak membaca do’a istiftah dan langsung membaca surat Al Fatihah saja karena membaca surat Al Fatihah adalah fardlu yang harus diprioritaskan dari hal-hal yang bersifat sunat. Apabila makmum baru menyelesaikan sebagian dari membaca surat Al Fatihah namun imam sudah ruku’, maka dia pun harus ikut ruku’ dan memutuskan bacaan surat Al Fatihah karena mengikuti imam harus lebih diprioritaskan. Apabila makmum mendapatkan imam sedang ruku’, maka bertakbirlah untuk takbitarul ihram sambil berdiri kemudian bertakbir untuk ruku’ sambil merengkuh ruku’. Bilamana yang bersangkutan bertakbir dengan satu kali takbir dan dengan niat untuk takbiratul ihram sekaligus untuk takbir ruku’, maka hal itu hukumnya tidak sah karena berarti dia telah menyekutukan niat diantara fardlu dengan niat. Apabila makmum mendapatkan imam sendang ruku’ dan dia pun masih dapat mengikutinya dengan thuma’ninah, maka berarti dia telah mendapatkans atu rakaat secara utuh, namun bila tidak demikian berarti dia tidak mendapatkan rakaat tersebut. Barangsiapa masih dapat menemukan satu rakaat bersama imam, berarti dia telah mendapatkan shalat berjamaah.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r. a. Dikemukakan:
“Rasulullah saw. bersabda: Bilamana kalian datang untuk shalat dan kami sedang sujud, maka kalian pun bersujudlah dan sedikit pun kalaian jangan melampauinya. Dan barangsiapa masih mendapatkan satu rakaat, maka dia telah menemukan shalat tersebut”.
Apabila seseorang mendapatkan imam pada rakaat terakhir, maka rakaat tersebut terhitung sebagai rakaat pertama baginya, sebagaimana diriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan:
“Rakaat yang kamu dapatkan adalah merupakan awal dari shalat kamu”.
Maka oleh karena itu, ketika imam telah membaca salam dia harus berdiri untuk menyelesaikan shalat yang belum dikerjakan. Apabila dalam shalat itu ada qunut, maka dia pun ikut qunut bersama imam dan qunut tersebut diulang lagi pada bagian akhir dari shaltnya. Kepada makmum wajib mengikuti imam dan tidak boleh sedikit pun dalam berbagai perbuatannya mendahuluinya.
Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Hanya saja imam diangkat tidak lain untuk diikuti. Bilamana dia mengatakan : ( ), maka berkatalah kalian: = Ya Allah, ya Tuhan kami, hanya kepunyaan-Mu segala puji) dan bilamana dia sujud, maka kalian pun bersujudlah”.
Apabila imam lupa dalam shaltnya dan yang terlupakan itu merupakan bacaan, yakni surat Al Fatihah atau surat lain, maka makmum hendaknya memberi tahu, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra. yang mengatakan:
“Bahwasanya para shahabat Rasulullah saw. sebagian diantara mereka suka membimbing sebahagian yang lainnya lagi ketika mereka sedang shalat”.
Hendaknya makmum menyaringkan bacaan selain Al Fatihah jika imam lupa dalam bacaan selain AL Fatihah tersebut sehingga dia mendengarnya. Dan apabila imam lupa dalam shalat yang berupa pekerjaan fisik, hendaklah makmum mengingatkannya dengan membaca “tasbih” yakni membaca : ( ), sehingga dia mengatkannya. Apabila makmum berniat hendak memisahkan diri dari imam karena ingin munfarid, maka hal itu diperbolehkan, baik atas dasar adanya udzur maupun tidak ada udzur. Hal ini dengan alasan, karena Mu’adz ketika membaca surat yang panjang maka seorang Arab dari dusun akhirnya memisahkan diri karenanya. Kemudian hal tersebut disampaikan kepada Nabi saw. dan beliau tidak mengingkarinya. Bagi setiap muslim sah menjadi imam selama ia telah dewasa dan berakal serta ia tergolong ahli (taat) menjalankan shalat sekalipun dia masih di bawah umur.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin salamah ra.:
“Aku pernah mengimami pada masa Rasuluallah saw. sedangkan aku (saat itu) masih kecil, anak berusia tujuh tahun”.
Makruh bagi seseorang dalam shalat sambil mengiamami jamaah sedang kebanyakan jamaah di antara mereka tidak menyukainya.
Ibnu Abbas ra. telah meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Tiga kelompok orang shalatnya tidak diangkat ke atas kepala mereka barang sejengkal pun; seorang laki-laki mengimami suatu kaum sedang mereka tidak menyukainya; dan seorang isteri yang sedang tidur sedang suaminya marah kepadanya; serta dua saudara yang bermusuhan”.
Seorang yang gemar melakukan maksiat makruh diangkat menjadi imam, sekalipun shalatnya tetap sah.
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. dikemukakan, bahwasanya dia berkata:
“Rasulullah saw. telah bersabda: Jadikanlah oleh kalian sebagai para imam kalian orang-orang terbaik diantara kalian. Sebab mereka itu adalah duta kalian yang akan membawa misi di antara kalian dengan Tuhan kalian”.
Diriwayatkan pula dari Makhul dari Abu Hurairah ra., bahwasanya dia berkata:
“Rasulullah saw. telah bersabda: Jihad adalah merupakan kewajiban atas kalian bersama amir (pemimpin), baik ia seorang amir yang baik maupun seorang amir yang gemar malakukan maksiat, bahkan sekalipun dia itu suka melakukan dosa-dosa besar”.
Disunatkan yang diangkat menjadi imam itu adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya dan yang paling luas ilmu fiqihnya di antara para jamaah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra. :
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Yang lebih berhak menjadi imam bagi kaum adalah orang yang paling baik dalam membaca Kitabullahi Ta’ala (Al Qur’an) dan yang paling banyak (rajin) membacanya diantara mereka. Bilamana bacaan mereka itu sama, maka orang yang paling awal di antara mereka hijrahnya dan bilamana mereka hijrahnya bersamaan, maka orang yang paling tua usianya di antara mereka”.
Apabila meeka sedang bertamu, maka yang lebih utama menjadi imam adalah tuan rumah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al Badari ra. :
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Tidaklah seseorang mengimami seseorang yang tengah berada di tengah keluarganya dan tidak pula ia mengimami seseorang yang berada pada kekuasaannya serta tidak lah seseorang duduk dalam kursi kehormatannya, kecuali atas seizinnya”.
Apabila berkumpul antara musafir dengan yang mukim, maka yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang mukim.
Disunatkan dalam tata cara shalat berjamaah, makmum yang pertama berada di bagian kanan imam, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., bahwasanya ia telah berkata:
“Aku pernah bermalam di rumah bibiku (dari pihak ibu saya). Maka Rasulullah saw. (didapatkan) bangun hendak shalat, lalu aku pun berdiri sebelah kirinya sehingga beliau menjadikan aku berada di sebelah kanannya”
Apabila kemudian datang makmum yang kedua, maka hendaklah ia mengambil posisi di sebelah kiri imam dan selanjutnya imam maju ke depan atau makmum yang pertama mundur ke belakang, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. yang mengatakan:
“Aku berdiri di sebelah kiri Rassulullah saw. maka beliau pun mengambil tanganku lalu beliau memutarku, sehingga beliau menempatkan aku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr sehingga dia berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw., lalu beliau mengambil tangan kami semua mendorong kami sampai beliau menempatkan kami berdiri di belakangnya.”
Apabila dua orang makmum di belakang imam, maka keduanya berbaris di belakangnya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. di atas. Kemudian apabila ada seseorang yang telah dewasa dan seorang yang masih di bawah umur sebagai makmum, maka keduanya berbarislah di belakang imam. Selanjutnya apabila di antara para jamaah itu ada perempuan, maka hendaklah ia mengambil posisi di belakang para makmum laki-laki.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a. dia telah berkata:
“Rasulullah saw. berdiri dan aku bersama At-Taim berbaris di belakangnya, sedang seorang perempuan tua berada di belakang kami. Maka beliau pun shalat mengimami kami dua rakaat”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dikemukakan, bahwasanya ia telah berkata:
“Aku sha;at di samping Nabi saw. dan Aisyah bersama kami, dia shalat di belakang kami sedangkan aku di samping nabi sambil shalat bersamanya.”
Apabila mereka (para makmum) menyalahi apa yang telah dikemukakan di atas, sehingga seorang makmum laki-laki berada di samping kiri imam atau seorang makmum perempuan berdiri sejajar bersama dengan makmum laki-laki atau imam laki-laki, namun mereka masih berada di belakang imam maka shalatnya dianggap makruh sekalipun tidak sampai batal.
Ibnu Abbas r.a. telah meriwayatkan:
“Dia berdiri di samping kiri Nabi saw., maka hal itu tidak membatalkan shalatnya”.
Berdasarkan hadits-hadits di atas, maka tertib para makmum dalam membuat barisan secara teratur hukumnya adalah sunnat. Begitu pula tertib susunan antara posisi makmum laki-laki dan perempuan. Apabila di belakang imam hanya ada seorang makmum saja, maka takbiratul ikhramnya tetap dianggap sah sekalipun dia baru masuk ke dalam barisan sesudah takbiratul ikhram dan sekalipun dia baru masuk ke dalam barisan ketika sedang ruku’ atau sesudahnya. Hal ini tidak membatalkan shalat selama dilakukan sebelum bergerak untuk sujud. Diriwayatkan, bahwa Abu Barah takbiratul ikhram di belakang barisan, lalu dia pun ruku’ baru sesudah itu dia maju menuju barisan. Maka bersabdalah nabi saw. kepadanya: ‘Semoga Allah menambah kesungguhan kepadamu dan engkau tidak berlebih-lebihan’. Adapun bila makmum ini tetap hanya dia satu-saunya dan dia tidak masuk ke dalam barisan, maka batallah shalatnya.
Sabda Rasulullah saw.:
“(Beliau) pernah melihat seorang laki-laki shalat di belakang barisan. Maka beliau pun berdiri sampai laki-laki itu selesai shalat, lalu belaiu bersabda kepadanya: Ulangilah shalatmu, karena belum dianggap shalat bagi seseorang yang berada di belakang barisan”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Washibah bin Ma’id dikemukakan:
“Sesungguhnya nabi saw. melihat seorang laki-laki shalat di belakang barisan menyendiri. Maka beliau pun menyuruhnya agar mengulangi shalatnya”.
Semua ini dengan catatan bila dalam barisan tersebut masih ada tempat kosong. Adapun bila ternyata barisan itu telah penuh, maka hendaklah seseorang ditarik ke belakang untuk membuat barisan baru bersamanya.
Ath-Thabari telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dari Al-Hafizh pun telah meriwayatkannya dengan lafazh:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah menyuruh seorang yang datang --sementara barisan-barisan telah penuh—agar menarik seseorang ke belakang untuk berdiri di sampinya”.
Makmum wajib mengikuti imam. Dia tidak dibenarkan mendahului gerakan apapun dari imamnya, seperti dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Hanya saja imam diangkat tidak alain untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyalahinya. Jika dia bertakbir, kalian pun bertakbir. Bila dia ruku’, kalian pun ruku’. Bila ia mengucapkan sami’allahu liman hamidah ( ), maka kalian mengucapkan allahum rabbana lakalhamdu ( ). Dan bila dia sujud, kalian pun sujudlah”.
Bilamana makmum bertakbir sebelum imam bertakbir, maka shalatnya tidak jadi karena berarti dia menyembunyikan shalatnya dengan shalat imam yang belum dimulainya sehingga shalat makmum tidak sah karenanya. Bilamana makmum mendahului imam dalam satu rukun, seperti ia mendahului ruku’ atau mendahului sujud, maka batallah shalatnya itu.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“ Tidakkah seseorang di antara kalian merasa takut bilamana ia mengangkat kepalanya sebelum imam, lalu Allah menjadikan kepalanya menjadi keledai atau Dia menjadikan bentuknya menjadi bentuk keledai “.
Oleh karenanya, maka ia wajib mengulang untuk mengikuti imam karena mengikuti imam adalah fardu. Kemudian jika ia tidak mengulangi dan segera pula dapatkan imam mengerjakan apa yang ia lakukan, maka shalatnya tidak batal karena hal itu dianggap hanya terjadi dalam waktu yang tidak lama. Akan tetapi bilamana seorang makmum ruku’sebelum imam dan ketika imam ruku’ ia ‘itidal lalu ketika imam hendak ‘itidal ia pun sujud, maka hal seperti ini hukumnya haram. Selanjutnya jika ia mengetahui bahwa itu hukumnya haram, batallah shalatnya karena hal itu dianggap sebagai perbedaan (penyimpangan ) yang terjadi dalam waktu yang lama. Sedang bilamana ia tidak mengetahui bahwa itu hukumnya haram, maka shalatnya tidak batal namun rakaat tersebut tidak dihitung ke dalam jumlah keseluruhan rakaat shalat yang dikerjakan sebab dalam rakaat tersebut pada kebanyakannya ia tidak mengikuti imam. Dengan demikian , ia harus menambah satu rakaat lagi. Sementara itu jika ia hanya mendahului imam dalam satu rukun saja, maka shalatnya tidak batal.
Kepada makmum diharuskan sedikit mengakhirkan gerakan dari yang dilakukan imam. Jika ia melakukannya dalam waktu yang sama dengan imam, maka hukumnya makruh dan tidak sampai membatalkan shalatnya. Adapun bilamana imam maju ke depan makmum sehingga makmum posisinya ada di belakang imam; jika hal ini terjadi sebeluma shalat dimulai, maka shalatnya tidak jadi dan jika hal itu terjadi pada waktu shalat sedang dilaksanakan, maka batallah shalatnya karena dalam keadaan seperti ini makmum berdiri pada posisi bukan sebagai orang yang sedang berjamaah, sehingga dia tidak bisa dianggap sebagai orang yang sedang bermakmum.
9. Setiap Muslim Berhak Menjadi Imam Shalat :
Tidak disyaratkan apa-apa bagi seorang imam shalat melainkan dia itu seorang muslim. Oleh karena itu, tidak sah seorang Nasrani, Yahudi, Majusi, dan pemeluk agama selain Islam menjadi imam dalam shalat dan karenanya pula maka selain orang kafir keimanannya sah serta shalat di belakangnya juga sah. Sedang tentang keimanan seorang ahli bid’ah, maka hendaknya diperhatikan : Bilamana derajat bid’ahnya dianggap membuat ia kufur, seperti orang yang menyatakan: ( = Sesungguhnya Allah bersemayam dalam diri Sayyidina Ali ), maka keimanannya sama dengan keimanan orang kafir -tidak sah- karena orang seperti ini tidak lain adalah orang kafir yang berpura-pura menjadi penganut Islam. Sedangkan seorang ahli bid’ah yang tidak sampai dikatagorikan kafir, seperti orang yang menyatakan Al Qur’an sebagai makhluk , seperti orang Mu’tazilah, atau seperti orang Khawarij, maka keimanan mereka sah karena mereka masih dianggap sebagai orang -orang Islam. Oleh karena itu, mereka boleh dijadikan imam dalam shalat sama seperti kaum muslimin yang laindan sama sekali tidak makruh berjamaah shalat kepada mereka. Ada beberapa kriteria orang yang lebih utama untuk menjadi atau ditunjuk agar menjadi imam shalat, yaitu hendaknya dia itu seorang yang memiliki beberapa sifat seperti yang dikemukakan dalam bebarapa nash syar’i, antara lain :
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Yang menjadi imam pada suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya diantara mereka. Bilamana mereka sama dalam bacaannya, maka orang yang paling mengetahui as sunah diantara mereka. Bilamana mereka sama dalam pengetahuan nya tentang as sunnah, maka orang yang lebih awal hijrah ( ke Madinah ) diantara mereka. Bilamana mereka bersamaan dalam hijrah, maka orang yang paling lanjut usianya di antara mereka. Dan hendaklah seorang laki-laki tidak mengimami seseorang yang berada dalam kekuasaannya”.
Ada beberapa orang yang makruh diangkat menjadi imam berdasarka hadits yang menetapkannya demikian, mereka itu antara lain seperti yang dikemukakan dalam hadits farfu’ yang diriwayatkan dari Ali r.a. :
“ Hendaklah orang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya(Islam) tidak mengimami kalian”.
Abu Umamah dalam hadits yang diriwayatkan berkata :
“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Tiga orang yang tidak perlu disambut panggilan shalatnya: Seorang hambda sahaya yang melarikan diri sampai ia kembali(kepada majikannya) , seorang isteri yang tidur sedang suaminya marah kepadanya, dan seorang imam yang memimpin suatu kaum sedang mereka membencinya”.
Maka makruh diangkat menjadi imam seorang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya dan seorang imam suatu kaum yang dibenci oleh mereka bukan berarti bahwa shalat tersebut tidak sah dan bukan pula berarti bahwa orang yang makmum kepadanya berdosa , akan tetapi pengertian yang terkandung dalam ungkapan di atas adalah, bahwa berjamaah kepadanya makruh dan mengangkat orang seperti itu hukumnya makruh pula.
Orang yang haram diangkat menjadi imam dalam shalat dan menyebabkan shalat menjadi batal seperti yang telah dikukuhkan dalam hadits Nabi s.a.w. adalah hanya orang kafir. Sedangkan orang yang makruh diangkat menjadi imam dalam shalat dan shalat bersamanya sah serta diperbolehkannya seperti yang telah dikukuhkan dalam hadits Nabi s.a.w. adalah seperti orang yang suka menganggap enteng dalam urusan agamanya. Maka oleh karena itu shalat shalat berjamaah bersama setiap muslim hukumnya boleh, yakni menjadikan dia sebagai imam hukunya boleh; baik dia itu bermadzhab Syafi’i Hanafi , maupun Ja’fari; baik yang bermadzhab Sunni, maupun yang bermadzhab Syi’ah.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Makhul dari Abu Hurairah r.a. dikemukakan , bahwasanya dia telah berkata :
“Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Berjihad adalah wajib atas kalian bersama-sama dengan setiap amir ( pemimpin ) , baik dia itu seorang amir yang baik maupun tidak baik (suka berbuat maksiat ). Dan shalat adalah wajib bagi kalian di belakang setiap muslim, baik dia itu seorang muslim yang baik maupun yang tidak baik ( suka berbuat maksiat ), bahkan sekalipun dia itu suka mengerjakan dosa-dosa besar”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dikatakan :
“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Mereka boleh mengimami shalat kalian. Maka jika mereka benar, kalian dan merekapun mendapat pahala. Sedangkan jika mereka salah, maka kalian tetap mendapat pahala dan atas mereka kesalahannya”.
Berdasarkan petunjuk ini, maka seluruh kaum muslimin, seharusnya satu sama lain menjadi pemimpin ( imam ) atas sesamanya selama mereka beridentitas sebagai penganut agama Islam. Kemudian daripada itu, maka berdasarkan petunjuk di atas hendaknya perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin seperti dalam sebahagian pemikiran atau pemahaman yang berkaitan dengan aqidah, seperti antara kaum Syi’ah dan kaum Sunni serta Khawarij, begitu juga perbedaan di antara mereka dalam sebahagian yang berhubungan dengan masalah-masalah hukum syara’, seperti antara madzhab syafi’I, Hanafi, dengan Maliki - umpamanya- maka semua itu jangan dijadikan sarana untuk menikam kepemimpinan sebahagiaan kaum muslimin atas sebahagiannya lagi. Begitu pula hendaknya seorang muslim yang shalat di belakang seorang muslim yang berbeda aliran aqidahnya yang tidak katagorikan sebagai aqidah kafir atau seorang muslim yang berbeda madzhab fiqhnya, hendaknya dia jangan sampai dinyatakan shalatnya tidak sah dan jangan pula dinyatakan shalatnya makruh.
Dasar hukum yang membolehkan shalat di belakang seorang imam yang berlainan madzhab aqidahnya dan shalat itu tidak makruh adalah sangat jelas, yakni bahwa yang bersangkutan -sebagai seorang muslim- shalat dengan imam seorang muslim lagi. Adapun dasar hukum yang membolehkan shalat di belakang seorang imam yang berlainan madzhab fiqhnya adalah dikarenakan hukum-hukum yangdi jadikan sandaran oleh imam dan makmum semuanya bersumber dari hukum -hukum syara’ yang sama yang dikukuhkan oleh masing-masing atas dasar dugaan, sehingga hal itu harus menjadi hukum syara’ bagi imam dan orang yang ada disampingnya. Begitu juga hukum syara’, yang menjadi pegangan makmum adalah hukum syara’bagi imam. Sebagai contoh , di sini dapat dikemukakan: Kaum Syi’ah berpendapat, bahwa yang wajib itu adalah menyapu kedua kaki, bukan mencucinya. Sedangkan kaum Sunni berpendapat , bahwa yang wajib itu adalah mencuci kedua kaki sampai dengan kedua mata kakinya, sehingga tidak sah bila hanya sekedar disapu dan oleh karenanya bila sampai ada bagian yang tidak dicuci walau hanya sedikit, maka wudhu tersebut tidak sah. Atas dasar ini, maka seorang Sunni pada waktu mencuci kedua kakinya bila hanya sekedar di sapu dia beranggapan wudhunya tidak sah, lalu dia pun beranggapan bahwa shalat dengan wudhu seperti itu shalatnya juga tidak sah. Namun demikian sepenuhnya ketentuan atau kepastian hukumnya ada pada Allah. Berbeda dengan pendapat seorang Syi’ah dalam wudhu ini, karena menurut pendapatnya hanya dengan membasuh kedua kaki sudah dianggap sah, oleh karenanya maka sah pula shalat dengan cara wudhu seperti itu. Namun demikian hendaknya bagi seorang Sunni kepastian hukumnya sepenuhnya harus diserahkan kepada Allah. Jelaslah kiranya bagi kita, bahwa kedua pendapat di atas merupakan hukum syara’ sekalipun keduanya berbeda karena satu sama lain bersandar pada hukum syara’. Bilamana seorang Sunni melihat seorang Syi’ah wudhu dengan hanya menyapu kedua kaki, tidak dengan mencucinya, lalu ia shalat mengimami jamaah, maka bagi seorang Sunni boleh shalat makmum kepadanya sekalipun cara wudhunya berbeda. Sebab walaupun demikian, sebagai seorang Syi’ah dia telah menepati hukum syara’ sesuai dengan yang difahami oleh kaum Syi’ah, sehingga dia pun berarti telah menepati syarat sah shalat sebagaimana yang telah digariskannya berdasarkan hasil ijtihad yang dianggap sah menurut kaum Syi’ah walaupun dalam pandangan seorang Sunni pemahaman tersebut salah. Akan tetapi bagaimanapun juga kaum Syi’ah berdalil dari sumber hukum yang sama dengan kaum Sunni,yakni hukum syara’.Kaum Syi’ah dalam wudhu bersandar - ketika menyapu kaki- pada firman Allah : ( ( ) ) yang dibaca “majrur” atau”kasrah”, karena menurut pemahaman mereka lafadz ( ( ) ) ,yakni ( ( ) ). Atas dasar pemahaman itu, mereka berkesimpulan : Sesungguhnya Allah s.w.t. telah membagi anggauta wudhu menjadi dua bagian; dua di antaranya dicuci, yaitu muka dan kedua tangan sampai dengan kedua sikutnya; lalu dua di antaranya lagi disapu, yaitu kepala dan kedua kaki sampai dengan kedua matanya. Begitu juga pendapat mereka pun bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Rif’ah, dalam hadits yang mengisahkan orang yang shalatnya tidak baik :
“Maka Nabi s.a.w. bersabda kepadanya : Bahwasanya shalat seseorang di antara kalian belum sempurna sampai dia menyempurnakan wudhu seperti yang Allah Ta’ala perintahkannya, yakni dia mencuci muka dan kedua tangannya, kemudian dia menyapu kepala dan kedua kakinya”.
Selanjutnya mereka bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Ali r.a. yang mengemukakan :
“Bahwasanya dia (Ali ) berwudhu, lalu dia mengambil air dengan kedua telapak tangannya dan menyiramkannya pada kaki yang kanan serta sandal yang di kenakannya, selanjutnya dia meratakannya. Kemudian dia pun melakukan hal yang sama pada kaki yang kiri”.
Begitu juga mereka berpendapat demikian itu, karena didukung oleh argumentasi bahwa kaki adalah anggauta wudhu yang dikecualikan dalam tayammum. Maka dengan demikian, keharusannya hanya disapu saja. Nash syar’i yang menjadi sandaran hukum dalam wudhu memang memungkinkan terjadinya pemahaman seperti yang dipegang oleh kaum Syi’ah, baik menurut bahasa maupun menurut syara’. Oleh karenanya , maka penetapan menyapu pada kaki merupakan penetapan syar’i juga dan hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad kaum Syi’ah merupakan hak penganutnya dan merupakan milik setiap muslim. Begitu juga halnya hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad kaum Sunni.
Kasusnya adalah sama dengan kasus di atas, ketika terjadi silang pendapat mengenai sesuatu di kalangan madzhab-madzhab kaum Sunni itu sendiri. Sebagai contoh : Menurut madzhab Hanafi, sesungguhnya menyentuh perempuan adalah tidak membatalkan wudhu. Sedang menurut madzab Syafi’i hal itu membatalkan wudhu. Maka atas dasar ini, bila seorang laki-laki menyentuh kulit perempuan batallah wudhunya sehingga ia tidak boleh shalat dengan wudhu yang telah batal ini, dan bila ia shalat dengan wudhu tersebut, maka shalat itu tidak sah. Sedang menurut madzhab Hanafi, bila seorang laki-laki menyentuh kulit perempuan tidak membatalkan wudhu, dan kaernanya ia boleh shalat dengan wudhu ini, yakni dengan wudhu yang telah menyentuh perempuan, serta shalat tersebut dianggap sah. Bilamana seorang pengukut madzhab Syafi’I melihat seorang penganut madzhab Hanafi menyentuh perempuan lalu sesudah itu tampil ke depan mengimami shalt, maka sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I ia boleh makmum kepadanya sekalipun sekalipun diketahui bahwa imam tersebut sebelumnya telah batal wudhunya kaerna menyentuh kulit perempuan. Hal ini dikarenakan sebagai seorang pengikut madzhab Hanafi, ia pun telah mengikuti hukum syara’ sebagaimana yang telah dikukuhkan di lingkungan madzhab Hanafi. Maka oleh karenanya, berarti dia (sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I) dianggap telah mengikuti orang yang telah menepati syarat sah shalat sebagaimana telah dikukuhkan oleh dirinya dan oleh madzhab yang dianutnya berdasarkan hukum syara’ degnan benar, sekalipun menurut pandangan dia (sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’I) tidak benar. Hal tersebut haruslah dijadikan landasan. Sebab antara keduanya berdalil dari sumber yang sama: Para penganut madzhab Hanafi berdasarkan pada pendapat bahwa yang dimaksud oleh firman Allah : (( )) adalah “bersetubuh”, sebagaimana telah ditunjukkan oleh firman Allah sebelumnya:
Dalam ayat ini Allah ta’ala melarang kaum mukminin mengerjakan shalat ketika mereka sendang mabuk dan begitu juga Dia telah melarang mereka mengerjakan shalat ketika mereka junub. Kemudian Allah ta’ala menyebutkan contoh yang mengharuskan wudhu, yaitu (( ))= “atau kalian datang dari temapat buang air”)). Begitu juga kemudian Allah Ta’ala menyebutkan contoh yang mengharuskan mandi besar, yaitu: (( ))= “atau kalian telah menyetubuhi perempuan”)). Dan setelah itu Allah Ta’ala menjelaskan, bahwa barang siapa telah melakukan hal tersebut namunt idak mendapatkan air untuk menghilangkan hadats kecil dan hadats besar, maka bertayammumlah. Atas dasar pemahaman seperti ini, maka menurut madzhab Hanafi yang dimaksud dengan firman Allah: (( )) adalah bersetubuh, bukan menyentuh dengan tangan. Mereka memahami ayat ini demikian didukung pula oleh kedits Habib bin Tsabitdari ‘Urwah:
“Sesungguhnya Nabi saw. mencium sebahagian para istrinya, kemudian beliau keluar untuk shalat dan beliau tidak wudhu (lagi)”.
Kemudian diperkuat lagi dengan hadits Aisyah yang mengatakan:
“Aku pernah kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur (kasur). Kamudian aku pun bangun mencarinya, maka (ketika itu) tanganku menyentuh telapak kedua kakinya. Pada waktu beliau telah usai dari shalatnya, bersabdalah: Syaitanmu (tindakan tidak baik) telah medatangimu”.
Berdasarkan hadits ini, niscaya beliau akan memutuskan shalatnya bila kasus tersebut memabatalkan wudhu. Begitu juga pendapat mereka telah didukung oleh hadits yang dikemukakan dalam Shahih Bukhari-Muslim yang diterima dari Aisyah r. a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. ketika sedang shalat sementara dia (Aisyah) berada di antara beliau dengan kiblat. Maka bila beliau hendak sujud beliau pun menyibakkan kakinya (Aisyah), lalu Aisyah pun menangkapnya”.
Begitu juga dalam sebuah riwayat dikemukakan :
“Maka bilamana beliau hendak witir, beliau pun kenyentuh kakiku”.
Nash syar’I yang menjadi sandaran hukum tidak batal wudhu karena menyentuh kulit perempuan memang memungkinkan terjadi pemahaman seperti yang dipegang oleh madzhab Hanafi, baik menurut bahasa maupun merupakan penetapan syar’i juga dan hukum syara’ yang dikukuhkan berdasarkan hasil ijtihad madzhab Hanafi merupakan hak bagi pengikutnya serta merupakan milik setiap muslim. Atas dasar ini , maka shalat makmum kepadanya sah dan shalatnya itu sendiri sah juga. Sebagai kesimpulan maka, seorang Sunni boleh makmum kepada seorang Syi’ah sekalipun pemikiran dan ketetapan hukum yang di ambil keduanya berbeda, begitu juga sebaliknya , seorang Syi’ah boleh makmum kepada seorang Sunni, sebagaimana seorang penganut madzhab Syafi’i boleh makmum kepada seorang penganut madzhab Hanafi, atau sebaliknya sekalipun ketetapan hukum yang diambil oleh kedua belah pihak berbeda.
10. Shalat Qashar :
Saat bepergian shalat boleh diqashar, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut diserang orang-orang kafir”.( Q.S. 4 : 101 ).
Tsa’labah bin Umayah berkata : Aku telah bertanya kepada Umar r.a. tentang firman Allah : ( ( = . . .,mengapa kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut . . .”) ), sedangkan dewasa ini orang-orang telah aman. Umar menjawab : Aku kagum ( heran ) dari apa yang engkau herankan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w. ( tentang firman Allah Ta’ala tersebut ), lalu beliau menjawab :
“Itu adalah sedekah dari Allah untuk kalian , maka terimalah oleh kalian sedekahNya itu “.
Mengqashar shalat pada waktu sedang berpergian adalah lebih afdhal dari shalat biasa, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Imran bin Hashin yang mengatakan :
“Aku berhaji dengan Rasulullah s.a.w. maka beliau shalat dua rakaat. Aku bepergian dengan Abu Bakar maka dia shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Aku bepergian dengan Umar maka dia shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Dan aku bepergian dengan Utsman maka ia pun shalat dua rakaat selama enam tahun. Kemudian dia menyempurnakan ( shalat )di Mina”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan :
“( Sebelum hijrah ) shalat difardukan ( hanya ) dua rakaat, kemudian itu dikukuhkan untuk shalat ketika dalam bepergian dan shalat itu disempurnakan untuk shalat ketika sedang berada di tempat”.
Shalat qashar hanya boleh dilakukan untuk perjalanan yang memakan waktu dua hari, yakni sejauh empat barid,sebagaimana yang dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bin Ibnu Abbas r.a. :
“ Mereka berdua shalat dua rakaat berbuka puasa dalam perjalanan sejauh empat barid dan dalam perjalanan lebih dari itu”.
‘Atha’ pernah bertanya kepada Ibnu Abbas :
“Apakah engkau mengqashar sampai ke Arafah ? Maka dia menjawab : Tidak. Ia bertanya : Sampai ke Mina ? Maka dia menjawab : Tidak, akan tetapi sampai ke Jeddah, ke ‘Usfan, dan ke Thaif”.
Malik berkata :
“Antara Mekkah, Thaif, dan ‘Usfan adalah empat barid”.
Satu barid adalah empat farsakh adalah tiga mil Hasyimi. Satu mil adalah enam ribu sikut. Satu sikut adalah dua puluh empat telunjuk orang menengah. Satu telunjuk adalah enam kali panjang bulu kalde yang berukuran menengah. Inilah ukuran jarak tempuh yang membolehkan shalat diqashar menurut syara’.Bila diukur berdasarkan kilometer adalah sama dengan delapan puluh satu kilometer. Tidak ada perbedaan antara perbedaan antara perjalanan dengan menggunakan pesawat udara, mobil, berjalan atau mengendarai binatang, kerena semua itu sama merupakan bepergian yang membolehkan shalat untuk diqashar. Shalat tidak boleh diqashar bilamana perjalanan yang ditempuh kurang dari seukuran di atas, sebab Nabi s.a.w. pernah pergi ke Baqi’ untuk mengubur seseorang yang meninggal dunia bersama masyarakat umum dan beliau saat itu tidak mengqashar shalat serta tidak pula berbuka puasa. Seandainya semata-mata karena bepergian merupakan satu-satunya agar shalat diqashar, niscaya beliau mengqasharnya. Tidak pula diperbolehkan shalat diqashar kecuali setelah musafir keluar dari daerah kediamannya.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian mengqashar shalat kalian . . .” ( Q. S. 4 : 101 ).
Dalam ayat di atas ternyata mengqashar shalat dihubungkan dengan bepergian di muka bumi. Ini berarti bahwa shalat baru diperbolehkan untuk diqashar ketika musafir telah meninggalkan daerah kediamannya. Selanjutnya shalat tidak boleh diqashar bagi musafir yang makmum kepada yang mukim. Maka jika dia makmum kepada yang mukim dalah salah satu bagian dari shalatnya, kepadanya diharuskan menyempurnakan bagian shalat tersebut seluruhnya.
Apabila seorang musafir bermaksud hendak menetap di suatu daerah, maka seketika itu juga dia bukan lagi sebagai musafir sehingga baginya tidak lagi diperbolehkan mengqashar shalat. Seandainya dia mengubah maksudnya untuk tinggal di daerah tersebut, lalu setelah itu dia pun memperbaharui perjalanannya, maka hal itu di anggap sebagai perjalanan baru. Sedangkan bila dia tidak bermaksud hendak tinggal di sana akan tetapi karena keadaan menghendaki agar tinggal di sana beberapa lama untuk memenuhi hajatnya, maka dia dianggap sebagai musafir, yakni bahwa keberadaan dia di sana tidak dianggap sebagai mukim sekalipun dia tinggal di sana beberapa hari lamanya, baik lama tinggal di sana itu di ketahui maupun tidak, sama saja dia itu tetap dianggap sebagai seorang musafir. Kasus ini seperti orang yang melakukan perjalanan ke Eropa untuk tujuan bisnis, atau ke suatu negara untuk mengetahui situasi dan kondisi pasarnya, atau dengan tujuan untuk berbelanja di sana. Maka orang seperti ini dianggap sebagai musafir, sekalipun ternyata dia tinggal di sana untuk beberapa hari lamanya, baik selama itu dia berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain maupun tetap tinggal di satu daerah, yakni status sebagai musafir tidak hilang dari dirinya, sekalipun dia tinggal di sana beberapa hari lamanya karena dalam keadaan seperti ini dia tidak dianggap sebagai mukim melainkan tatap sebagai musafir yang diperbolehkan selamanya mengqashar shalat karena dia sebagai orang yang dikatagorikan sedang bepergian.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Tamamah bin Syurahbil, dia berkata:
“Aku pergi menemui Ibnu Umar, lalu aku bertanya : Bagaimana shalat musafir itu ? Maka dia menjawab : Dua rakaat-dua rakaat kecuali Maghrib tiga rakaat. Aku bertanya : Apakah engkau tahu, jika kami berada di Dzul Majaz ? Dia bertanya : Apa itu Dzul Majaz ? Aku menjawab : Itu adalah sebuah tempat , di mana kami berkumpul dan berjual beli serta tinggl selama dua puluh atau lima belas malam. Kemudian dia berkata : Wahai Rajul ! Engkau berada di Azarbaijan. Aku tidak tahu ! Dia berkata : Empat atau dua bulan, sehingga engkau menyaksikan mereka shalat dua rakaat-dua rakaat”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin Abu Ishak, dia berkata :
“Aku mendengar Anas berkata : Kami pergi bersama Rasulullah s.a.w. dari Madinah ke Mekkah. Maka beliau shalat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah. Aku bertanya : Apakah kalian mukim di Mekkah untuk beberapa hari lamanya? Dia menjawab : Kami mukim di sana selama sepuluh hari”.
Hadits ini dengan tegas mengemukakan, bahwa Nabi Muhammad s.a.w.mengqashar shalat sejak beliau keluar dari Madinah sampai beliau kembali ke Madinah lagi.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dikemukakan :
“Nabi s.a.w. mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas hari “.
Hadits ini dengan jelas mengatakan , bahwa Rasulullah s.a.w. mengqashar shalatnya selama beliau bermukim.
Dalam hadits yang diriwayatakan dari jabir r.a. dikemukakan :
“Nabi s.a.w. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat”.
Hadits inipun merupakan dalil yang menyatakan , bahwa beliau selalu mengqashar shalatnya selama berada di Tabuk. Ternyata semua hadits menceritahakan hal yang sama, yakni sesungguhnya beliau selalu mengqashar shalatnya pada setiap kali pergi ke Madinah. Ketika beliau bermukim di luar Madinah selama sepuluh hari, beliau mengqashar shalatnya. Ketika beliau bermukim di luar Madinah selama sembilan belas hari, beliau mengqashar shalatnya. Kemudian ketika beliau bermukim di luar Madinah selama dua puluh hari pun, beliau mengqashar shalatnya. Tentang lama beliau bermukim di Mekkah sepuluh hari dan di Tabuk dua puluh hari serta seperti yang dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas hari, semua itu maksudnya bukan ketentuan tentang batasan hari boleh mengqashar shalat melainkan itu semua hanya merupakan penjelasan tentang peristiwa yang pernah dilalui oleh beliau saja karena shalat qashar yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. selama itu tidak menolak atau tidak melarang shalat qashar pada waktu lama tinggal di suatu tempat lebih dari seperti yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas. Hal ini dengan alasan, karena lama tinggal yang dikemukakan dalam masing-masing hadits tersebut berbeda, sehingga salah satu daripadanya tidak bisa dijadikan referensi untuk menentukan batas diperbolehkan mengqashar shalat dan kita pun tidak mendapatkan hadits yasng menentukan lama diperbolehkan mengqashar shalat selama dalam perjalanan. Di samping itu kita pun dari hadits-hadits tersebut mendapat petunjuk, bahwa pelaksanaan shalat qashar itu berkaitan erat dengan tempat mukim musafir, tidak berkaitan dengan jumlah hari dia berada di suatu daerah. Kita dalam hadits Anas r.a. mendapatkan pernyataan :
“Maka beliau shalat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah “.
Dalam hadits Ibnu Abbas kita mendapatkan pernyataan :
“Nabi s.a.w. mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas hari “.
Kemudian dalam hadits Jabar dikemukakan :
“Nabi s.a.w. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar shalat”.
Dalam hadits yang pertama dinyatakan shalat dua rakaat-dua rakaatberkaitan dengan pernyataan “sampai kami kembali ke Madinah dan lamanya mereka tinggal di Mekkah “. Kemudian dalam hadits kedua dan ketiga dikaitkan dengan “qashar”. Penyebutan tentang lama tinggal dan daerah dalam hadits-hadits tersebut hanya sebagai keterangan waktu dan tempat yang dilalui saja, bukan merupakan kaitan antara lama waktu dengan shalat qashar karena diperbolehkan mengqashar selama berada dalam katagori muasfir telah dikukuhkan berdasarkan pengertian yang terkandung dalam hadits-hadits tersebut dan dalam hadits-hadits tersebut tidak didapatkan pengertian, baik secara tekstual maupun konstekstual, bahwa diperbolehkan mengqashar shalat hanya sampai sejumlah hari tertentu saja. Oleh karena itu hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk membatasi lama diperbolehkan mengqashar shalat. Bahkan berdasarkan hadits-hadits tersebut, kita mendapatkan petunjuk bahwa mengqashar shalat diperbolehkan selama seseorang dikatagorikansebagai musafir, sekalipun ia lama sekali meninggalkan tempat tinggalnya dan sekalipun ia lama sekali berada di suatu daerah. Selama ia dikatagorikan musafir ia boleh mengqashar shalat sampai ia kembali berada di daerah tempat tinggalnya atau ia berdomisili untuk menjadi warga di daerah baru. Ketetapan ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. tinggal di Hunain empat puluh hari sambil mengqashar shalat”.
Bepergian itu terhitung saat menunaikan shalat bukan saat tiba waktu keharusan menunaikan shalat, karena yang diperhitungkan dalam shalat itu sendiri adalah tentang cara pelaksanaannya bukan tentang keharusannya. Bilamana waktu shalat Zhuhur talah tiba dan yang bersangkutanpun dapat menyempatkan untuk mengerjakannya, kemudian dia pergi untuk melakukan perjalanan masih dalam kurun waktu shalat Zhuhur, mak baginya diperbolehkanshalt qashar. Begitu juga bilamana waktu shalt Ashar telah tiba, maka baginya diperbolehkan shalat Ashar dengan diqashar. Kemudian bila ia sampai ke tempat tujuan ternyata waktu shalat Ashar masih ada. Maka shalt Ashar yang telah dikerjakannya dengan diqashar tetap dianggap sah karena yang diperhitungkan itu adalah pelaksanaan shalat bukan keharusan menunaikan shalat.
11. Shalat Jama’:
Dalam bepergian yang membolehkan mengaqashar shalat diperbolehkan juga menjama’nya, yakni antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya. Namun demikian, tidak diperbolehkan menjama’ shalat antara Ashar dengan Maghrib dan antara Isya dengan Shubuh serta antara Shubuh dengan Zhuhur.
Ibnu Umar r.a. meriwayatkan:
“Rasulullah saw. bila benar-benar bepergian, maka beliau menjama’ antara (shalat) Maghrib dengan (shalat) Isya”.
Anas r. a. telah meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. menjama’ antara (shalat) Zhuhur dengan (shalat) Ashar”.
Tidak didapatkan sebuah riwayat pun yang mengemukakan bahwa beliau pernah menjama’ shalat selain shalat-shalat di atas, yakni selain shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya. Ketika urusan ibadah itu bersifar “tauqifiyah” yang dibatasi oleh apa adanya sesuai dengan yang telah digariskan oleh nash syar’i, maka shalat ini tidak bisa atau tidak boleh dijama’ selain hanya shalat yang telah ditentukan oleh nash syar’I tersebut saja. Kemudian daripada itu diperbolehkan menjama’ anatara shalt Zhuhur dengan Ashar dan antara shalat Maghrib dengan Isya, baik dengan jama’ taqdim maupun dengan jama’ ta’khir, yakni shalat Ashar digabung dan dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalt Zhuhr dan shalat Isya digabung dan dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalat Maghrib (jama’ taqdim) atau shalat Zhuhur digabung dan dilaksanakan pada waktu shalat Ashar dan shalat Maghrib digabunga dan dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalat Isya (jama’ ta’khir). Hanya saja bila yang bersangkutan saat tiba waktu Zhuhur atau Maghrib masih berada di tempat, maka mengerjakan dengan cara jama’ taqdim dianggap lebih afdhal. Sedang bila ia saat tiba waktu Zhuhur atau Maghrib sudah meninggalkan tempat, maka mengerjakan shalt dengan cara jama’ ta’khir dianggap lebih afdhal.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dikemukakan:
“Apakah tidak sebaiknya kuberitahukan kepada kalian tentang shalat yang Rasulullah saw. saat matahari tergelincir sedangkan beliau masih berada di rumah. (Maka ketika itu) beliau mendahulukan shalat Ashar pada waktu (mengerjakan) shalat Zhuhur dan beliau menjama’ antara keduanya pada waktu matahari telah tergelincir (zawal). Dan bilamana beliau sudah pergi sebelum zawal, maka beliau pun menangguhkan shalat Zhuhur pada waktu (mengerjakan) shalat Ashar, kemudian beliau menjama’ antara keduanya pada waktu Ashar”.
Pada saat mengawali shalat, kepada yang bersangkutan diharapkan niat shalat jama’ dan bilamana jama’ itu adalah jama’ taqdim, maka antara keduanya harus dikerjakan secara berurutan. Bilamana seseorang melakukan shalat dengan cara jama’ taqdim dan ia lebih dahulu sampai ke tampat tujuan lalu bermaksud hendak mukim di sana sebelum waktu kedua tiba, maka jika shalat tersebut telah selesai dikerjakan tetaplah jama’ tersebut sah adanya. Adapun bila ternyata belum dikerjakan, maka shalat tersebut tidak boleh dijama’. Menjama’ shalat ini telah dikukuhkan keabsahannya berdasarkan sunnah Nabi saw. :
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r. a., dia berkata:
“Rasulullah saw. bilamana bepergian sebelum matahari tergelincir, maka nemangguhkan shalat Zhuhur sampai tiba waktu shalat Ashar, kemudian beliau menjama’ antara keduanya. Sedangkan bilamana matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau pun shalat Zhuhur (terlebih dahulu), kemudian beliau menaiki (hewan tunggangannya)”.
Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r. a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana labih awal melakukan perjalanan, maka beliau menangguhkan shalat Zhuhur pada waktu Ashar dan beliau mengangguhkan shalat Masghrib sehingga beliau menjama’ anatara keduanya dan antara shalat Isya sampai mega merah menghilang”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz r. a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. dalam Perang Tabuk bilamana matahari telah condong (tergelincir) sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’ anatara shalat Zhuhur dengan Ashar dan bilmana beliau berangkat sebelum matahari tergelincir, maka beliau menangguhkan shalat Zhuhur sampai beliau singgah untuk shalat Ashar. Dan dalam shalat Maghrib seperti itu, yakni bilamana matahari telah tenggelam sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya dan bilamana beliau berangkat sebelum matahari tenggelam, maka beliau pun menangguhkan shalat Maghrib sampai beliau singgah untuk shalat Isya kemudian beliau menjama’ anatara keduanya”.
Semua hadits di atas adalah hadits-hadits shahih dan merupakan dalil yang sangat jelas, bahwa menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar dan antara shalat Maghrib dengan Isya, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, hukumnya boleh.
Di sini tidak boleh dinyatakan, bahwa Allah Ta’ala telah menentukan waktu khusus untuk setiap shalat, sehingga tidak boleh terjadi shalat dikerjakan sebelum waktunya tiba dan bilamana sampai dikerjakan sebelum waktunya tiba, maka shalat tersebut tidak sah. Begitu juga sesungguhnya shalat tidak boleh ditangguhkan sehingga bilamana sampai dikerjakan setelah waktunya berlalu, maka shalat tersebut hukumnya haram. Dan sesungguhnya waktu-waktu shalat itu telah ditetapkan dengan mutawatir berdasarkan hadits-hadits mutawatir. Sedangkan tentang diperbolehkan menjama’ shalat saat seseorang sedang bepergian ditetappan berdasarkan hadits-hadits ahad. Maka oleh karena itu, tidak boleh sampai terjadi hadits mutawatir ditinggalkan lalu hadits ahad dijadikan pegangan. Persepsi seperti itu tidak boleh sampai terjadi dalam pemikiran kita, karena menjama’ shalat pada waktu seseorang sedang bepergian tidak berarti meninggalkan hadits mutawatir, melainkan hadits mutawatir tersebut dibatasi keuniversalannya oleh hadits ahad, di mana hadits ahad bisa difungsikan untuk membatasi makna umum yang terkandung dalam Al Qur’an dan hadits mutawatir. Waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan berdasarkan hadits mutawatir adalah bersifat umum dan hadits ahad yang membolehkan shalat dijama’, baik taqdim maupun ta’khir. Bagi musafir adalah merupakan pengecualian. Dengan demikian, maka melaksanakan shalat tepat pada waktunya seperti yang telah dikukuhkan oleh hadits mutawatir yang bersifat umum tetap sebagaimana adanya. Begitu juga melaksanakan shalat dengan cara dijama’, baik taqdim maupun ta’khir, bagi musafir adalah merupakan pengecualian yang telah dikukuhkan oleh hadits-hadits shahih yang besifat pengecualian dari hadits mutawatir yang bersifat umum.
Hanya saja menjama’ shalat ini hanya bisa dilakukan pada waktu wuquf di Arafah, saat menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah, ketika bepergian yang menempuh jarak yang memperbolehkan musafir mengqashar shalat, dan kala turun hujan.
Dalil yang menunjukkan, bahwa pada waktu wuquf di Arafah dan menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah boleh menjama’ shalat adalah hadits yang meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah menjama’ shalat ketika beliau berada di Arafah dan di Muzdalifah”.
Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat ketika sedang bepergian, adalah: Sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan diperbolehkannya menjama’ shalat dalam selain karena hujan, semua itu menunjukkan hanya terjadi pada waktu bepergian saja. Hal ini tampak dengan jelas dari ungkapan-ungkapan hadits di atas yang berlainan, yakni: (( = bilamana beliau benar-benar bepergian)), ((= bilamana beliau lebih awal melakukan perjalanan)), dan sebagainya yang kesemuanya itu menunjukkan tentang bepergian. Dalam sebagian riwayat dengan tegas dikemukakan “dalam bepergian “, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriway tkan oleh Ibnu Abbas r.a. :
“Rasulullah s.a.w.dalam suatu perjalanan telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar bila beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau pun menjama’ antara shalat Maghrib dengan shalat Isya”.
Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang diterima dari Nabi s.a.w. dikemukakan :
“Nabi s.a.w. pada waktu bepergian bilamana matahari telah condong (tergelincir) sedang beliau masih berada dirumahnya, maka sebelum beliau menaiki hewan tunggangannya terlebih dahulu beliau menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar. Maka bilamana matahari belum tergelincir sedang beliau masih berada di rumahnya, beliau pun berangkat sampai waktu shalat Ashar tiba, lalu beliau menjama’ antara shalat Zhuihur dengan shalat Ashar. Dan bilamana waktu shalat Maghrib tiba sedang beliau maasih berada di rumahnya, maka beliau manjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya serta bilamana waktu shalat Maghrib belum tiba sedang beliau masih berada di rumahnya, maka beliau pun menaiki hewan tunggangannya sampai ketika waktu shalat Isya tiba, turunlah beliau (dari kendaraannya) lalu menjama’ antara keduanya (Maghrib dan Isya)”.
Semua hadits ini membicarakan tentang shalat jama’ yang dihubungkan atau di latar-belakangi oleh adanya bepergian. Yang dimaksud dengan bepergian di sini adalah bepergian yang membolehkan shalat diqashar karena huruf ( ( ) ) yang ada pada lafadz ( ( ) ) dalam hadits-hadits di atas berfungsi sebagai ( ( ) ), yakni perjalanan yang dijanjikan (ditentukan), yaitu : Perjalanan (bepergian) menurut syara’ yang membolehkan shalat diqashar karenanya.
Adapun dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat karena turun hujan adalah hadits yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Salamah bin Abdurrahman berkata :
“Sesungguhnya menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya ketika hari turun hujan adalah merupakan sunnah (Rasulullah s.a.w.)”. ( H. R. Al Atsram ).
Pernyataan Abu Salamah bin Abdurrahman : ( ( = merupakan sunnah ) ) maksudnya adalah sunnah Rasulullah s.a.w. Dengan demikian , maka pernyataan tersebut dianggap hadits Nabi s.a.w.
Hisyam bin ‘Urwah telah berkata :
“Aku melihat Abban bin Utsman ketika malam turun hujan menjama’ antara dua shalat, Maghrib dan Isya. Maka ikut pula bersamanya mengerjakan kedua shalat tersebut ‘Urwah bin Az Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman , dan Abu Bakar bin Abdurrahman. Sedang mereka tidak mengikari apa yang dilakukannya dan bagi mereka pada masa itu tidak dikenal ada yang menyalahi (menentang ), sehingga hal tersebut menjadi konsensus”. ( Diriwayatkan oleh Al Atsram ).
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. di Madinah ketika turun hujan beliau telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar “.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dikemukakan pula :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah mengerjakan shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan (rakaat), yakni : ( Empat rakaat ) shalat Zhuhur. ( empat rakaat ) shalat Ashar, ( tiga rakaat ) shalat Maghrib, dan ( empat rakaat ) shalat Isya. Maka Ayyub berkata : Kiranya beliau ( menjama’nya) pada malam ketika turun hujan. Dia berkata : Begitulah kiranya”* (H.R. Bukhari).
Pengertian tentang turun hujan seperti yang dikemukakan dalam hadits ini telah dinyatakan pula oleh Imam Malik sesudah dia meriwayatkan hadits tersebut. Semua dalil di atas menunjukkan , bahwa menjama’ shalat, baik taqdim maupun ta’khir, ketika turun hujan hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan hujan di sini adalah semata-mata hujan yang dapat membasahi pakaian, tanpa pertimbangan ; apakah hujan tersebut menimbulkan kesulitan atau tidak, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ shalat ketika turun hujan, sementara antara kamar rumah beliau dengan masjidnya tidak ada apa-apa”.
Begitu juga tanpa pertimbangan ; apakah hujan itu turun ketika yang bersangkutan masih berada di masjid maupun di rumah, baik hujan itu turun saat ia takbiratul ihram maupun hujan tersebut ternyata tidak jadi turun. Hal ini dengan alasan, karena hadits di atas tidak mengemukakan kesulitan sebagai alasan diperbolehkannnya menjama’ shalat sebagai akibat yang ditimbulkannya. Maka oleh karenanya, ketentuan ini bersifat “tauqifi “ dan dengan alasan, karena hujan tersebut apakah turun ketika beliau sedang berada di masjid atau di tempat lain, ternyata tidak didapatkan nash yang mengemukakannya sehingga keumumannya tetap seperti apa adanya. Lebih dari itu, sebagaimana telah ditegaskan :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. menjama’ (shalat ) ketika beliau sedang berada di rumah isteri-isterinya sampai ketika berada di masjid “.
Begitu juga dengan alasan, karena dalam hadits-hadits di atas pun dikemukakan dengan ungkapan : ( ( = hari turun hujan ) ), ( ( = ketika turun hujan) ),dan seperti yang dikatakan oleh Ayyub ( ( = pada malam ketika turun hujan ) ), semua ini maksudnya adalah pada waktu musim penghujan, bukan semata-mata karena hujan benar-benar turun saat takbiratul ihram ( pada waktu shalat sedang dikerjakan ). Selanjutnya dengan alasan, karena penyebab diperbolehkannya menjama’ shalat di sini adalah semata-mata karena adanya alasan yang membolehkan shalat dijama’ seperti halnya bepergian. Maka begitu pula halnya dengan hujan, baik hujan itu menimbulkan kesulitan maupun tidak, baik ketika yang bersangkutan sedang berada di masjid maupun berada di tempat lain.
Adapun selain karena sedang wukuf di Arafah, di Muzdalifah, sedang bepergian, dan karena hujan, maka menjama ‘shalat tidak diperbolehkan dengan mutlak. Alasan-alasan ini tidak boleh dijadikan analogi bagi yang lain dengan alasan adanya kesulitan, karena dalam selain alasan-alasan di atas tidak didapatkan alasan yang membolehkan shalat dijama’ dan dikarenakan sesungguhnya “kesulitan” tidak dikemukakan dalam hadits-hadits tersebut sebagai alasan syar’i sehingga shalat boleh dijama’ karenanya. Analogi tidak berfungsi jika tanpa alasan (‘illat), terutama dalam urusan ibadah, tidak boleh dicari-cari ‘illatnya dan tidak boleh dijadikan analogi. Adapun tentang hadits Ibnu Abbas r.a. yang mengemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar dan antara shalat Maghrib dengan Isya di Madinah tanpa alasan karena takut dan turun hujan “.
Kemudian hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi :
“Rasulullah s.a.w. telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan antara shalt Maghrib dengan shalat Isya. Maka kepada beliau ditanyakan tentang hal itu. Kemudian beliau menjawab : Aku melakukan hal itu agar umatku tidak mendapatkan kesulitan(karenanya) “.
Begitu juga hadits -hadits yang mengemukakan tentang menjama’ shalat dengan mutlak bukan karena bepergian atau karena hujan, maka janganlah kita ini sampai beramal dengan hadits-hadits itu, bukan seharusnya kita meninggalkannya karena hadits-hadits itu berlawanan dengan hadits qath’i yang mutawatir. Sesungguhnya khabar (hadits) ahad bilamana berlawanan dengan Al Qur’an atau dengan hadits mutawatir, maka yang diambil adalah Al Qur’an atau hadits mutawatir serta hendaklah hadits ahad ditolak, karena hadits ahad bersifat zhanni sedang hadits mutawatir bersifat qath’i. Begitu pula halnya bila antara keseluruhannya tidak bisa dipadukan, maka yang bersifat zhanni harus ditolak dan yang bersifat qath’i harus di ambil. Dan ternyata di sini bahwa perihal waktu shalat telah dikukuhkan dengan mutawatir. Dengan demikian, meninggalkan atau tidak mengindahkan waktu shalat seperti yang telah digariskan dengan cara menjama’ shalat, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir karena berpedoman pada khabar ahad yang berlawanan dengan hadits mutawatir adalah tidak diperbolehkan. Hal ini dengan alasan, karena tindakan itu merupakan sikap berpaling dari yang qath’i dan bertumpu pada yang zhanni. Di sini jangan sampai dikatakan : Sesungguhnya zhanni diperbolehkan hanya untuk suatu hajat atau karena suatu halangan, boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan dengan alasan, karena hadits-hadits yang membolehkan menjama’ shalat selain karena bepergian dan karena hujan bersifat mutlak, tidak terikat oleh sesuatu. Kemudian apabila terikat oleh suatu hajat tertentu atau oleh hal yang lain, sudah barang tentu hajat itu bersifat khusus dan pasti diambilnya seperti halnya karena bepergian, umpamanya. Akan tetapi nash hadits-hadits tersebut ternyata bersifat mutlak (umum), sehingga oleh karenanya kita tidak boleh menambah sesuatu apapun ke dalamnya yang berasal dari diri kita atau suatu batasan yang tidak dikemukakan oleh nash sehingga kita pun tetap membiarkan hadits-hadits tersebut bersifat mutlak sebagaimana adanya. Di samping hadits-hadits di atas itu bersifat mutlak ternyata hadits-hadits yang mengemukakan tentang pembagian waktu shalat yang bersifat mutawatir itu pun adalah mutlak juga, sehingga keduanya berlawanan serta menyatukannya juga tidak bisa dilakukan, maka dalam keadaan seperti ini yang harus dijadikan pegangan adalah hadits-hadits mutawatir saja dan hadits-hadits yang membolehkan shalat dijama’ bukan karena bepergian atau bukan karena hujan tidak boleh tidak harus ditinggalkan.
Bagi musafir selamanya boleh menjama’ shalat sekalipun ia bepergian untuk jangka waktu lama. Namun bila ia berdomisili di suatu daerah, hendaklah diperhatikan : Apabila ia memutuskan untuk dijadikan daerah itu sebagai tempat tinggalnya, terputuslah statusnya sebagai seorang musafir sehingga ia tidak lagi diperbolehkan menjama’ shalatnya. Hal ini seperti orang yang pergi dari kota Al Quds ke Riyadh, lalu dijadikannya sebagai tempat tinggal karena ia bekerja di sana. Maka begitu ia sampai di Riyadh seketika itu juga lepaslah statusnya sebagai musafir, sehingga ia pun tidak lagi diperbolehkan menjama’ shalat. Adapun jika ia tidak menjadikannya sebagai tempat tinggal walau dalam kenyataannya ia tinggal di sana karena memang pekerjaan, seperti bisnis dan sejenisnya, menghendaki agar ia berada di sana, maka baginya boleh menjama’ shalat sekalipun ia berada di Riyadh untuk jangka waktu yang lama, yakni sampai ia kembali ke kota Al Quds sebagai tempat tinggalnya.
12. Shalat Qadha :
Menangguhkan shalat sampai habis waktunya dengan sengaja tanpa ada halangan yang dibenarkan oleh syara’ hukumnya haram dengan qath’i berdasarkan nash Al Qur’an :
Firman Allah Ta’ala :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, ( yaitu ) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (Q. S. 107 : 4 - 5 ).
Firman Allah Ta’ala :
“Maka datanglah sesudah mereka , pengganti ( yang jelek ) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” ( Q. S. 19 : 59 ).
Ketetapan inipun dikukuhkan oleh pengertian hadits-hadits mutawatir yang menjelaskan tentang waktu shalat. Allah s.w.t. telah menentukan bagi setiap shalat fardu waktu tersebut dari dua sisi ; waktu tertentu saat shalat dikerjakan ; dan waktu tertentu saat shalat dianggap tidak sah sekalipun dikerjakan.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Barang siapa melalaikan shalat Ashar, seolah-olah ia telah merelakan keluarga dan hartanya pincang “.
Sabda Rasulullah s.a.w. tentang menta’khirkan shalat dari waktunya :
“Bukan dalam tidur kekurangan itu ( terjadi ) melainkan dalam bangun”.
Sedangkan melalaikan shalat dikarenakan ada udzur syar’i sebagaimana yang telah dikemukakan oleh nash syar’i, maka bagi yang bersangkutan tidak berdosa. Orang yang mendapat keringanan seperti ini, yaitu orang yang lupa, orang yang ketiduran, dan orang yang tidak dapat mengerjakan shalat karena tidak mendapatkan air atau tanaha untuk bersuci (wudhu).
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Barangsiapa tidak shalat karena tidur atau karena lupa , maka shalatlah ketika ia ingat “.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Barangsiapa seseorang di antara kalian tidak shalat karena tidur atau karena lupa , maka shalatlah ketika ia ingat”.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Bilamana kalian diperintah (untuk mengerjakan ) sesuatu, maka laksanakanlah hal itu sedapat mungkin”.
Makna dari hadits ini, yaitu : Bahwa apa yang benar-benar tidak dapat kita lakukan, maka kita pun tidak dituntut agar melakukannya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”( ( Q. S. 2 : 286 )
Barangsiapa meninggalkan shalat fardu baik karena udzur maupun karena tanpa udzur, maka ia harus mengqahdanya karena semata-mata mengqadha shalat telah dikukuhkan oleh hadits shahih.
“Kami pernah bepergian bersama Nabi s.a.w. dan kami berjalan di malam hari sampai ujung malam (larut malam) , sehingga kami tertidur dengan nyenyak dan (kiranya) bagi seorang musafir tidak ada tidur senyenyak itu. Maka kami pun tidak bangun melainkan karena panas matahari. Kemudian ketika Nabi s.a.w. bangun, mereka mengadukan apa yang telah terjadi menimpa mereka, lalu beliau bersabda : Tidak bahaya dan tidak membahayakan, berangkatlah kalian ! Maka mereka pun berangkat. Kemudian beliau juga berangkat (menuju tempat ) yang tidak begitu jauh, lalu berhenti dan meminta air untuk wudhu. Maka berwudhulah beliau dan dikumandangkan pula panggilan untuk shalat, sehingga beliau shalat dengan (mengimami) orang-orang”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. dikemukakan
“Sesungguhnya Umar bin Khaththab r.a. pada waktu perang Khandaq dia baru tiba (bergabung kepada satuannya ) setelah matahari tenggelam karena dia (terlena) memaki kaum kuffar Quraisy. Dan (setelah itu) ia berkata : Ya Rasulullah ! Hampir saja aku tidak shalat Ashar, sehingga matahari pun hampir tenggelam. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Demi Allah ! Aku pun belum mengerjakan shalat Ashar. Maka kami pergi ke tempat yang luas dan beliau pun wudhu untuk shalat, lalu kami juga wudhu untuk shalat. Sesudah itu beliau shalat Ashar sesudah matahari terbenam baru kemudian beliau shalat Maghrib”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a. dikemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : Barangsiapa lupa akan shalat, maka shalatlah ketika dia teringat. Tidak ada tebusan baginya kecuali dengan shalat lagi”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’ad r.a. dikemukakan :
“Pada waktu perang Khandak kami tertahan dari mengerjakan shalat sehingga kami baru menghindar sesudah Maghrib, ketika malam mulai beranjak gelap. Dan hal itu sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah : ( Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan . Dan Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa ).Dan berkata : Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil Bilal (agar menyeru orang-orang untuk shalat), lalu dia iqomah Zhuhur dan beliau pun shalat Zhuhur serta membaguskannya sama seperti ketika beliau mengerjakan shalat Ashar pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh dia agar iqomah Maghrib dan beliau pun shalat Maghrib”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w. dikemukakan :
“Bahwasanya ketika seorang budak perempuan dari kaum Khats’amiah bertanya kepadanya dengan kata-kata : Ya Rasulullah , sesungguhnya ayahku mendapatkan keharusan berhaji dalam keadaaan sudah sangat lanjut usia, sehingga dia tidak lagi kuasa untuk berhaji. Apakah bila aku berhaji atas namanya , hal itu bermanfaat baginya ? Maka beliau menjawabnya : Tahukan engkau apakah bila ayahmu berutang lalu engkau melunasinya, bukankah hal itu bermanfaat baginya ? Dia berkata : Ya ! Beliau bersabda : Maka oleh karena itu, utang kepada Allah sudah barang tentu lebih berhak untuk dibayar”.
13. Shalat Orang Sakit
Pada waktu seseorang sudah tidak kuasa lagi mengerjakan shalat walau hanya dengan memberi isyarat, maka padanya tidak lagi diwajibkan shalat karena tidak didapatkan nash yang mewajibkan apapun sesudah itu. Sama dengan orang yang tidak kuasa beridiri, kepada orang yang menemukan kesulitan untuk berdiri atau dapat menimbulkan penyakitnya bertambah parah bila ia berdiri tidak diharuskan shalat sambil berdiri.
Dalam sebuahhadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a. dikemukakan:
“Rasulullah saw. pernah terjatuh dari kuda sehingga beliau terluka atau terkilir betis kaki kanannya. Maka kamipun datang untuk menjenguknya, lalu saat shalat pun tiba sehingga beliau shalat sambil duduk dan kami juga shalat dibelakangnya sambil duduk”.
Saat itu luka yang dirasa oleh Rasulullah saw. tidak sampai membuat beliau tidak kuasa berdiri, tetapi telah membuatnya menemui kesulitan untuk berdiri sehingga beliau shalat sambil duduk. Hal ini merupakan dalil, bahwa semata-mata ditemukan kesulitan dalam beridiri maka shalat fardhu doleh dikerjakan sambil duduk.
14. Shalat Jum’at:
Shalat Jum’at hukumnya fardu ‘ain atas setiap kaum muslimin, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk mengerjakan shalat pada hari Jum’at, maka bergegaslah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (QS. 62: 9)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thariq bin Syibab dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: (Shalat) Jum’at adalah hak kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah, kecuali kepada yang empat: Hamba sahaya, perempuan, anaka kecil, dan orang sakit”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Hafshah r.a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Pergi (untuk mengerjakan shalat) Jum’at adalah wajib atas setiap orang yang telah mimpi bersetubuh”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r. a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda: Barangsiapa meninggalkan (shalat) Jum’at tiga kali tanpa alasan, maka hatinya tertutup”.
Shalat Jum’at pertama kali difardukan di Madinah ketika ayat tentang shalat Jum’at diturunkan, sehingga surah Al Jumu’ah termasuk ke dalam ayat-ayat (surah-surah) Madaniah.
Adapun tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abdun bin Hamid dan Abdurrazaq dari Muhammad bin Sirin telah berkata:
“Penduduk Madinah telah berkumpul sebelum Nabi saw. tiba dan sebelum surah Al Jumu’ah diturunkan. Kemudian kaum Anshar berkata kepada orang-orang Yahudi peda hari di mana setiap minggu mereka berkumpul dan kepada orang-orang Nashrani pun begitu juga, lalu marilah kita juga mengadakan suatu hari di mana kita pun pada hari itu pun kita berkumpul mengingat untuk Allah Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya. Maka mereka menjadikannya sebagai hari “Arubah” dan mereka pun berkumpul di As’ad bin Zararah, lalu tida saat itu shalat dua rakaat sambil mengimami mereka dan mengingatkannya. Kedmudian mereka menamai hari saat mereka berkumpul di As’ad bin Zararah dengan hari Jum’at dan As’ad juga menyembelih seekor kambing untuk mereka, sehingga mereka pun makan pagi dan makan malam daripadanya. Maka saat itu Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang Jum’at sesudah ayat: (Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at… al ayah)”.
Beigitu juga tentang hadits Ka’ab dan hadits-hadits lain yang menyebutkan mula pertama shlat Jum’at disyari’atkan dalam Islam yang terjadi di rumah As’ad bin Zararah di mana Mush’ab juga ikut serta melaksanakan shalatnya, maka semua hadits tersebut adalah hadits-hadits ahad yang bersifat zhanni dan berlawanan dengan nash yang bersifat qath’I, yakni ayat tentang shalat Jum’at yang tergolong ke dalam ayat-ayat Madaniah yang diturunkan langsung di Madinah dan keharusan melaksanakan shalt Jum’at juga terjadi di Madinah. Oleh karena itu, maka dimungkinkan hadits-hadits di atas bahwa Nabi saw. pernah meminta kepada mereka agar mengerjakan shalat sunat dua rakaat. Hal ini berdasarkan petunjuk yang tampak dengan jelas sebagaimana dikemuakkan dalam sebahagian riwayat:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah menyuruh Mush’ab bin ‘Umair seraya bersabda kepadanya: Bilamana hari telah condong dari garis tengahnya, ketika matahari telah tergelincir, dari hari Jum’at, maka bertaqarrublah kalian kepada Allah Ta’ala dengan (mengerjakan shalat) dua rakaat”.
Maka makna yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw. (( = bertaqarrublah kelaian kepada Allah Ta’ala)) tidak menunjukkan bahwa perintah tersebut sebagai fardu melainkan hanya sunat saja sehingga dalil qath’I, yakni kedudukan ayat tentang shalat Jum’at dikukuhkan sebagai firman Allah yang diturunkan di Madinah sebagai dalil bahwa shalat Jum’at hukumnya fardu, adalah merupakan dalil yang menunjukkan sesungguhnya shalat Jum’at itu difardukan di Madinah. Sedang yang yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala (( = apabila diseru)) adalah: “Bila dikumandangkan adzan” karena yang dimaksud dengan seruan dalam ayat tersebut tidak lain adalah adzan, yakni adzan saat imam telah naik ke atas mimbah untuk berkhutbah di mana pada masa Nabi saw. beliau mempunyai seorang muadzdzin, lalu katika beliau duduk di atas mimbah muadzdzinnya (Bilal r. a.) segera adzan pada pintu Masjid Nabawi dan ketika beliau turundari mimbar seusai khutbah maka dia pun segera iqamah untuk mengerjakan shalat Jum’at. Kemudian pada masa Abu Bakar dan Umar r.a. juga tata tertib ibadah Jum’at pun sama seperti yang dilaksanakan pada masa Nabi saw. Baru tata tertib itu mengalami perubahan pada masa Utsman di mana jumlah masyarakat bertambah banyak dan rumah-rumah pun berjauhan, sehingga adzan dikumandangkan dua kali; pertama dikumandangkan di rumah Utsman yang diberi nama “Az Zuara” dan kedua ketika Utsman telah naik mimbar, kemudian dikukandangkan iqamah bila dia turun dari mimbar seusai berkhutbah. Kasus ini dilakukannya dengan disaksikan dan diikuti oleh para shahabat Nabi saw. namun mereka diam saja padahal seharusnya bila hal tersebut dianggap menyimpang niscaya akan dikemukakannya. Maka sikap diam mereka itu adalah sebagai konsensus (ijma’) dan ijma’ ini adalah merupakan salah satu dalil syara’ dalam ibadah, muamalah, hukuman (‘iqab), dan seluruh hukum syara’.
Shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada anak kecil, orang gila, hamba sahaya, perempuan, orang sakit, orang ketakutan dan musafir. Sedangkan kepada selain mereka, shalat Jum’at hukumnya fardu ‘ain. Alasan shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada anak kecil dan orang gila, karena mereka berdua itu tidak dikenai beban syar’I sehingga oleh karenanya shalat Jum’at pun tidak wajib bagi mereka begitu juga shalat-shalat fardu yang lain. Alasan shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada hamba sahaya, perempuan dan orang sakit, karena mereka adalah orang-orang yang dikecualikan sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits Thariq di atas, yakni:
“Sesungguhnya Nabis aw. Telah bersabda: (Shalat) Jum’at adalah hak dan kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah, kecuali keapada yang empat: Hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang sakit”.
Alasan shalat Jum’at tidak diwajibakan kepada orang ketakutan, karena orang ini adalah orang yang dikecualikan sebagaimana telah ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Barang siapa mendengar seruan (adzan) lalu tidak menyambutnya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada udzur. Mereka (para shahabat) bertanya: Ya Rasulallah ! Udzur apakah ini? Beliau menjawab: Takut atau sakit”.
Adapun dalil yang meniadakan wajiba shalat Jumat bagi musafir adalah hadits yang diriwayatkan dari Az Zuhri yang mengisahkan tentang dirinya ketika bermaksud hendakbepergian di pagi hari (saat untuk mengerjakan shalat dhuha) pada hari Jum’at, lalu hal itu ditanyakan kepadanya. Maka dia menjawab:
“Sesungguhnya nabi saw. juga pernah bepergian pada hari Jum’at”.
Dalam hadits lain diriwayatkan:
“Nabi saw pada waktu menunaikan haji wada’, pada waktu beliau wuquf di arafah, yang bertepatan dengan hari Jum’at belaiu hanya mengerjakan shalat dzuhur dan ashar dengan jama’ taqdim serta beliau tidak mengerjakan shalat Jum’at”.
Jabir r.a. dalam salah satu hadits yang diriwayatkannya berkata:
“Rasulullah saw. telah bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka kepadanya harus mengerjakan shalat kecuali bagi perempuan, atau musaffir, atau hamba sahaya, atau orang sakit”.
Jabir bin Manshur meriwayatkan:
“Sesungguhnya Abu Ubaidah pernah bepergian pada hari Jum’at dan dia tidak menunggu shalat (Jum’at)”.
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a. bahasanya dia melihat seorang laki-laki sedang bepergian, lalu dia mendengarnya berkata:
“Seandainya hari ini bukan hari Jum’at niscaya aku keluar. Maka Umar pun berkata: Berangkatlah, karena hari Jum’at (shalat Jum’at) tidak menahanmu untuk bepergian”.
Mereka semuanya adalah orang-orang yang dikecualikan dari keharusan mengerjakan ibadah (shalat) Jum’at berdasarkan beberapa nash yang telah dikemukakan di atas. Sedangkan selain mereka tidak didapatkan nash yang mengecualikannya, sehingga shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain atas mereka. Beberapa udzur syar’i tersebut tidak bisa dijadikan analogi ( qias ) sebab udzur syar’i adalah nash syara’ yang bersifat khusus bagi kasus tertentu, ibadah-ibadah yang lain tidak bisa diqiaskan kepadanya karena dalam-ibadah tersebut tidak ditemukan nash syara’ yang menjadi ‘illat sehingga qias (analogi) bisa diterapkan dalam ibadah-ibadah tersebut. Bagi orang yang tidak dikenai keharusan ibadah shalat Jum’at boleh memilih antara mengerjakan shalat Zhuhur dengan shalat Jum’at, maka bila ia memilih untuk mengerjakan shalat Jum’at kepadanya tidak wajib shalat Zhuhur lagi karena shalat Jum’at sudah cukup baginya. Kemudian daripada itu disunatkan baginya tidak tergesa-gesa mengerjakan shalat Zhuhur sampai diketahuinya bahwa pelaksanaan shalat Jum’at telah berlalu, sekalipun bila sampai shalat Zhuhur dilaksankan sebelumnya tetap diperbolehkan. Sedangkan kepada orang yang diharuskan melaksanakan ibadah shalat Jum’at, maka kepadanya tidak dibenarkan shalat Zhuhur sebelum pelaksanaan shalat Jum’at telah berlalu karena bila sampai shalat Zhuhur dikerjakan sebelumnya, maka shalatnya dianggap tidak sah sebab yang bersangkutan adalah orang yang diseru harus mengerjakan shlat Jum’at bukan mengerjakan shalat Zhuhur dan dia itu tidak diseru untuk mengerjakan shalat Zhuhur melainkan sesudah pelaksanaan shalat Jum’at telah berlalu.
Disyaratkan pelaksanaan shalat Jum’at diikuti oleh beberapa orang yang diseru wajib melaksanakannya. Para sahabat telah sepakat bahwa pelaksanaan shalat Jum’at ini tidak boleh tidak harus diikuti oleh beberapa orang. Akan tetapi tidak disyaratkan dalam jumlah tertentu; berapa pun sudah dianggap memenuhi syarat selama jumlah itu dianggap sudah memenuhi kriteria shalat Jum’at, karena pelaksanaan shalat Jum’ah harus dengan berjamaah, telah dikukuhkan dalam hadits Thariq r.a. di atas, yakni :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : (Shalat) Jum’ah adalah hak dan kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah . . .”.
Begitu juga karena keharusan diikuti oleh beberapa orang telah digariskan oleh konsensus para sahabat Rasul. Adapun tentang ketentuan jumlah jamaahnya, maka hal ini terpulang pada pengertian nash yang mu’tabar tentang jumlah jamaah tidak bisa diterima sebagai hadits shahih. Sedangkan hadits Abdurrahman bin Ka’ab yangmengisahkan tentang kaum muslimin yang mengerjakan shalat di rumahnya As’ad bin Zarrah bersama Mush’ab bin ‘Umair di mana dalam hadits tersebut di kisahkan bahwa ia bertanya : “Berapa jumlah kalian pada waktu itu ?” Kemudian ia menjawab : “Empat puluh orang “. Selanjutnya mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani dari Ibnu Abbas yang mengemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah berkirim surat kepada para sahabatnya di Madinah seraya menyuruh mereka agar berjamaah, sehingga mereka pun berjamaah dan disepakati bahwa jumlah mereka itu sebanyak Empat puluh orang “.
Maka sesungguhnya hal ini bukan merupakan dalil bahwa jumlah sebanyak itu merupakan syarat sah shalat Jum’at, karena hal ini merupakan peristiwa insidentil dan peristiwa insidentil tidak bisa dijadikan argumentasi untuk hal yang bersifat umum atau dengan kata lain, tidak bisa digenarilisasikan, yakni peristiwa khusus tidak bisa digeneralisasikan. Maka oleh karennya, kasus tersebut bukan merupakan dalil yang menunjukkan bahwa jumlah sebanyak itu adalah syarat sah shalat Jum’at sekalipun disepakati bahwa jumlah jamaah saat shalat di hari Jum’ah pada waktu itu dikuti oleh empat puluh orang, namun demikian hal itu tidak dimaksudkan saat mengerjakan shalat Jum’at seperti yang dilaksanakan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah. Bahkan lebih dari itu ternyata shalat Jum’at belum disyari’atkan, karena shalat Jum’at baru diundangkan sesudah beliau hijrah ke Madinah. Atas dasar ini, maka maksud dari hadits itu tidak bisa diterima sebagai ketentuan tentang jumlah minimal jamaah shalat Jum’at. Sekalipun memang shalat Jum’at harus diselenggarakan dengan berjamaah, namun hal itu sudah dianggap cukup bila diikuti oleh tiga jamaah atau lebih. Sedangkan apabila hanya dilakukan oleh dua orang saja, maka hal ini dianggap tidak sah karena dua orang tidak dikatagorikan sebagai jamaah, sehingga oleh karennya tidak boleh tidak harus diikuti oleh tiga orang yang diseru harus menjalankan shalat Jum’at agar shalat tersebut manjadi sah adanya. Apabila kurang dari tiga, maka shalat Jum’at pun tidak sah dan tidak bisa dikatakan shalat Jum’at kerana tidak mencapai jumlah bilangan minimal yang ditentukan. Telah menjadi konsensus bahwa shalat Jum’at harus diikuti oleh sejumlah orang.
Shalat Jum’at bisa dilaksanakan di kota, di kampung, di masjid, di gedung, dan lapangan terbuka yang masih menginduk ke gedung tersebut. Hal ini berdasarkan pada sunah, yakni bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. shalat Jum’at di Madinah.
Kemudian berdasrkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan :
“Jum’at pertama kali yang aku ikuti sesudah (shalat Jum’at diundangkan) adalah shalat Jum’at yang dilaksanakan di Masjid Rasulullah s.a.w. (Masjid Nabawi) dan di Masjid Abdu Qais di Juwai, ) di Bahrain”.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan :
“Bahwasanya ia pernah berkirim surat kepada Umar menyakan tentang shalat Jum’at di Bahrain di mana (saat itu) ia adalah sebagai Wali di sana. Maka Umar membalasknya : Berhimpunlah kalian di mana kalian terada”.
Sedangkan tentang hadits Nabi s.a.w. yang meriwayatkan :
“Bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda : Tidak sah shalat Jum’at ( ?) kecuali di masjid jami”,
maka sesungguhnya hadits ini bukan hadits shahih. Imam Ahmad berpendapat : Ini bukan hadits. Adapun bila dilaksanakan di termpat terbuka, maka sejauh ini tidak didapatkan nash yang mensyaratkannya, sedang shalat Jum’at itu adalah sama dengan shalat-shalat yang lain, yakni menghendaki agar dilaksanakan sesuai dengan syarat-syaratnya. Maka bila dalam shalat Jum’at tersebut ada syarat khusus di luar syarat yang berlaku bagi umum yang menuntut harus dilaksanakannya, maka tidak boleh tidak syarat itu harus ada nash yang mengemukakannya.
Shalat Jum’at boleh dilaksanakan di satu kampung secara berulang-ulang, sehingga oleh karenanya bila suatu kampung adalah merupakan kampung yang luas di sana didirikan beberapa masjid tanpa harus mempertimbangkan ; apakah kampung tersebut membutuhkannya atau tidak. Hal ini dengan alasan, karena tidak ditemukan nash, baik yang menyangkut tentang tidak adanya shalat Jum’at dilaksanakan secara berulang-ulang, atau suatu kampung membutuhkan beberapa masjid maupun tidak membutuhkannya. Dengan demikian, maka sifat mutlak yang ada pada nash tentang shalat Jum’at tetap pada kemutlakannya. Adapun tentang Nabi s.a.w. yang ternyata tidak pernah mengerjakan shalat Jum’at kecuali di satu masjid, maka ini bukan merupakan dilil tidak boleh melaksanakannya di masjid lain karena ketiadaan Rasulullah s.a.w. melakukan sesuatu bukan merupakan dalil tidak boleh melakukannya. Hal ini hanya dikarenakan kebetulan masjid beliau itu cuma satu sehingga beliau pun hanya shalat Jum’at disana saja. Oleh karena itu keadaan ini bukan merupakan dalil bahwa beliau tidak bermaksud shalat di masjid lain.
Shalat Jum’at baru dikatakan sah bilamana dilaksanakan sesudah waktu Zhuhur tiba, karena shalat Jum’at adalah fardu yang harus dikerjakan dalam satu waktu sebagaimana dikemukakan dalam hadits Jabir r.a. :
“Maka beliau( Nabi s.a.w.) shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir”.
Dalam hadits Salmah bin Al Akhwa’ , dia berkata :
“Kami melaksanakan shalat Jum’at bersama Rasulullah s.a.w. bilamana matahari telah tergelincir”.
Shalat Jum’at tidak sah bila tanpa diawali oleh dua khutbah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah s.a.w. pada hari Jum’at (saat melaksanakan ibadah Jum’at) berkhutbah dengan dua khutbah dan membuat pemisah di antara keduanya dengan duduk (sebentar)”.
Syarat-syarat khutbah dua, yaitu berdiri bagi yang kuasa dan memisahkan di antara keduanya dengan duduk sebentar, sebagaimana dikemkukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samrah :
“Rasulullah s.a.w. berkhutbah sambil berdiri kemudian beliau duduk lalu berdiri ( lagi ) dan membaca beberapa ayat (Al Qur’an) serta menyebut Allah Ta’ala (berdzikir)”.
Kedua khutbah tersebut harus terdiri dari bacaan Al Qur’an, dzikir, pujian dan sanjungan kepada Allah,wasiat ketaqwaan atau nasihat, dan bahasan tentang aspek atau keberadaan kaum muslimin, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diiriwayatkan oleh Jabir bin Samrah di atas dan sebagaimana dikemukakan dalam hadits lain yang masih diriwayatkan oleh Jabir, yakni :
“Sesungguhnya Nabi s.aw. berkhutbah pada hari Jum’at. Maka beliau memanjatkan puji syukur kepada Allah Ta’ala dan menyanjung-Nya, kemudian sesudah itu beliau dengan meninggikan nada suaranya dan dengan menampakkan diri bagai orang marah besar sehingga pipinya pun memerah seolah-olah beliau seorang komandan prajurit yang sedang memberi aba-aba pasukannya seraya bersabda : Aku ini diutus sedang (saat tiba) hari kiamat seperti kedua ini, beliau memberi isyarat dengan jari tengah dan jari sesudahnya (jari manis). Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya percakapan yang paling afdol adalah Kitab Allah (Al Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk yang disampaikan oleh Muhammad serta seburuk-buruk urusan adalah urusan yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat. Barangsiapa meninggalkan harta, maka harta itu bagi ahli warisnya dan barangsiapa meninnggalkan utang atau keluarga, maka datanglah kepadaku”.
Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man r.a. ) dia berkata :
“Tidaklah aku ini mengambil ( ( ) ) melainkan dari lisan Rasulullah s.a.w. yang beliau bacanya setiap Jum’at di atas mimbar”.
Disunatkan khutbah Jum’at dilaksanakan di atas mimbar, karena Nabi s.a.w. juga melakukannya di atas mimbar dan khatib duduk di atas tangga sebelum tempat istirahat, karena Nabi s.a.w. duduk padanya. Selanjutnya bagi khatib disunatkan bertumpu pada panah atau tongkat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim bin Huzn r.a. dia berkata :
“Aku diutus menghadap Nabi s.a.w. Maka (ketika itu) kami menyaksikan bersamanya Jum’at, di mana beliau bertumpu pada panah atau tongkat dan beliau memuji Allah serta menyanjung-Nya dengan beberapa kalimat ringan yang baik-baik, dan penuh berkat “.
Disunatkan pula bagi khatib meninggikan suaranya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Jabir di atas, yakni :
“. . . kemudian sesudah itu beliau dengan meninggikan suaranya dan dengan menampakkan diri bagai orang marah besar”.
Di sunatkan lagi bagi khatib berkhutbah dengan singkat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Utsman r.a. :
“Bahwasanya dia berkhutbah dengan singkat, maka dikemukakan (saran) kepadanya : (Akan lebih baik) sekiranya engkau (berkhutbah) lebih panjang. Kemudian dia berkata: Aku mendengar Nabi s.a.w. bersabda : Khutbah seseorang dengan singkat adalah terpuji dan sebagai dalil akan kedalaman ilmu agamanya.Maka lamakanlah shalat dan persingkatlah khutbah oleh kalian”.
Shalat Jum’at sama halnya dengan shalat Zhuhur hanya saja shalat Zhuhur empat rakaat sedang shalat Jum’at dua rakaat, sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a. di mana ia berkata :
“Shalat ‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, dan shalat Jum’at dua rakaat dengan utuh tanpa di qashar berdasarkan sabda Nabi kalian s.a.w. Dan merugilah orang yang mengada-ada “.
Disunatakan pada rakaat pertama sesudah membaca Al Fatihah membaca surah Al Jumu’ah dan pada rakaat kedua membaca surah Al Munafiqun, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abu Rafi’ yang mengatakan :
“Marwan telah mengangkat Abu Hurairah untuk Madinah. Maka dia mengimami orang-orang dalam shalat Jum’at, lalu dia membaca surah Al Jumu’ah dan surah Al Munafiqun. Kemudian aku bertanya : Wahai Abu Hurairah, engkau telah membaca dua surah dan aku juga telah mendengar Ali r.a. membaca kedua surah tersebut. Dia pun lalu berkata : Aku telah mendengar kekasihku, Abu Al Qasim, s.a.w. membaca kedua surah tersebut”.
Barangsiapa masuk ke masjid dan ia mendapatkan imam sedang shalat Jum’at, maka hendaklah ia langsung takbiratul ihram untuk berjamaah. Bilamana imam saat itu ruku’ untuk rakaat kedua, maka ia dianggap masih mendapatkan shalat Jum’at. Selanjutnya ketika imam membaca salam, hendaklah ia berdiri untuk menyempurnakannya. Sedang bilamana ia tidak lagi mendapatkan ruku’ (tidak lagi menyertai ruku’) imam, berarti ia tidak lagi mendapatkan shalat Jum’at, sehingga ketika imama membaca salam kepadanya diharuskan berdiri untuk melanjutkan shalatnya seperti halnya shalat Zhuhur.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dikemukakan :
“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Barangsiapa masih mendapatkan ruku’ dari rakaat terakhir pada hari Jum’at, maka tambahkanlah rakaat lain padanya. Dan barangsiapa tidak lagi mendapatkan ruku’, maka hendaklah ia menyempurnakannya dengan shalat Zhuhur empat (rakaat )”.
Bilamana seseorang tidak dapat sujud di atas lantai dikarenakan sangat berdesak-desakan, maka sujudlah pada punggung orang bila hal ini memungkinkan, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a. yang mengatakan :
Apabila sangat berdesak-desakan, maka sujudlah seseorang di antara kalian pada punggung saudaranya”.
15. Shalat Hari Raya :
Shalat hari raya, yakni shalat ‘Idul Fitri dan shalat ‘Idul Adha, adalah sunat karena kedua shalat tersebut dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. :
“Sesungguhnya mereka (kaum muslimin) pernah kehujanan pada saat hari raya. Namun demikian Rasulullah s.a.w. tetap mengimami mereka shalat ‘Id di masjid (Nabawi)”.
Akan tetapi sekalipun demikian tidak ditemukan petunjuk, bahwa shalat ‘Id hukumnya wajib. Waktu melaksanakan shalat ‘Id ini adalah pada waktu di antara matahari terbit sampai tergelincir dan dikerjakan tanpa di awali adzan dan iqamah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah s.a.w., Abu Bakar, dan Umar, mereka melaksanakan shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha sebelum khutbah”.
Apabila masjid kampung (masjid jami ) terlalu sempit untuk menyelenggarakan shalat hari raya, maka disunatkan terselenggara di lapangan terbuka, sebagaimana diriwayatkan dalam salah satu hadits :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah keluar menuju mushalla (lapangan terbuka, untuk melaksanakan shalat ‘Id )”.
Shalat ‘Id dilaksanakan hanya dengan dua rakaat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Umar r.a. di atas :
“Shalat ‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, . . . .”. ( Al Hadits)
Pada rakaat pertama dari shalat ‘Id disunatkan bertakbir tujuh kali di luar takbiratul ihram dan takbir ruku’ dan pada rakaat kedua bertakbir lima kali di luar takbir untuk berdiri dan ruku’ serta harus dibaca sebelum membaca surah Al Fatihah.
Diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bertakbir pada waktu (shalat ) ‘Idul Fitri dalam rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan dalam rakaat kedua sebanyak lima kali di luar takbir shalat “.
Dalam hadits yang masih diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya , dia berkata :
“Nabi s.a.w. telah bersabda : Takbir pada (shalat ) ‘Idul Fitri adalah tujuh kali untuk rakaat pertama dan lima kali untuk rakaat yang akhir serta membaca (surah Al Fatihah ) sesudahnya untuk kedua-duanya”.
Diriwayatkan lagi dari Umar bin ‘Auf Al Mazni r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bertakbir dalam dua ‘Id pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali sebelum membaca (surah Al Fatihah ) dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali sebelum membaca (surah Al Fatihah )”.
Seusai shalat ‘Id disunatkan berkhutbah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. , kemudian Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a., mereka telah shalat dua rakaat ‘id sebelum khutbah”.
Disunatkan khutbah ini dilaksanakan di atas mimbar, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir r.a. yang mengatakan :
“Aku menyaksikan bersama Nabi s.aw. ‘Idul Adha. Maka ketika beliau usai berkhutbah, turunlah beliau dari mimbarnya”.
Diriwayatkan lagi dari Abu Sa’id r.a. dia berkata :
“Nabi s.a.w. telah keluar pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha ke mushalla (lapangan). Mula pertama yang beliau lakukan adalah shalat kemudian beliau beranjak lalu berdiri menghadap orang-orang sedang mereka duduk pada barisannya dan beliau menyampaikan nasihat, pesan, dan perintah kepada mereka. Apabila beliau bermaksud hendak memutuskan suatu uraian atau hendak memerintah dengan sesuatu, maka beliau pun memerintahkan dengannya, kemudian sesudah itu beliau berlalu”.
16. Shalat Jenazah :
Hukum memandikan mayat adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan seorang yang terjatuh dari untanya :
“Mandikanlah dia oleh kalian dengan air dan daun kayu gaharu”.
Adapun orang yang syahid dunia akhirat, yaitu orang yang gugur fi sabilillah, maka dia tidak boleh dimandikan berdasarkan sebuah riwayat yang mengmukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda berkenaan dengan para syuhada perang Uhud : Janganlah kalian memandikan mereka, karena setiap luka atau setiap darah (yang menetesnya) pada hari kiamat akan semerbak mewangi ( bagaikan) minyak wangi kasturi”.
Begitu juga mereka itu tidak boleh dishalatkan.
Hukum mengkafani mayit adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Nabi s.a.w. berkenaan dengan seorang yang sedang berihram yang tersungkur jatuh dari untanya lalu wafat :
“Kafanilah dia oleh kalian dengan kedua bajunya yang dia pakai saat wafat”.
Sedikitnya mengkafani mayat adalah menutupi aurat seperti orang hidup dan sunatnya dengan tiga lapis kain, yakni : Satu lapis kain sarung dan dua lapis kain putih yang menutupi seluruh badannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :
“Rasulullah s.a.w. dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang terbuat dari kapas di dalamnya tidak ada baju dan tidak pula ada serban”.
Disunatkan kain kafan itu yang baik berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :Apabila seseorang di antara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah dia mengkafaninya dengan yang bagus”.
Adapun mengkafani mayat perempuan, maka sunatnya dengan lima lapis kain, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan bersanad dari Laila binti Qanif Ats Tsaqafiah Ash Shahabiah r.a. yang mengatakan :
“Aku adalah termasuk orang yang memandikan puteri Rasulullah s.a.w. Maka yang pertama-tama diberikan kepada kami oleh Rasulullah s.a.w. adalah kain basahan, kemudian baju, kemudian tutup kepala, kemudian kerudung, kemudian sesudah itu dikafani dengan kain lain (yang menutupi seluruh badannya). Dia berkata : Saat itu Rasulullah s.a.w. duduk di tengah-tengah pintu dengan membawa kain kafannya dan memberikannya kepada kami satu helai -satu helai”.
Seusai mayat dimandikan dan dikafani ia wajib dishalatkan kecuali bila mayat itu wafat syahid, maka ia tidak boleh dishalatkan berdasarkan hadits tentang para syuhada Uhud seperti yang telah diutarakan di atas. Hukum menyolatkan mayat adalah fardu kifayah :
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Shalatlah kalian atas sahabat kalian”.
Sudah dianggap cukup ketika seseorang telah menyolatkannya dan diperbolehkan menyolatkannya di sepanjang waktu sebagaimana diperbolehkannya di masjid dan di luar masjid berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menyolatkan Suhail bin Baidha’ di Masjid”.
Syarat sah menyolatkan mayat adalah : Suci, menutup aurat, berdiri, dan menghadap kiblat karena menyolatkan mayat (shalat janazah) tak ubahnya sama dengan syarat fardu, sehingga syarat-syaratnya juga harus sama dengan syarat-syarat bagi sahnya shalat fardu. Kemudian daripada itu disunatkan bagi imam shalat janazah berdiri di samping kepala mayat bila mayat itu laki-laki, dan disamping perutnya bila mayat itu perempuan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits :
“Sesungguhnya Anas r.a. menyolatkan seorang mayat laki-laki, maka dia berdiri di samping kepalanya dan (dia pun menyolatkan ) seorang mayat perempuan, maka dia berdiri di samping perutnya. Kemudian Al ‘Ala’ bin Ziyad bertanya kepadanya : Begitukah Rasulullah s.a.w. cara menyolatkan mayat perempuan, yakni (berdiri) di samping perutnya dan untuk mayat laki-laki (berdiri ) di samping kepalanya ? Dia menjawab : Ya !”.
Apabila seseorang bermaksud hendak shalat janazah, hendaklah ia niat shalat untuknya dan ini hukumnya fardu karena shalat janazah juga sama dengan shalat yang lain. Kemudian ia bertakbir empat kali berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. shalat untuk Najasyi. Maka beliau takbir untuknya sebanyak empat kali”.
Kemudian sesudah takbir yang pertama membaca Fatihahatul Kitab berdasarkan hadits Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya ia shalat janazah, lalu ia pun membaca Fatihatul Kitab (surah Al Fatihah ) dan ia berkata : Hendaklah kalian mengetahui, sesungguhnya itu adalah sunnah (Rasul)”.
Selanjutnya sesudah takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. sebagai salah satu fardu shalat janazah dan sesudah takbir ketiga mendo’akan mayat dengan do’a apa saja. Sedangkan berdo’a dengan do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. adalah lebih afdol. Di antara do’a-do’a yang dicontohkan oleh beliau, yaitu: Seperti do’a yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dan An Nasai dari ‘Auf bin Malik yang mengatakan :
“Aku mendengar Nabi s.a.w. saat shalat janazah membaca : Ya Allah, ampunilah dia, kasihilah dia, muliakanlah kediaman dia, mandikanlah dia dengan air, dengan es, dengan embun, sucikanlah dia dari berbagai kesalahan seperti kain putih yang dibersihkan dari kotoran, gantilah rumah dia dengan rumah yang lebih bagus dari rumahnya dahulu, dan gantilah ahli keluarga dia dengan ahli keluarga yang lebih baik dari ahli keluarganya dahulu”.
Dan terakhir dari rangkaian fardu shalat janazah ini adalah sesudah takbir keempat membaca salam.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Umamah bin Sahl, bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan sahabat Nabi s.a.w. memberi tahu kepadanya :
“Sesungguhnya sunnah dalam shalat janazah, yaitu : Imam bertakbir kemudian membaca Fatihatul Kitab sesudah takbir yang pertama dengan lirih dalam dirinya, kemudian membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. dan berdo’a untuk mayat dengan tulus ikhlas dalam takbir-takbir berikutnya, dan dia tidak boleh membaca apapun daripadanya, kemudian membaca salam dengan lirih dalam dirinya”.
Apabila mayat telah dishalatkan hendaklah segera dimakamkan dan tidak usah ditangguhkan untuk menunggu kehadiran orang yang hendak menyolatkannya, kecuali walinya saja untuknya boleh ditangguhkan untuk menunggu kehadirannya bila memang tidak dikhawatirkan akan membusuk. Barangsiapa di antara kaum muslimin wafat ( gugur ) dalam berperang dengan orang-orang kafir sebelum perang itu berakhir, maka ia dianggap syahid sehingga tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dishalatkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah memerintahkan berkenaan dengan para syuhada Perang Uhud agar menguburkan mereka bersama darahnya dan tidak menyolatkan serta tidak memandikannya”.
Sedangkan apabila ia terluka saat dalam pertempuran dan wafat sesudah perang berakhir, maka ia harus dimandikan dan dishalatkan.
17. Sujud Sahwi :
Bilamana seseorang yang sedang shalat meninggalkan satu rakaat sari shalatnya karena lupa, namun sebelum shalatnya berakhir dia teringat akan hal itu, maka dia harus menghadirkannya dan diharuskan sujud sahwi. Kemudian bila ia ragu terhadap tertinggalnya rakaat tersebut, seperti bila ia ragu; apakah dirinya dalam shalat itu baru mengerjakan satu rakaat, atau telah dua rakaat, atau telah tiga rakaat, atau telah empat rakaat, maka dia harus mengambil rakaat yang paling sedikit lalu melanjutkan dengan rakaat yang telah tersisa dan sujud sahwi. Selanjutnya bila dia telah membaca dalam shalatnya kemudian ia yakin bahwa dirinya telah meninggalkan satu rakaat, atau dua rakaat, atau tiga rakaat; atau bahwa dirinya telah meninggalkan ruku’, atau sujud, atau rukun-rukun shalat yang lain selain niat dan takbiratul ihram, maka dalam kasus ini harus diperhatikan: Bilamana ia teringat akan hal itu belum begitu lama, maka ia harus menyambung kembali shalatnya dan sujud sahwi. Sedangkan bilamana ia baru teringat akan hal itu sesudah waktu berselang lama, maka ia harus mengulang kembali shalatnya, sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan:
“Rasulullah saw. telah shalat salah satu dari shalat al-‘asyiyyi –zhuhur dan ashar--. Kemudian beliau membaca salam pada waktu (belaiu baru mengerjakan) dua rakaat. Seseudah itu beliau menghampiri pohon kurma yang terletak di arah kiblat masjid lalu belaiu bersandar padanya. Dan kala itu orang-orang bergegas keluar sedang Dzul Yadain berdiri dan berkata: Ya Rasulallah, apakah engkau (sengaja) mengqashar atau engkau lupa? Maka nabi saw. memandang ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda: Apa yang Dzul Yadain katakan itu? Mereka (para sahabat) menjawab: Dia benar, bahwa engkau tidak shalat melainkan hanya dua rakaat. Maka beliau pun shalat lagi dua rakaat dan membaca salam, kemudian bertakbir, kemudian sujud, kemudian bertakbir, lalu berdiri, krmudian bertakbir dan sujud, kemudian bertakbir dan berdiri.”
Abu da’id al-Khudri r.a. telah meriwayatkan pula:
“Sesungguhnya nabi saw. bersabda: Bilamana seseorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, maka buanglah keraguan itu dan bersikap yakinlah. Kemudian jika ia telah yakin dengan seyakin-yakinnya, sujudlah dua kali. Bilamana shalatnya itu terbukti sempurna, maka rakaat tersebut merupakan tambahan (sunnat) baginya dan begitu juga kedua sujud. Dan jika terbukti rakaat itu kurang, maka rakaat tersebut menjadi penyempurna bagi shalatnya dan kedua sujudnya merupakan arang yang mencoreng muka syaitan.”
Kemudian dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakhai dari ‘Alqamah bin Mas’ud r.a. dia berkata:
“Rasulullah saw. telah shalat –Ibrahin berkata: Beliau dalam shalatnya itu lebih atau kurang--, maka seusai beliau membaca salam, ditegurlah beliau; ‘Ya Rasulallah, apakah sesuatu telah terjadi dalam shalat? Beliau bertanya,’Apakah itu?’ Mereka (para sahabat) menjawab,’Engkau telah shalat demikian dan demikian.’ Maka beliau pun melangkahkan kedua kakinya dan menghadap kiblat lalu beliau bersujud dua kali, kemudian beliau membaca salam. Sesudah itu beliau pun menghadapkan mukanya ke arah kami dan bersabda: Bahwasanya bila sesuatu terjadi dalam shalat, sudah barang tentu aku memberitahukannya kepada kalian. Akan tetapi walaupun demikian, sesungguhnya aku juga adalah manusia yang bisa lupa seperti halna kalian juga yang bisa lupa. Oleh karena itu, maka bila aku lupa, maka ingatkanlah aku oleh kalian, dan jika seseorang di antara kalian ragu dalam shalatnya, maka upayakanlah untuk memperoleh yang benar lalu sempurnakanlah dengannya kemudian hendaklah sujd dua kali”.
Ketentuan ini berkenaan dengan seseorang yang shalat lalu ada bagian shalat yang tertinggal, namun kemudian teringat akan hal itu, saat masih shalat maupun saat shalat sudah selesai dikerjakan. Begitu juga ketentuan tersebut berkenaan dengan seseorang yang shalat lalu ia ditimpa keraguan. Adapun bila ia dilanda perasaan ragu sesudah membaca salam; apakh dirinya telah meninggalkan sesuatu atau tidak? Maka dalam kasus seperti ini dia tidakdiharuskan apa-apa lagi karena pada dasarnya ia telah menunaikan seluruh rangkaian shalat tersebut dengan sempurna, sehingga keraguan yang timbul sesudahnya tidak berpengaruh apa-apa lagi.
Apabila seseorang yang sedang shalat meninggalkan salah satu fardhu shalat karena lupa, akan tetapi saat masih shalat dia teringat akan hal itu, atau dia itu ragu akan salah satu fardhu shalat; apakah fardhu tersebut dikerjakan ataukah tidak, sedang saat itu ia masih dalam keadaan shalat, maka bagian yang diragukan dalam rakaat tersebut jangan ditangguhkan melainkan harus langsung dikerjakan dan sesudah itu baru melanjutkan yang berikutnya karena tertib dalam pelaksanaan shalat hukumnya fardhu. Sebagai contoh, umpamanya: Apabila seseorang yang sedang shalat dalam rakaat pertama tertinggal sujudnya dan dia mengingatnya saat sedang berdiri dalam rakaat kedua, maka seketika itu juga ia harus turun untuk bersujud terlebih dahulu untuk menggantikan sujud yang tertinggal dalam rakaat pertama tersebut, dan sesudah itu barulah ia melanjutkan untuk memulai lagi rakaat yang kedua. Selanjutnya apabila ia baru teringat akan hal itu pada saat sedang berdiri untuk rakaat ketiga, yakni baru teringat bahwa sujud pada rakaat pertama tertinggal, maka hal itu dianggap sama dengan meninggalkan seluruh rangkaian rekaat pertama itu sehingga oleh karenanya ia pun harus menggantinya dengan satu rakaat secara utuh. Dalam kedua kasus di atas hendaklah ditambah lagi dengan sujud sahwi dan seluruh rangkaian ketentuan ini berkenaan dengan hal-hal yang bersifat fardu. Adapun bila ia lupa dalam hal-hal yang bersifat sunat, lalu teringat akan hal itu sedang ia masih dalam shalat maka hal tersebut tidak perlu diulang. Sebagai contoh ; bilamana sunat yang terlupakan itu berupa sunat haiah seperti mengangkat kedua tangan saat berdiri dari ruku’ atau membaca tasbih saat ruku’, maka tidak perlu sujud sahwi. Sedangkan bilamana yang terlupakan itu sunat seperti duduk pada tasyahhud awwal atau qunut dalam shalat Shubuh, maka hendaklah sujud sahwi sebagai penambal atas sunat yang tertinggal itu.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ziyad bin ‘Alafah dikemukakan, bahwasanya dia berkata :
“Al Mughirah bin Syu’bah shalat mengimami kami. Kemudian dia bangkit dalam dua rakaat, maka kami pun mengucapkan : ( ( ) ) dan dia pun mengucapkan: ( ( ) ) serta sesudah itu dia berlanjut. Ketika dia telah menyempurnakan shalatnya dan membaca salam, dia pun sujud sahwi dua kali. Selanjutnya ketika dia beranjak, berkatalah : Aku telah melihat Rasulullah s.a.w. melakukan seperti yang aku lakukan”.
Hukum sujud sahwi ini adalah sunat berdasarkan sabda Nabi s.a.w. yang dikemukakan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. di atas, yakni :
“. . . ., maka rakaat tersebut merupakan tambahan (sunat) baginya dan begitu juga kedua sujud”.
Sujud sahwi dilakukan sebelum membaca salam berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Juhinah r.a. :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah berdiri dalam shalat Zhuhur padahal seharusnya beliau duduk .Maka ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, bersujudlah beliau dua kali dan beliau bertakbir dalam setiap sujud serta beliau melakukannya sambil duduk dan sebelum membaca salam, lalu orang-orang pun bersujud bersama beliau pada duduk yang terlupakan tersebut”.
Ketentuan tentang pelaksanaan sujud sahwi ini berdasarkan pada hadits lain juga, yaitu pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibrahim An Nakhai di atas. Kemudian berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah s.a.w. telah bersabda : Apabila seseorang di antara rakaat kalian ragu dalam shalatnya, tidak tahu berapa rakaat ia telah melakukannya ; tiga atau empat rakaat? Maka buanglah keraguan itu dan berpeganglah pada bilangan rakaat yang diyakininya, kemudian bersujudlah dua kali sebelum membaca salam”.
Selanjutnya didasarkan pula pada hadits Abdurrahman bin ‘Auf r.a. yang berbunyi :
“Dan sujudlah dua kali sebelum membaca salam”.
Sujud sahwi juga boleh dilakukan sesudah membaca salam berdasarkan hadits Dzul Yadain dari hadits riwayat Abu Huairah r.a. :
“Dan (beliau) membaca salam, kemudian bertakbir, kemudian sujud, kemudian bertakbir, lalu beliau mengangkat (kepala ) , kemudian bertakbir dan sujud, kemudian bertakbir dan mengangkat (kepala)”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Imran bin Hashin dikemukakan :
“Maka beliau shalat satu rakaat kemudian membaca salam, kemudian sujud dua kali, kemudian membaca slam”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. juga dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. shalat Zhuhur lima rakaat lalu kepadanya ditanyakan: Apakah shalat (ini) ditambah ? Maka beliau menjawab : Apakah itu ? Mereka (para sahabat) menjawab : Engkau telah shalat dengan lima rakaat. Kemudian beliau sujud dua kali sesudah beliau membaca salam”.
18. Sujud Tilawah :
Sujud tilawah disyari’atkan bagi qari dan pendengar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah s.a.w. membacakan Al Qur’an kepada kami, Maka ketika berlalu ayat sajdah, beliau pun takbir dan sujud, lalu kami juga sujud”.
Apabila seorang qori tidak sujud, maka bagi pendengar tetap dianjurkan sujud karena anjuran sujud dialamatkan kepada kedua belah pihak sehingga anjuran tersebut tidak hilang dikarenakan salah satu pihak tidak melakukannya. Ketentuan ini berlaku dengan catatan, bilamana pendengar dengan sengaja mendengarkan bacaan Al Qur’an. Adapun bilamana yang mendengar bacaan Al Qur’an itu bukan pendengar yang dengan sengaja mendengarkannya, seperti seorang yang sedang berlalu di jalan lalu ia mendengar seorang qari sedang membaca Al Qur’an di masjid, atau di rumah dengan bacaan yang nyaring sehingga tanpa disengaja orang yang sedang berlalu di jalan pun mendengarnya, atau seseorang ada di dekat orang yang sedang membaca Al Qur’an tetapi ia sibuk dengan kegiatan lain, seperti menulis atau membicarakan urusan lain, maka dalam posisi seperti ini ia tidak dianjurkan untuk sujud tilawah karena ia dianggap bukan pendengar yang sedang mengikuti bacaan Al Qur’an yang sedang dilantunkan oleh si qari.
Ketentuan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Utsman dan ‘Imran bin Al Hashin r.a. :
“Sujud tilawah dianjurkan kepada pendengar”.
Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :
“Sujud tilawah adalah bagi orang yang duduk untuk mendengarkan bacaan Al Qur’an”.
Hukum sujud tilawah adalah sunat bukan wajib berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang mengatakan :
“Surah An Najm disampaikan kepada Rasulullah s.a.w. namun tidak seorang pun di antara kami yang sujud tilawah”.
Sujud tilawah berjumlah empat belas kali, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Al ‘Ash r.a. yang mengatakan :
Rasulullah s.a.w. telah membacakan (menyebutkan) kepadaku lima belas ayat sajdah (ayat yang menganjurkan sujud tilawah) dalam Al Qur’an, antara lain : tiga pada ayat-ayat Al Mufashshal dan dua dalam surah Al Hajj”.
Tetapi yang termasuk ke dalam sujud tilawah dari kelima belas ayat sajdah itu hanya empat belas saja, yakni ayat sajdah dalam surah Shad bukan merupakan ayat yang menganjurkan untuk sujud tilawah melainkan ayat yang menganjurkan untuk sujud syukur. Bunyi ayat tersebut, yaitu :
( )
“. . . lalu (Daud) menyungkur sujud dan bertaubat” ( Q. S. 88 : 74 ).
Ketetapan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. yang mengatakan :
“Suatu hari Rasulullah s.a.w. berkhutbah di hadapan kami, Maka ketika beliau membaca ayat sajdah, kami pun beranjak untuk sujud. Ketika beliau menyaksikan kami demikian, beliau pun bersabda : Sesungguhnya itu adalah taubat seorang Nabi (Daud). Tetapi kalian tetap siap untuk sujud sehingga beliau juga turun dan sujud”.
Kemudian diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah sujud dalam surah Shad dan beliau bersabda : Daud a.s. telah sujud berkenaan dengannya sebagai sujud taubat sedang kita sujud berkenaan dengannya sebagai sujud syukur”.
Disunatkan saat sujud tilawah membaca seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi s.a.w. :
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. , dia berkata :
“Rasulullah s.a.w. dalam sujud saat membaca Al Qur’an di malam hari, beliau membaca : ( ( = Mukaku bersujud kepada Dzat yang telah menciptakannya, Dzat yang telah membukakan pendengarannya, dan Dzat yang telah membukakan penglihatannya dengan kekuasaan-Nya”.
Selanjutnya saat sujud hendaklah bertakbir berdasarkan hadits shahih dari Nabi s.a.w. yang mengemukakan, bahwa beliau bertakbir saat sujud tilawah dan saat bangkit dari sujud tersebut. Kemudian membaca salam ketika telah usai bangkit dari sujud tilawah.
Sabda Nabi s.a.w. :
“Tahrim shalat adalah takbir dan tahlilnya adalah membaca salam”.
Sedangkan sujud tilawah juga dianggap shalat. Dengan demikian,maka sujud tilawah juga harus diakhiri dengan membaca salam.
Bagi siapa saja yang sujud tilawah, maka baginya kebaikan sebagai imbalan atas kesediaanya melakukan pekerjaan sunat. Sedang bagi yang meninggalkannya, maka baginya tidak ada kebaikan namun tidak berdosa. Apabila seseorang memdengar ayat sajdah dibacakan tetapi ia dalam keadaan tidak suci, maka kepadanya tidak lazim harus wudhu atau tayammum karena sujud tilawah adalah sujud yang berkaitan dengan suatu sebab, sehingga bila ayat sajdah tersebut telah berlalu baginya tidak perlu lagi sama halnya dengan seorang yang membaca ayat sajdah dalam shalatnya, kemudian ia tidak sujud tilawah, maka ia tidak lazim harus sujud sesudahnya. Hukum sujud tilawah sama dengan hukum shalat sunat, yaitu harus suci, menutup aurat, dan menghadap ke kiblat karena hakikatnya sujud tilawah itu adalah shalat juga.
Alasan, mengapa sujud tilawah dianggap sebagai ahalat karena shalat juga adakalanya diungkapkan dengan sujud dan begitu juga sebaliknya. Banyak hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat Rasul s.a.w. yang mengungkapkan shalat dengan kata-kata sujud, di mana dalam hadits -hadits tersebut kata “rakaat” diungkapkan dengan kata “sujud”.
Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan :
“Aku shalat bersama Rasulullah s.a.w. sebelum Zhuhur dua sujud (sajdatain, maksudnya dua rakaat ) dan susudahnya dua sujud (sajdatain), lalu sesudah shalat Maghrib dua sujud (sajdatain ), serta sesudah shalat Isya dua sujud ( sajdatain )”.
Maksud dari kata-kata “sajdatain” dalam hadits ini juga tidak lain adalah “rak’atain”, yakni dua rakaat.
Ini adalah sebagai dalil, bahwa shalat terkadang dinyatakan dengan sujud. Kemudian ketika rakaat dinyatakan dengana sujud (sajdah)- sebagaimana tidak diperselisihkan ,bahwa rakaat juga adalah shalat, maka sujud pun dianggap sebagai shalat, sekalipun sujud adalah salah satu dari beberapa pekerjaan yang dilakukan saat seseorang sedang shalat. Memang terkadang kata sujud ini dimaksudkan sebagai bagian dari rangkaian shalat seperti sujud dalam shalat yang terdiri dari beberapa rakaat dan terkadang sebagai shalat secara utuh, yakni shalat itu sendiri, seperti sujud syukur, sujud tilawah, dan sujud sahwi. Kemudian keadaan di antara keduanya juga ada beberapa persamaan, yakni bahwa shalat memiliki sebab yaiitu tiba (masuk) waktu, seperti Zhuhur, atau karena memperoleh apa yang disyari’atkan untuk shalat, seperti shalat tahiyyatul masjid. Maka begitu juga halnya sujud pun mempunyai sebab, yakni karena lupa ada yang tertinggal dalam shalat, sehingga disyari’atkan sujud sahwi, atau karena memperoleh nikmat, atau karena terhindar dari bencana, sehinga disyari’atkan sujud syukur, atau karena membaca ayat sajdah, sehinga disyari’atkan sujud tilawah. Sehubungan dengan sujud sahwi, sesungguhnya sujud ini -sebagaimana tidak diperselisihkan oleh para ulama- bukan merupakan bagian dari shalat melainkan sujud tersebut merupakan penambal bagi shalat.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“. . . dan jika terbukti rakaat itu kurang, maka rakaat tersebut menjadi penyempurna bagi shalatnya dan kedua sujudnya merupakan arang yang mencoreng muka syaitan”.
Begitu juga, bahwa sujud sahwi pun disyaratkan suci karena sujud sahwi ini merupakan ibadah di luar rakaat-rakaat shalat. Kemudian daripada itu, perihal ketentuan bagi sujud tilawah juga persis sama dengan ketentuan bagi sujud sahwi dan ketentuan ini tidak didasarkan pada qias, karena dalam ibadah (mahdhah) tidak ada qias. Akan tetapi ketentuan ini didasarkan pada posisi atau status sujud tilawah itu sendiri sebagai salah satu macam sujud. Dalam sujud tilawah disyaratkan suci karena yang diperhitungkannya pun sujud itu sendiri bukan penyebabnya. Maka dengan demikian, jelaslah bagi kita : Sesungguhnya sujud tilawah sama dengan shalat yang mempunyai syarat seperti syarat yang ditetapkan dalam shalat.
Adapun tentang apa yang dikemukakan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya (Shahih Bukhari) , yaitu tentang pernyataanya :
“BAB SUJUD KAUM MUSLIMIN BERSAMA KAUM MUSYRIKIN DAN SEORANG MUSYRIK YANG TIDAK MEMPUNYAI WUDHU, DAN IBNU UMAR R.A. TERBUKTI TANPA WUDHU”.
Maka hal ini tidak boleh dijadikan dalil untuk membolehkan sujud tilawah tanpa wudhu. Sebab sesungguhnya Bukhari hanya sekedar menyebutkan hal itu dalam sebuah “bab” sebagai judul dan dia tidak meriwayatkannya dari seorang perawi pun. Apa yang disebutkan oleh Bukhari dalam kitabnya sebagai judul bagi suatu bab tidak dapat dianggap sebagai hadits yang diriwayatkannya dan tidak bisa dijadikan dalil seperti halnya nash syar’I, melainkan hal tersebut hanya sekedar pendapat dia sendiri.
Sedangkan riwayat lain yang meriwayatkan :
“Sesungguhnya Ibnu Umar telah sujud tilawah tanpa wudhu”.
ini adalah riwayat yang dikemukakan dari nara sumber yang tidak bisa ditelusuri.
Dalam sebuah riwayat Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari jalur ‘Ubaid bin Al Hasan dan seorang laki-laki yang menduga, bahwa ia seperti dirinya dari Sa’id bin Jubair , ia berkata :
“Ibnu Umar terbukti turun dari hewan tunggangannya lalu menuangkan air, kemudian ia menaiki (hewan tunggangannya). Maka dia membaca ayat sajdah dan dia tidak wudhu”.
Status tiwayat ini adalah majhul ( tidak dapat ditelusuri nara sumbernya) dan terhadap riwayat yang majhul kita pun dilarang menerimanya.
Sementara itu dalam riwayat Al Baihaqi tertulis : ( ( = dia sujud (tilawah) dengan (mempunyai wudhu). yakni lafadz ( ( = tanpa) ) tidak tertulis. Dengan demikian jelaslah bagi kita, sesungguhnya riwayat yang mengemukakan bahwa Ibnu Umar r.a. melakukan sujud tilawah tanpa wudhu tidak bisa dikukuhkan bersumber dari pernyataan dia sendiri dan sesungguhnya riwayat yang mengemukakan bahwa Ibnu Umar r.a. terbukti melakukan sujud tilawah tanpa wudhu ini berlawanan pernyataannya dia sendiri yang menegaskan wajib wudhu untuk sujud tilawah, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad shahih yang diterima dari Al Laits dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang mengatakan :
“Seseorang tidak sah sujud (tilawahnya ) kecuali dia itu suci (berwudhu)”.
Dan Ibnu Umar sendiri menganggap sujud tilawah adalah shalat, sehingga dia menyatakan makruh melakukan sujud tilawah dalam waktu-waktu dimakruhkan mengerjakan shalat.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. :
“Sesungguhnya dia (Ibnu Umar) ditanya tentang orang yang membaca Al Qur’an sesudah shalat Fajar dan sesudah shalat Ashar : Apakah ia boleh sujud (tilawah)? Dia menjawab : Tidak boleh”.
Ini adalah ketetapan berdasarkan aspek periwayatan, sedangkan bila ketetapan ini berdasarkan aspek pengambilan dalilnya maka sesungguhnya perbuatan Ibnu Umar bukan merupakan dalil syar’i , sehingga pernyataan dia itu tidak bisa dianggap sebagai dalil syar’i melainkan sebagai hukum syar’i dari atau bagi seorang mujtahid.Hal ini dengan alasan, sebab madzhab(pendapat) seorang sahabat adalah bukan merupakan dalil syar’i.
Sedangkan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Bukahari yang mengatakan : Musaddad telah meriwayatkan kepada kami, katanya : Abdul Warits telah meriwayatkan kepada kami, katanya : Ayyub telah meriwayatkan kepada kami dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersujud (tilawah) ketika membaca surah An Najm dan kaum muslimin kaum musyrikin, jin, dan manusia juga sujud bersamanya”.
Hadits ini secara dirayah tertolak walaupun diriwayatkan oleh Bukhari. Adapun alasan, mengapa secara dirayah hadits tersebut tertolak, ini berdasarkan dua segi :
Pertama : Karena hadits tersebut berlawanan dengan nash Al Qur’an yang bersifat qath’i, dimana Al Qur’an memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik sangat keberatan untuk menerima agama yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada mereka.
Firman Allah Ta’ala :
“Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya”. ( Q.S. 42 : 13 ).
Sedangkan hadits di atas menyatakan : Sesungguhnya mereka ketika mendengan Al Qur’an (dibacakan) sujud. Sujud yang dilakukan oleh mereka sungguh berlawanan dengan sikap mereka sendiri yang sangat keberatan menerima agama yang diserukan oleh Rasulullah s.a.w. kepada mereka. Kemudian di lain ayat Allah s.w.t memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik apabila dibacakan Al Qur’an kepada mereka , maka mereka tidak mau sujud.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka , maka mereka tidak bersujud”. ( Q. S. 84 :21.)
Akan tetapi dalam hadits di atas dikemukakan : Sesungguhnya mereka bersujud ketika Al Qur’an dibacakan kepada mereka. Selanjutnya Al Qur’an memberitahukan lagi kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik berpaling dari sujud kepada Allah Ta’ala.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka : Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang, mereka menjawab : Siapakah Yang Maha Penyayang itu ? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada Nya )? Dan (perintah sujud itu ) menambah mereka jauh ( dari iman)” ( Q. S. 25 : 60 ).
Sedangkan hadits di atas menyatakan : Ketika kepada mereka dibacakan Al Qur’an, mereka pun bersujud. Ini jelas berlawanan satu sama lain, sehingga secara dirayah hadits tersebut harus ditolak.
Kedua : Sesungguhnya Abdullah bin Abbas r.a. yang disebut sebagai perawi hadits di atas, pada waktu kisah hadits ini dihubungkan kepada Rasulullah s.a.w. yang terjadi sebelum hijrah kedua ke Habsyi- di awal kerasulan, periode Mekkah- terbukti saat itu dia masih kecil. Sekali pun dapat dipastikan dia saat itu telah lahir dan dapat dipastikan dia memperoleh kisah di atas, tetapi dapat pula ditegaskan : Sesungguhnya Ibnu Abbas r.a. sama sekali tidak menyaksikan kisah di atas, sebagaimana dikatakan oleh para pensyarah hadits itu sendiri. Atas dasar itu, maka hadits ini dianggap berlawanan dengan realita kisahnya sekalipun Ibnu Abbas dapat dipastikan memperolehnya. Di sini tidak boleh dikatakan : Sesungguhnya Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan kisah ini dari Rasulullah s.a.w. secara langsung karena beliau menyampaikan kisah itu kepadanya secara langsung atau dengan perantaraan. Hal ini tidak boleh dikatakan demikian, sebab Ibnu Abbas r.a. tidak meriwayatkan dengan ungkapan : ( ( = Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda ) ), melainkan dia itu meriwayatkan hadits seperti yang langsung menyaksikan jalannya peristiwa sehingga dia berkata ( ( = Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersujud (tilawah) dan sujud pula bersamanya kaum muslimin, serta orang-orang musyrikin) ).
Atas dasar ini , maka, hadits tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Dengan demikian, diperbolehkannya sujud tilawah tanpa wudhu tidak bida diterima (tertolak) dan keharusan dalam keadaan suci (berwudhu) ketika sujud tilawah –karena sujud tilawah sama dengan shalat—dikukuhkan ketetapannya.
19. Sujud Syukur
Disunatkan bagi orang yang memperoleh nikmat atau terhindar dari bencana bersujud sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakrah:
“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana datang urusan yang menyenangkannya atau beliau diberi kabar gembira dengannya, maka beliau menyungkur sambil sujud sebagai rasa syukur kepada Allah SWT”.
Dlam hadits yang dikemukakan oleh Ahmad, hadits senada diungkapkan dengan kata-kata:
“Sesungguhnya dia (Abu Bakrah) menyaksikan Nabi saw. didatangi oleh seseorang pembawa kabar gembira yang menggambarkan bahwa pasukannya mendapat kemenangan atas musuh mereka. Sedangkan (saat itu) kepada beliau ada dalam pangkuan Aisyah, maka bangkitlah beliau lalu menyungkur sujud, dan beliau berlama-lama dalam sujudnya. Baru kemudian mengangkat kepalanya dan beranjak menuju kamarnya lalu beliau masuk dan menghadap kiblat”.
Hukum sujud syukur dalam syarat dan tata caranya sama dengan hukum sujud tilawah, dilakukan di luar shalat.
DO’A
Doa adalah permohonan hamba kepada Tuhannya. Doa dalam pandangan Islam merupakan ibadah yang sangat besar kedudukannya.
At-Tirmidzi telah meriwayatkan hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a.:
“Doa adalah otaknya ibadah”.
Banyak atsar yang diterima dari Nabi saw. yang berupa dorongan agar senang berdoa, antara lain:
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang diterima dari Abu Hurairah r.a.:
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah selain doa”.
Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi:
“Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia (Allah) akan marah kepadanya”.
Dalam hadits Ibnu Mas’ud dikemukakan:
“Memohonlah kalian kepada Allah untuk memperoleh karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah senang apabila diminta”. (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan:
“Sesungguhnya doa bermanfaat bagi yang turun dan belum turun, maka kalian, wahai hamba-hamba Allah, hendaklah berdoa”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit dikemukakan :
“Tidaklah seorang muslim di planet bumi ini berdo’a kepada Allah dengan suatu do’a , melainkan Allah mengabulkannya atau Dia memalingkan keburukan semisal do’a tersebut daripadanya”. ( H.R. At Tirmidzi dan Al Hakim ).
Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id r.a. dikemukakan:
“Tidaklah seorang muslim berdo’a, di mana dalam do’a tersebut tidak terdapat unsur dosa dan memutuskan silaturahmi, melainkan dengan do’a itu Allah memberi salah satu dari tiga (kebaikan) kepadanya : Baik dengan spontan Allah mengabulkan permohonannya, atau menangguhkannya untuk nanti di akhirat, atau Allah memalingkan keburukan semisal do’a tersebut daripadanya”. (H.R. Ahmad ).
Hadits-hadits di atas dan hadits-hadits yang lainnya, pada umumnya menunjukkan terhadap kedudukan do’a yakni : Bahwasanya do’a adalah merupakan permohonan hamba kepada Tuhannya.
Dalam Al Qur’an juga didapatkan beberapa ayat yang menunjukkan tentang do’a, antara lain :
Firman Allah Ta’ala :
“Dan tuhan kalian berfirman : Berdo’alah kalian kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagi kalian: (Q. S. 40 : 60 ).
Firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadaku tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku”. (Q.S. 2 : 136 )
Firman Allah Ta’ala :
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di muka bumi” ( Q.S. 27 : 62 ).
Firman Allah Ta’ala :
“( Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arasy dan malaikat yang berada disekelilingnya bertasbih memuji tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampunan bagi orang -orang beriman ( seraya mengucapkan ) : Ya Tuhan kami , rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala. Ya Tuhan kami , dan masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘And yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang shaleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana” ( Q. S . 40 :7-8).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, sesungguhnya Allah Ta’ala telah meminta kita agar berdo’a (memohon) kepada-Nya dan Dia pun telah menjelaskan kepada kita, bahwa sesungguhnya hanya Dia sendirilah yang kuasa mengabulkan do’a, lain tidak, serta Dia telah menjelaskan kepada kita tentang do’a yang disampaikan mereka kepada-Nya.
Dengan demikian , maka bagi setiap muslim dianjurkan berdo’a kepada Allah s.w.t. , baik ia dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi, sehingga ia memperoleh pahala daripada-Nya. Berdo’a lebih afdhal daripada berdiam diri dan bersikap pasrah berdasarkan dalil-dalil yangmenunjukkannya. Sebab dalam berdo’a tampak sikap tunduk dan merendah di hadapan Allah s.w.t. serta dalam berdo’a tidak akan mengubah apa yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah Ta’ala dan tidak juga akan mengubah qadha-qadar-Nya serta tidak akan menimbulkan sesuatu bila tanpa diawali oleh penyebabnya. Sebab, sesungguhnya apa yang telah di tetapkan dalam ilmu Allah Ta’ala pasti terjadi. Sesungguhnya qadha Allah Ta’ala pasti terealisir, sekiranya do’a dapat mengubahnya, niscaya qadha-qadar Allah tidak akan di gariskan. Kemudian daripada itu, sesungguhnya Allah telah menciptakan sebab akibat. Dia telah menjadikan sebab membuahkan akibat dengan pasti, tidak pernah ada akibat tanpa diawali oleh sebab. Atas dasar ini,maka tidak boleh diyakini, sesungguhnya do’a merupakan jalan untuk membuahkan hajat, sekalipun dengannya Allah mengabulkan apa yang diharapkan. Sebab, sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan bagi alam, bagi manusia, dan kehidupan ini undang-undang (sunnah ) di mana kesemuanya berjalan di atasnya, dan dia pun telah menjadikan (mengikat) sebab dengan akibat. Do’a tidak dapat memberi pengaruh sehingga sunatullah dapat diubah, begitu juga do’a tidak dapat membuat akibat berlainan dengan sebabnya. Seseungguhnya tujuan akhir dari berdo’a adalah memperoleh pahala dengan cara mengikuti ketentuan (perintah) Allah Ta’ala, di mana kedudukan do’a itu sendiri segagai salah satu bentuk ibadah kepada-Nya. Sebagaimana shalat, puasa, zakat, berjihad fi sabilillah, dan sebagainya merupakan ibadah, maka berdo’a pun adalah ibadah, di mana dalam berdo’a seorang mukmin memohon kepada Allah agar terkabul hajatnya atau duka yang menggayut dalam dirinya selama ini segera berlalu dan do’a lainnya yang berhubungan dengan urusan dunia -akhirat. Dalam berdo’a hendaklah ia menampakkan diri dengan segala ketulusan sikap berlindung kepada Allah, sikap merendah di hadapan-Nya,sikap mengharap pahala daripada-Nya, serta sikap patuh terhadap segala perintah-Nya. Apabila hajatnya terkabul, hendaklah diyakini bahwa ini adalah semata-mata karunia dari Allah dan sudah merupakan qadha-Nya sesuai sunatullah yang mengacu pada kaidah hukum sebab- akibat. Sedangkan apabila Allah tidak mengabulkannya, maka walau begitu Dia tetap mencatat pahala bagi-Nya. Atas dasar ini, hendaklah seorang muslim pada waktu berdo’a bersikap merendah di hadapan Allah Ta’ala dan bersikap patuh terhadap perintah serta penuh harap untuk memperoleh pahala daripada-Nya, baik hajatnya itu terkabul maupun tidak. Bagi seorang muslim diperbolehkan berdo’a dengan do’a apa saja, baik terucap maupun hanya di dalam hati saja, serta dengan bahasa yang ia kuasai, yakni ia tidak terikat dengan do’a tertentu. Baginya diperbolehkan berdo’a dengan do’a-do’a seperti yang dikemukakan dalam Al Qur’an, atau seperti yang dikemukakan dalam hadits-hadits, atau dengan do’a dari dirinya sendiri, atau dengan do’a yang dipanjatkan oleh orang lain. Dia tidak di haruskan berdo’a dengan do’a tertentu, melainkan yang dituntut daripadanya agar berdo’a kepada Allah Ta ‘ala. Hanya saja yang dianggap paling afdhol adalah berdo’a dengan do’a seperti yang telah dikemukakan dalam Al Qur’an atau hadits. Di antara do’a-do’a seperti yang telah dikemukakan dalam Al Qur’an :
Firman Allah Ta’ala :
“Tidak ada do’a mereka selain ucapan : Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.(Q.S. 3:147 ).
Firman Allah Ta’ala :
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar(seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu) : Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian. Maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbuat bakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji” (Q. S. 3 : 193-194 ).
Firman Allah Ta’ala :
“Katakanlah : Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q. S. 3 : 26 ).
Firman Allah Ta’ala :
“(Mereka berdo’a) : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau -lah Maha Pemberi (karunia)” (Q. S. 3 : 9 ).
Firman Allah Ta’ala :
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” ( Q. S. 6 : 79 ).
Firman Allah Ta’ala :
“Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah ) “ ( Q. S. 6 : 162-163 ).
Dari sekian banyak istigfar dan do’a yang dikemukakan dalam hadits, antara lain :
Hadits yang diriwayatkan dari Syaddad bin Aus r.a. dari Nabi s.a.w. :
“Penghulu istigfar adalah ucapan : Ya Allah, Engkau adalah tuhanku, tiada Tuhan kecuali hanya Engkau. Engkau telah menciptakanku sebagai hamba-Mu. Aku terhadap janji-Mu dan ancaman-Mu sedapat mungkin (akan memperhatikan ). Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku perbuat. Aku kembali kepada-Mu dengan nikmat-Mu yang dilimpahkan kepadaku dan aku kembali kepada-Mu bersama dosaku, maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang kuasa mengampuni dosa kecuali hanya Engkau”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dia berkata :
“Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar memohon ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali “.
Diriwayatkan dari Mudzalifah r.a. dia berkata :
“Nabi s.a.w. apabila merebahkan badannya ke atas pembaringannya, beliau membaca : Dengan mana-Mu aku mati dan aku hidup. Dan apabila beliau bangun, beliau pun membaca : Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menghidupkan kami sesudah Dia mematikan kami dan kepada-Nya kembali”.
Dari Warid, pelayan Al Mudhirah bin Syu’bah, dia berkata :
“Al mughirah berkirim surat kepada Muawiah bin Abu Sufyan memberitahukan: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada setiap usai shalat, bila beliau telah membaca salam, beliau membaca : Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa. Ya Allah, tiada yang dapat menahan terhadap apa yang di berikan dan tidak ada(pula) yang dapat memberikan terhadap apa yang Engkau tahan (untuk diberikan) serta tidak akan bermanfaat untuk melindungi diri, kekayaan, dan kebesaran orang kaya, dan besar dari murka dan adzab-Nya”.
Dari Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r. . :
“Mereka (para sahabat ) berkata : Ya Rasulullah, penduduk (keluarga) Ad Datsur telah pergi dengan membawa kemuliaan dan nikmat abadi. Beliau bertanya : Bagaimana itu ? Dia menjawab : Mereka shalat seperti shalat kami, dan mereka berjihad seperti jihad kami, serta mereka berinfak dengan kelebihan harta mereka, sedangkami tidak mempunyai harta (berlebihan seperti mereka ). Beliau bersabda : Bukankah telah aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang kalian ketahui (yang kalian dapatkan) sebelum orang-orang yang datang sebelum kalian dan kalian adalah orang-orang pertama (yang mendapatkannya) daripada orang -orang sesudah kalian serta seorang pun tidak akan dapat menyamai seperti apa yang kalian bawa, kecuali orang yang datang dengan membawa semisalnya, yakni : Kalian bertasbih pada setiap usai shalat sebanyak sepuluh kali, kalian membaca hamdalah sepuluh kali, dan kalian membaca takbir sepuluh kali”.
Dari Abdurahman bin Abu Laila, dia berkata :
“Ka’ab bin Ajrah telah menemuiku, lalu dia berkata : Tiadakah sebaiknya aku memberi hadiah kepadamu dengan suatu hadiah ? Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah meninggalkan kami, lalu kami pun bertanya : Ya Rasulullah , kami sudah tahu, bagaimana kami menyampaikan salam kepadamu. Maka bagaimana pula kami menyampaikan shalawat kepadamu ? Beliau menjawab : Katakanlah oleh kalian : Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkatilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia”.
Dari Anas bin Malik r.a. , dia berkata :
“Nabi s.a.w. telah bersabda kepada Abu Thalhah : Carikanlah untuk kami seorang pembantu dari para pembantu kalian agar dia menjadi pembantuku. Maka Abu Thalhah pun membawaku pergi dan beliau mendapatkanku berada di belakangnya.Kemudian (sejak saat itu ) aku pun menjadi pelayan Rasulullah s.a.w. yang selalu menyertai ke mana pun beliau pergi. Aku sering mendengar beliau membaca : Ya Allah , sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari bingung dan duka, dari lemah dan malas, dari kikir dan pengecut, dari lilitan utang dan dari tekanan orang-orang”.
Dalam sebuah hadits shohih di kemukakan :
“Nabi s.a.w. dalam salah sebuah do’anya beliau mengucapkan : Ya Allah , jadikanlah di dalam hatiku cahaya, di dalam penglihatanku cahaya, di dalam pendengaranku cahaya, dari kananku cahaya, dari kiriku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, di depanku cahaya, di belakangku cahaya, dan jadikanlah cahaya menyelimuti ku”.
Dalam sebuah hadits lain dikisahkan sebuah peristiwa yang dilalui Rasulullah s.a.w. , yakni ketika beliau kembali pulang dari Thaif sesudah kabilah Tsaqif menolak kehadirannya dengan sangat biadab. Ketika itu beliau sedang berteduh untuk istirahat di bawah pohon anggur sementara kedua anak Rabi’ah memandangnya dan menyaksikannya bahwa beliau sangat sedih. Sesudah beliau agak merasa tenang, lalu beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dengan sikap sangat sedih dan pilu seraya mengadu :
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku dan sedikitnya daya-upayaku serta ketidak-berdayaanku di mata manusia. Ya Allah, Yang Maha Pengasih di antara semua yang mengasih, Engkau adalah Tuhan pemelihara orang -orang tertindas dan Engkau adalah Tuhan pemelihara daku. Kepada sipakah aku ini akan Engkau serahkan ? Ketempat jauhkah Engkau akan membuangku? Atau kepada musuh Engkau akan menyerahkan urusanku ini ? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, maka aku pun tidak peduli. Tetapi perlindungan dari sisi-Mu itulah yang lebih melapangkan dadaku. Aku berlindung di balik sinar wajah-Mu yang menyinari segala tempat yang gelap dan yang membuat baik segala urusan dunia-akhirat dari turunnya murka-Mu kepadaku atau turunnya marah-Mu kepadaku. Kepada-Mu sajalah aku mengadukan keberadaanku, sampai Engkau pun ridha kepadaku. Tidak ada daya-upaya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan-Mu”.
Disunatkan mengangkat kedua tangan pada waktu berdo’a berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan Syarik, di mana keduanya mendengar dari Anas dari Nabi s.a.w. :
“Bahwasanya Nabi s.a.w. mengangkat kedua tangannya (saat beliau berdo’a) sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya”.
Dalam hadits Usamah dikemukakan :
“Aku telah menyertai Nabi s.a.w. di Arafah, maka beliau berdo’a sehingga ontanya miring karenanya, lalu tali kekangnya pun jatuh kemudian dambil oleh tangannya sambil tatap mengangkat tangannya yang lain”.
Di antara do’a-do’a yang dipanjatkan oleh orang banyak, yaitu sebagai berikut :
“Ya Allah, limpahkanlah dunia (kekayaan duniawi) kepada kami dan janganlah Engkau menjadikannya fitnah bagi kami serta janganlah Engkau menjauhkannya dari kami sehingga kami Engkau jadikan merana karenanya. Ya Allah, jadikanlah kekayaan yang melimpah berada di tangan kami dan sedikit pun jangan Engkau jadikan kekayaan tersebut menguasai hati kami”.
Sekalipun do’a ini bukan do’a yang bersumber dari Nabi s.a.w. , tetapi seseorang tidak mengapa berdo’a dengannya. Sebaiknya kita berdo’a dengan do’a-do’a yang bersumber dari Nabi s.a.w. Dalam Shahih Bukhari-Muslim dikemukakan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.aw. , beliau bersabda :
“Kami berlindung kepada Allah dari kerasnya cobaan, dari dalamnya derita, dari buruknya qadha, dan dari kegembiraan musuh di atas derita kami”.
Dalam shohih Muslim dikemukakan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. suka berdo’a dengan satu kata : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dari-Mu petunjuk, taqwa, pandai memelihara diri, dan kaya jiwa”.
Wallahu ‘alam Bishshawab.
Walhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamiin.
Monday, December 1, 2008
AHKAMUS SHALAT
Posted by Allahyarham achit at 12:15 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment